Alasan Penundaan Persetujuan RUU TPKS di Paripurna DPR Tak Dapat Diterima
DPR berdalih persetujuan RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR tak diputuskan dalam paripurna, hari ini, semata karena problem teknis. Padahal, jika serius, DPR punya mekanisme dan waktu cukup untuk mengatasi problem itu.
Oleh
IQBAL BASYARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual gagal dimintakan persetujuan menjadi RUU inisiatif DPR di Rapat Paripurna DPR, Kamis (16/12/2021), hanya karena alasan teknis. Rapat Pimpinan DPR dan Badan Musyawarah DPR yang menyusun agenda rapat paripurna telah digelar sebelum Badan Legislasi DPR menyetujui RUU tersebut menjadi RUU inisiatif DPR. Padahal, jika DPR serius, susunan agenda rapat paripurna masih memungkinkan diubah sebelum rapat paripurna.
Rapat Paripurna DPR yang berlangsung selama sekitar dua jam, Kamis, betul-betul berlalu tanpa agenda persetujuan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi RUU inisiatif DPR. Sehari sebelumnya, tidak adanya agenda persetujuan RUU tersebut dalam susunan jadwal rapat paripurna telah memantik kritik dari berbagai kalangan. Dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) Muhaimin Iskandar, hanya ada dua agenda, yakni pengesahan RUU Jalan dan pidato penutupan masa persidangan II DPR oleh Ketua DPR Puan Maharani.
Ketiadaan agenda persetujuan RUU TPKS dalam rapat paripurna tersebut sempat pula memantik interupsi anggota DPR dari F-PKB, Luluk Nur Hamidah. Ia meminta rapat paripurna menyetujui RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR karena pembicaraan tingkat pertama atau di Badan Legislasi (Baleg) DPR telah selesai dan menyetujui RUU itu menjadi RUU inisiatif DPR. Pembahasan RUU pun diingatkannya penting untuk segera dimulai, mengingat kian banyaknya korban kekerasan seksual.
”Begitu banyak yang sudah menunggu dan menilai DPR gagal serta tidak memiliki sense of crisis adanya darurat kekerasan, cukup adalah cukup. Kita semua tidak ingin jadi bagian yang dianggap tidak memiliki sense of crisis itu. Mohon bisa disahkan hari ini,” kata Luluk yang juga anggota Baleg DPR.
Meski muncul suara desakan, ada pula interupsi dari anggota DPR lain, Supriansa, yang meminta agar kehati-hatian dikedepankan dalam pembahasan RUU, termasuk RUU TPKS. Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Golkar ini mengatakan, kehati-hatian diperlukan agar mampu menciptakan undang-undang yang rapi dan tidak mudah melahirkan gugatan di Mahkamah Konstitusi.
Tanpa UU TPKS, ia meminta siapa pun tak perlu khawatir akan ada kekosongan hukum dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual. Penegakan hukum masih bisa dilakukan dengan mengacu pada Pasal 289 dan Pasal 296 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. ”Kami menyambut baik, insya Allah waktu tidak terlalu lama bagi UU TPKS bisa menjadi pedoman dalam rangka penyelesaian persoalan-persoalan yang sering terjadi di tengah masyarakat,” ujarnya.
Menanggapi dua interupsi itu, Muhaimin hanya mengatakan akan menjadi catatan pimpinan dan anggota DPR. ”DPR akan berkomitmen bersama untuk peristiwa demi peristiwa yang ada,” ucapnya.
Seusai rapat paripurna, Puan Maharani mengatakan, persetujuan RUU TPKS hanya masalah waktu. DPR disebutkannya mendukung percepatan pengesahan RUU TPKS, tetapi DPR ingin RUU tersebut bisa diputuskan sesuai dengan mekanisme yang ada untuk menjaga pelaksanaan dari UU itu nantinya. Ia pun berjanji pada awal masa sidang yang akan datang, persetujuan RUU akan dibawa ke rapat paripurna.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan hal senada. ”Kesempatan pertama setelah reses, segera kami masukkan di paripurna,” ujarnya.
Menurut dia, persetujuan RUU belum dibawa ke rapat paripurna karena problem teknis. Rapat pimpinan DPR dan Badan Musyawarah DPR yang menyusun agenda paripurna sudah digelar sebelum Baleg DPR memutuskan menyeutujui RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR. ”RUU pada waktu selesai dibahas, kami sudah selesai rapim (rapat pimpinan) dan Bamus (Badan Musyarawah), jadi tidak sempat dimasukkan. Hanya problem teknis itu, tidak ada problem soal materi RUU di pimpinan DPR,” ucapnya.
