Bayang-bayang Diskriminasi di Tengah Upaya Menggapai Keadilan
Banyak hal terungkap dari hasil Survei Pandangan Masyarakat terhadap Hak Memperoleh Keadilan oleh Komnas HAM dan Litbang ”Kompas”. Di antaranya pandangan publik soal perlakuan diskriminasi dan putusan hukum.
Ada banyak hal terungkap dari hasil Survei Pandangan Masyarakat terhadap Hak Memperoleh Keadilan di Indonesia yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM bekerja sama dengan Litbang Kompas. Pandangan masyarakat terkait perlakuan diskriminasi saat berhadapan dengan aparat penegak hukum dan putusan hukum tidak adil terekam pula dari survei yang melibatkan 1.200 responden di 34 provinsi di Indonesia dengan waktu pelaksanaan lapangan mulai dari pekan keempat September hingga pekan kedua Oktober 2021 tersebut.
Pada webinar dan diskusi publik peluncuran hasil survei tersebut, Rabu (8/12/2021), Pelaksana Tugas Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM Komnas HAM Mimin Dwi Hartono menuturkan bahwa mayoritas responden (72,2 persen) tidak pernah mengalami, mendengar, ataupun menyaksikan perbedaan perlakuan atau diskriminasi saat berhadapan dengan aparat penegak hukum; baik polisi, jaksa, hakim, maupun advokat. Namun, responden yang mengatakan pernah mengalami, mendengar, atau menyaksikan diskriminasi juga cukup besar, yakni 27,8 persen.
Mereka yang pernah mengalami atau mendengar adanya perlakuan diskriminatif itu terbanyak dari tingkat pendidikan tinggi, kelas atas, dan wilayah perkotaan. Perbedaan perlakuan saat berhadapan dengan aparat tersebut lebih banyak dialami oleh mereka yang pernah mengadu atau mendampingi anggota keluarga/kerabat/tetangga yang mengadukan pelanggaran hak memperoleh keadilan.
Bentuk diskriminasi yang dialami responden adalah proses dipersulit (63,8 persen), proses penanganan kasus yang lambat (52,4 persen), proses terkatung-katung atau pingpong (32,9 persen), dan biaya penanganan kasus yang mahal (31,7 persen). Alasan terbanyak diperlakukan berbeda atau didiskriminasi adalah karena status sosial ekonomi, yakni 76,5 persen. Alasan lain adalah karena tingkat pendidikan atau pengetahuan (30,5 persen), suku atau etnis tertentu (18,5 persen), difabel (12 persen), umur (11,7 persen), pemeluk agama tertentu (11,2 persen), jender (9,5 persen), transjender atau orientasi seksual (3,6 persen), ada beking (0,4 persen), dan lainnya (0,4 persen).
Baca juga : RKUHP yang Rawan Langgengkan Diskriminasi Kalangan Disabilitas
Sebagian besar atau 58,3 persen responden survei menyatakan belum pernah berurusan dengan pengadilan. Ada 6,3 persen responden yang pernah mendapatkan putusan hukum yang tidak adil. Menurut tingkat pendidikan, sebagian besar responden yang berpendidikan tinggi dan kelas menengah atas dan atas mengaku pernah mendapat putusan hukum yang tidak adil.
Sebagian besar, yakni 60,1 persen responden, tahu bahwa mereka berhak menyampaikan laporan atau pengaduan jika mendapatkan perlakuan tidak adil dalam proses hukum. Dan, 39,9 persen responden tidak mengetahui hal tersebut. ”Jadi, hampir 60 banding 40. Ternyata yang 40 ini tidak tahu bahwa mereka punya hak untuk menyampaikan laporan. Hal ini menjadi tugas kita semua agar masyarakat aware (sadar) terhadap haknya untuk menyampaikan pengaduan ketika ada perlakuan tidak adil yang dialami,” ujar Mimin.
Jadi, hampir 60 banding 40. Ternyata yang 40 ini tidak tahu bahwa mereka punya hak untuk menyampaikan laporan. Hal ini menjadi tugas kita semua agar masyarakat aware (sadar) terhadap haknya untuk menyampaikan pengaduan ketika ada perlakuan tidak adil yang dialami.
Survei menunjukkan bahwa generasi baby boomers, mereka yang berpendidikan rendah, dan kelas bawah cenderung kurang mendapatkan sosialisasi hak untuk menyampaikan pengaduan. Mayoritas yang tidak mendapatkan sosialisasi hak untuk menyampaikan pengaduan itu adalah mereka yang berada di perdesaan. Hal ini mengonfirmasi pentingnya sosialisasi dan pendidikan hukum kepada masyarakat, terutama di segmen tersebut.
