Komitmen DPR Terkait RUU TPKS Diuji pada Masa Sidang Berikutnya
Pembiaran terhadap tindak pidana kekerasan seksual memengaruhi kualitas demokrasi. Sejumlah fakta, termasuk tertundanya persetujuan RUU TPKS, menggambarkan negara gagal menciptakan ruang aman bagi warganya.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen DPR mengusung Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual akan diuji dalam masa sidang berikutnya. Janji untuk mengusung RUU itu harus ditepati. Jika tidak, hal itu sekali lagi menunjukkan ketidakpedulian wakil rakyat terhadap legislasi yang dibutuhkan publik.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) gagal dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk disetujui menjadi RUU inisiatif DPR, Kamis (16/12/2021). Padahal, sepekan sebelumnya, persisnya pada 8 Desember 2021, Badan Legislasi (Baleg) DPR telah menyetujuinya. DPR beralasan rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR untuk menetapkan jadwal paripurna sudah digelar sebelum Baleg mengambil keputusan.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, alasan DPR yang mengatakan agenda rapat paripurna sudah ditetapkan sebelum Baleg mengambil keputusan terlihat dipaksakan dan sekadar mencari alasan pembenar. Sekalipun agenda paripurna itu memang harus diputuskan melalui Bamus DPR, DPR sebenarnya bisa menetapkan agenda paripurna yang mendesak melalui forum rapat konsultasi pengganti rapat Bamus.
”Dalam banyak hal, rapat pengganti rapat Bamus ini yang lebih sering jadi forum pengambil keputusan terkait agenda. Karena itu, mestinya tak ada alasan menjadikan alasan agenda paripurna sudah ditetapkan sebelum Baleg mengambil keputusan akhir terkait RUU TPKS. Pimpinan selalu mungkin dan bisa mengadakan rapat pengganti rapat Bamus untuk menambahkan agenda penting di rapat paripurna,” katanya, Jumat (17/12/2021), di Jakarta.
Lucius mengatakan, kini komitmen serius DPR untuk mengatasi masalah kekerasan seksual ditunggu publik. Sebagaimana dijanjikan pimpinan DPR, RUU TPKS itu harus diajukan dalam Rapat Paripurna DPR di masa sidang berikutnya, mulai pertengahan Januari 2022, untuk disetujui sebagai RUU inisiatif DPR. Jika janji tak ditepati, hal itu sekali lagi menunjukkan ketidakpedulian wakil rakyat terhadap legislasi yang dibutuhkan publik.
Sikap DPR dalam menangani RUU TPKS ini pun dipandang berbeda saat merespons RUU Ibu Kota Negara (IKN) yang diusulkan oleh pemerintah. Panitia Khusus RUU IKN itu baru ditetapkan pada 7 Desember, tetapi pembahasannya dilakukan maraton dan sangat cepat sehingga saat ini sudah memasuki tahapan penajaman oleh tim perumus (timus).
”Semua RUU ini bisa dibahas cepat sepanjang DPR punya keinginan dan niat yang kuat untuk menyelesaikan pembahasan RUU TPKS. Faktanya RUU usulan pemerintah, seperti RUU IKN, bisa dipercepat prosesnya, bahkan terkesan kilat,” katanya.
Lucius menyinyalir ada pertimbangan politik yang kental di balik penundaan pemberian persetujuan terhadap RUU TPKS ini. Oleh karena itu, wajar jika publik sulit percaya dengan janji DPR untuk memproses RUU TPKS ini di masa sidang yang akan datang. ”Ada yang menduga karena RUU ini terkait dengan stigma penetapan seks bebas dan lain-lain sehingga anggota DPR tertentu menganggap RUU TPKS ini berisiko mengurangi elektabilitas mereka di Pemilu 2024,” katanya.
Lembaga kajian demokrasi, Public Virtue Research Institute (PVRI), pun menyesalkan tertundanya persetujuan RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR. Deputi Direktur PVRI Anita Wahid mengecam sikap anggota Dewan yang mengabaikan banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.
Menurut dia, aktor-aktor legislatif tersebut tidak memiliki keberpihakan dan komitmen untuk melindungi korban dan penyintas kekerasan seksual.
”Padahal, Indonesia sedang darurat kekerasan seksual. Seharusnya keberadaan payung hukum yang lebih komprehensif untuk dapat melindungi korban dan penyintas menjadi prioritas DPR,” ucap Anita yang merupakan salah satu putri dari presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Negara gagal
Anita mengatakan, pembiaran terhadap tindak pidana kekerasan seksual memengaruhi kualitas demokrasi di Indonesia. Fakta bahwa para korban justru menemui praktik penegakan hukum yang mengkriminalisasi mereka, diskriminasi, stigmatisasi yang dilayangkan oleh aparat penegak hukum kepada pelapor, hingga tidak adanya perlindungan yang cukup dan pendampingan yang memadai bagi para korban menggambarkan negara gagal menciptakan ruang aman bagi warga negaranya.
”Situasi ini membuat kita mempertanyakan komitmen para pembuat kebijakan dalam menciptakan solusi perwujudan ruang aman dan perlindungan bagi warga negaranya,” ujar Anita dalam keterangan tertulisnya.
Harapkan percepatan
Sementara itu, Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, Baleg berharap percepatan terhadap RUU TPKS. Sebagai pimpinan Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS, timnya telah menuntaskan semua tugas dalam penyusunan draf RUU TPKS dan mendapatkan persetujuan dari mayoritas fraksi untuk diusulkan menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna.
”Pimpinan Baleg juga sudah menyurati pimpinan DPR mengenai persetujuan itu dan meminta agar dibawa ke dalam rapat paripurna terdekat,” katanya.
Namun, Willy mengatakan, keputusan mengenai hal itu juga kembali kepada pimpinan DPR. ”Kemungkinan akan dibawa ke dalam rapat paripurna masa sidang berikutnya,” ucapnya.
Ketua DPR Puan Maharani seusai rapat paripurna, Kamis, mengatakan, persetujuan RUU TPKS hanya masalah waktu. DPR disebutkannya mendukung percepatan pengesahan RUU TPKS, tetapi DPR ingin RUU tersebut bisa diputuskan sesuai dengan mekanisme yang ada untuk menjaga pelaksanaan dari UU itu nantinya. Ia pun berjanji pada awal masa sidang yang akan datang persetujuan RUU akan dibawa ke rapat paripurna.