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya mengatakan, rapat Bamus DPR terakhir sebelum rapat paripurna digelar pada Senin (6/12/2021) atau selang dua hari sebelum keputusan persetujuan RUU TPKS oleh Baleg DPR, Rabu (8/12/2021). Meski demikian, adanya selang waktu sekitar satu pekan setelah keputusan di Baleg dengan rapat paripurna seharusnya bisa dimanfaatkan oleh pimpinan DPR untuk menggelar rapat Bamus DPR guna menyisipkan persetujuan RUU TPKS di rapat paripurna.
”Kami tidak tahu mengapa rapat itu tak diagendakan. Itu di luar kewenangan kami. Yang jelas, kami sudah langsung meminta agar RUU TPKS dibawa ke paripurna terdekat, segera setelah kami menyetujui RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR,” ujarnya.
Dengan RUU TPKS gagal dibawa ke paripurna, praktis agenda persetujuan RUU harus menunggu sampai DPR menyelesaikan masa reses. Masa reses DPR baru akan berakhir 10 Januari mendatang. Setelah proses persetujuan di paripurna dilalui, jalan hingga pengesahan RUU TPKS masih panjang. RUU TPKS yang jadi inisiatif DPR harus dibahas terlebih dahulu dengan pemerintah. Ketika pembentuk UU sudah sepakat, barulah RUU TPKS dibawa kembali ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi UU.
Berlarut-larut
Pembahasan RUU TPKS ini tak kunjung usai. RUU yang diusulkan oleh Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan pada 2012 dan telah dimasukkan ke DPR draf ataupun naskah akademiknya pada 2016 sudah mulai dibahas DPR sejak 2017. Kala itu, DPR menjadikan RUU itu sebagai RUU inisiatif DPR dengan nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Namun, hingga berakhir masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019, RUU itu tak juga disahkan.
RUU lantas diputuskan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah 2020-2024 oleh anggota DPR periode 2019-2024. Meski demikian, pembahasannya terganjal setelah RUU tak masuk dalam Prolegnas 2020. RUU baru disepakati pemerintah dan DPR masuk dalam prolegnas tahunan pada Prolegnas 2021. Hanya saja namanya diubah menjadi RUU TPKS dan pembahasannya untuk menjadi RUU inisiatif DPR oleh Baleg DPR sudah sejak pertengahan 2021.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, tak bisa menerima alasan Dasco terkait gagalnya persetujuan RUU TPKS. Jeda waktu sekitar sepekan antara keputusan Baleg DPR dan paripurna seharusnya bisa dimanfaatkan untuk mengubah jadwal rapat paripurna dan memasukkan agenda persetujuan RUU TPKS. Jika perubahan jadwal tak bisa melalui rapat Bamus DPR, bisa ditempuh mekanisme rapat konsultasi pengganti Bamus DPR.
”Sudah sering DPR menggunakan mekanisme rapat konsultasi untuk menyusun atau mengubah jadwal paripurna. Rapat konsultasi ini pun bisa setiap saat. Alasan Dasco tak bisa diterima,” ujarnya.
Ia melihat tertundanya agenda persetujuan RUU TPKS lebih karena tak adanya keseriusan DPR untuk menyediakan payung hukum yang memadai guna mengatasi lonjakan kasus kekerasan seksual di tengah masyarakat.
”Wakil rakyat kembali terputus dengan apa yang diinginkan atau dibutuhkan publik. Sepertinya tidak ada ruang dari wakil rakyat kita untuk memikirkan kebutuhan rakyatnya. Ini tidak hanya dalam RUU TPKS, juga terlihat dalam produk RUU lain,” tambahnya.
Sebagai contoh, RUU Perlindungan Data Pribadi juga berlarut-larut pembahasannya, padahal kebocoran data pribadi semakin masif, publik pun khawatir untuk beraktivitas di dunia maya. Contoh lain, RUU Penanggulangan Bencana. Padahal, negeri ini kerap dilanda bencana alam dan kebutuhan pengesahan RUU tersebut penting untuk upaya penanggulangan saat bencana terjadi.
Sebaliknya, menurut Lucius, pembahasan sejumlah RUU oleh DPR justru begitu cepat ketika RUU tidak dikehendaki publik.
Misalnya, pembahasan RUU Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2019 dan RUU Cipta Kerja pada 2020. Meski masyarakat menyuarakan penolakan, bahkan melalui unjuk rasa besar-besaran di sejumlah tempat, DPR tetap berkukuh mengesahkannya dalam waktu yang cepat.