Rekomendasi
Terkait rekomendasi, Mimin menuturkan bahwa lembaga penegak hukum direkomendasikan terus memperbaiki kinerjanya supaya mampu memenuhi dan melindungi hak memperoleh keadilan.
Rekomendasi berikutnya adalah lembaga penegak hukum agar membuat regulasi, standardisasi, dan pemahaman yang sama atas pendekatan keadilan restoratif supaya memenuhi dan melindungi hak memperoleh keadilan secara benar dan hakiki.
Selanjutnya, lembaga penegak hukum dan negara agar bekerja sama dengan lembaga bantuan hukum, tokoh masyarakat/pemuka adat, dan Komnas HAM dalam melakukan perbaikan menyeluruh atas regulasi, kebijakan, dan program terkait dengan hak memperoleh keadilan. ”Hal ini terutama untuk memperbaiki akses atas bantuan hukum bagi masyarakat miskin dan mereka yang tinggal di wilayah perdesaan,” ujar Mimin.
Mimin menuturkan, lembaga penegak hukum pun agar mengacu pada standar norma dan pengaturan tentang hak memperoleh keadilan—yang saat ini sedang disusun oleh Komnas HAM—sebagai panduan dan penafsiran atas hak memperoleh keadilan. Hal ini agar sesuai dengan prinsip HAM dan standarisasi pemenuhan serta perlindungan hak memperoleh keadilan.
Baca juga : 21 Tahun, Realisasi UU Pengadilan HAM Masih Jauh Panggang dari Api
Di sesi tanggapan terhadap hasil survei, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, menuturkan, Kompolnas setiap tahun rata-rata menerima pengaduan masyarakat sebanyak 3.000-4.000 kasus. Sebanyak 90 persen di antaranya mengadukan kinerja reserse. Sebanyak 80 persen di antaranya mengeluhkan pelayanan buruk, misalnya proses penyelidikan dan penyidikan lama.
”Misalnya, enggak segera ditetapkan tersangka atau ditetapkan tersangka, tapi karena tersangka (masuk) DPO (daftar pencarian orang) sehingga kasus terkatung-katung. Ada juga terkait administrasi, misalnya belum dikirim SP2HP (surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan) dan sebagainya. Itu kalau di Kompolnas masuk sebagai pelayanan buruk, kalau dalam penelitian (survei) ini masuk dalam diskriminasi,” kata Poengky.
Di Kompolnas pun ada aduan terkait diskriminasi. Tahun 2021 ini, Kompolnas menerima 43 aduan terkait diskriminasi. ”Misalnya, si A mengadu pada polisi. A dan B bermusuhan. Si B juga mengadu. Jadi, A dan B sama-sama mengadu ke polisi. Tetapi, meski si A mengadu terlebih dahulu, proses si B yang dijalankan lebih cepat sehingga di situ ada diskriminasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian,” kata Poengky.
Baca juga : Tindak Lanjuti Instruksi Kapolri dengan Perkuat Pengawasan Internal
Secara total, sepanjang Januari hingga November 2021, Kompolnas menerima 3.701 aduan. Perinciannya, antara lain, terkait reserse 1.511 aduan, samapta 210 aduan, propam 68 aduan, dan lalu lintas 16 aduan. Pelayanan buruk sebanyak 1.055 aduan, penyalahgunaan wewenang 128 aduan, diskriminasi 43 aduan, diskresi keliru 20 aduan, dan korupsi 6 aduan.
”Sampai saat ini masih ada pengaduan ke Kompolnas sehingga jumlah tersebut di atas dapat bertambah. Kemudian, tidak semua yang diadukan benar sehingga kami harus melakukan klarifikasi atau gelar perkara dengan kasatwil dan kasatker,” kata Poengky.
Sampai saat ini masih ada pengaduan ke Kompolnas sehingga jumlah tersebut di atas dapat bertambah. Kemudian, tidak semua yang diadukan benar sehingga kami harus melakukan klarifikasi atau gelar perkara dengan kasatwil dan kasatker.
Terpicu dan terpacu
Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA) Dwiarso Budi Santiarto menuturkan, hal yang menjadi sorotan pihaknya adalah masalah penilaian terhadap putusan hakim yang sebagian besar masih menyatakan tidak adil. Pembahasan secara internal dengan pimpinan dan badan litbang diklat di MA akan dilakukan untuk mencari tahu mengenai aspek bagaimana dan apa yang menyebabkan hal tersebut. ”Walaupun ini bukan merupakan hal yang baru bagi kami, dengan adanya survei dari Komnas HAM ini, kami menjadi terpicu dan terpacu untuk memperbaiki diri,” ujarnya.
Baca juga : Sidang Pidana Daring, Pemenuhan Hak Terdakwa Perlu Dievaluasi
Dwiarso menuturkan, hal yang juga cukup mengejutkan adalah sebagian besar responden tidak setuju dengan sidang daring (online) di masa pandemi. MA, dalam hal ini badan peradilan, tentu tidak bisa bekerja sendiri dan akan saling berkaitan dengan pihak kepolisian, kejaksaan, dan pengacara. Pemeriksaan saksi, pemeriksaan barang bukti, dan segala sesuatu dalam suatu sidang daring memiliki banyak kaitan yang berbeda dengan sidang tatap muka atau sidang terbuka untuk umum di ruang persidangan.
Sidang daring tersebut tergantung pada jaringan internet dan sarana-prasarana pada kepolisian. ”Misalnya, tahanan atau terdakwa itu ditahan di polsek-polsek, di mana polsek-polsek itu masih belum memiliki jaringan atau prasarana yang memadai untuk memeriksa si terdakwa yang ditahan di sana,” kata Dwiarso.
Karena itu, terkadang harus menggunakan peralatan seperti telepon genggam milik penyidik dan tidak memakai komputer atau laptop. Kondisi seperti ini memengaruhi kelancaran sidang daring tersebut. ”Sehingga perlu kita telusuri dan pelajari, apakah yang menyebabkan masyarakat ini tidak setuju terhadap sidang online itu karena masalah sarana-prasarana atau masalah culture dan mindset,” ujar Dwiarso.
Perlu kita telusuri dan pelajari, apakah yang menyebabkan masyarakat ini tidak setuju terhadap sidang online itu karena masalah sarana-prasarana atau masalah culture dan mindset.
Apabila hal tersebut diakibatkan masalah budaya dan pola pikir, menurut dia, kita tidak bisa menghambat adanya suatu teknologi yang digunakan untuk kebaikan dalam melaksanakan atau mewujudkan suatu peradilan. ”Karena apa? Karena di masa pandemi ini tidak mungkin kita paksakan untuk hadir. Mungkin hanya terhadap kasus-kasus tertentu saja, yang tidak dimungkinkan sidang online, bisa kita laksanakan sidang secara tatap muka,” ujarnya.
Dwiarso menuturkan, hal seperti itu pun nantinya dapat menimbulkan penilaian masyarakat yang mempertanyakan mengapa satu kasus dapat dilaksanakan dengan sidang tatap muka dan kasus lain tidak. Demikian pula ada penilaian bahwa pengadilan tidak adil dan tidak memberlakukan secara sama.
Terkait masalah pengaduan, Dwiarso menuturkan bahwa lembaga badan pengawasan merupakan suatu pengawas fungsional dari MA yang melakukan pengawasan secara internal. Di samping itu, ada Komisi Yudisial yang melakukan pengawasan secara eksternal. ”Kami juga menerima berbagai pengaduan yang dari tahun ke tahun meningkat. Kami juga telah melakukan pemeriksaaan, turun tim, kemudian kita juga sudah menghasilkan LHP (laporan hasil pemeriksaan),” katanya.
Baca juga : ICW Sebut Penindakan Kasus Korupsi oleh Penegak Hukum Sangat Buruk
Laporan hasil pemeriksaan selanjutnya ditindaklanjuti dengan penjatuhan hukuman disiplin. Sebagai gambaran, dari tahun ke tahun, sampai tahun 2020, rata-rata hukuman disiplin terhadap hakim dan aparat peradilan setahun berkisar 120 sampai 160. ”Tapi, untuk tahun ini sudah di atas 200. Ini kami tidak tahu apakah karena ada peningkatan pelanggaran atau kinerja dari badan pengawasan yang tahun ini, karena masa pandemi, kita delegasikan pemeriksaan itu ke pengadilan tingkat banding,” kata Dwiarso.
Pengadilan tingkat banding yang daya jangkau dan rentang kendalinya lebih pendek dengan obyek yang diperiksa tersebut diperkirakan lebih efektif untuk memeriksa atau menangani pengaduan-pengaduan tersebut. “Sehingga kami berkesimpulan dengan adanya kecepatan kita menangani pengaduan, semakin banyak pula pengaduan yang masuk. Akan tetapi, sebagaimana yang disampaikan Kompolnas, tidak semua pengaduan itu kita tangani karena ada beberapa kriteria,” ujarnya.
Dia memisalkan, pengaduan-pengaduan yang bersifat teknis peradilan atau substansi putusan itu merupakan kemandirian hakim yang tidak bisa ditangani oleh badan pengawasan, tapi harus dikoreksi dengan upaya hukum. Artinya, kalau orang kalah dan tidak puas, upaya hukumnya adalah banding. ”Tapi, kalau ada sesuatu pelanggaran kode etik dalam memutus, itu bisa melakukan pengaduan ke badan pengawasan,” kata Dwiarso.
Perbaikan mekanisme dan pengawasan
Asisten Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan dan Pemajuan HAM Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Rudy Syamsir menuturkan, ada keinginan masyarakat memperoleh keadilan karena keadilan ini sangat universal. Pengaduan masyarakat dalam menyampaikan laporan dapat digunakan sebagai sarana memperbaiki mekanisme kerja dan pengawasan internal institusi penegakan hukum.
Sejumlah pengaduan yang disampaikan masyarakat tidak dapat dijadikan sebagai indikator tunggal untuk menggambarkan perilaku aparat penegak hukum yang masih belum mampu melaksanakan tugasnya untuk mencapai suatu keadilan. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan pemahaman masyarakat dalam memperoleh keadilan atas kasus hukum yang dihadapinya.
”Di mana hendaknya mereka masih mempunyai suatu upaya hukum lainnya, yang memang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Selain itu juga bisa memanfaatkan bantuan hukum yang ada. Dengan demikian, masyarakat dapat mengerti bahwa penegakan hukum itu bersifat mandiri dan tidak dapat diintervensi. Itu kata kuncinya.
”Di mana hendaknya mereka masih mempunyai suatu upaya hukum lainnya, yang memang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Selain itu juga bisa memanfaatkan bantuan hukum yang ada. Dengan demikian, masyarakat dapat mengerti bahwa penegakan hukum itu bersifat mandiri dan tidak dapat diintervensi. Itu kata kuncinya,” kata Rudy.
Baca juga : Penegakan Hukum Harus Lebih Adil
Terkait peningkatan pemahaman hak asasi manusia bagi aparatur sipil negara, aparatur penegak hukum, masyarakat, maupun pemerintah, Rudy mengatakan bahwa pemerintah secara berkesinambungan telah melaksanakan berbagai program sosialisasi, pelatihan, dan training of trainer (ToT). Upaya tersebut dilaksanakan baik secara mandiri maupun terintegrasi dalam berbagai kurikulum pendidikan, kedinasan, dan bahan ajaran.
Selain itu, aparat sipil negara dan aparat penegak hukum juga telah dibekali pengetahuan, mekanisme, dan prosedur yang menjadi kewenangan dan tanggung jawab berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tiap-tiap institusi penegak hukum pun telah membentuk mekanisme penanganan dan pembinaan terhadap berbagai tindak penyimpangan serta penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan oknum-oknum aparat untuk menekan arogansi eksesif ataupun penyimpangan di luar prosedur lain.
Dan, pemerintah juga telah berkomitmen menindak tegas jajarannya apabila terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penyalahgunaan kewenangan dan/atau tidak sesuai dengan prosedur yang berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku. ”Jadi, pemerintah sudah pasti akan menindak tegas pelaku-pelaku pelanggaran ini,” ucap Rudy.
Baca juga : Libatkan Peran Masyarakat, Pelayanan Publik Dilengkapi Pengaduan
Selain itu, pemerintah terus mendorong fasilitas berupa segala sarana pengaduan masyarakat untuk meningkatkan fungsi kontrol kinerja aparat dan pemerintah. Ada sistem pengelolaan pengaduan pelayanan publik nasional atau layanan aspirasi pengaduan daring rakyat. Demikian pula sistem informasi pelayanan komunikasi masyarakat untuk HAM dan sistem pengaduan lain.
”Namun, pemerintah juga memandang masih perlu peningkatan mekanisme pengawasan dan kinerja untuk mewujudkan akuntabilitas dan profesionalitas aparat dalam penyelenggaraan pemerintah dan penegakan hukum,” kata Rudy.
Pemerintah juga memandang masih perlu peningkatan mekanisme pengawasan dan kinerja untuk mewujudkan akuntabilitas dan profesionalitas aparat dalam penyelenggaraan pemerintah dan penegakan hukum.
Jumlah pengaduan masyarakat yang diterima Komnas HAM dari waktu ke waktu yang relatif tidak turun, menurut Rudy, menunjukkan bahwa sebenarnya harapan masyarakat kepada lembaga Komnas HAM menjadi bagian paling utama. Hal ini perlu diapresiasi dan menjadi catatan bagi pemerintah untuk mewujudkan penegakan hukum dan HAM dengan sebaik-baiknya dalam upaya memperoleh keadilan.
Komnas HAM sebagai lembaga negara independen, berdasarkan tugas dan fungsinya, diharapkan dapat memberikan edukasi kepada masyarakat dalam memperjuangkan hak memperoleh keadilan. Hal ini dapat ditempuh dengan memberikan pemahaman yang benar, obyektif, serta berdasarkan prosedur dan aturan hukum positif yang saat ini berlaku di Indonesia.