Tindak Lanjuti Instruksi Kapolri dengan Perkuat Pengawasan Internal
Instruksi Kapolri untuk mencegah tindakan tidak profesional polisi perlu ditindaklanjuti dengan penguatan pengawasan internal. Yang juga penting, sosialisasikan ulang pemahaman akan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas menilai instruksi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo untuk menindak tegas oknum anggota Polri yang melanggar aturan perlu diikuti penguatan pengawasan melekat dari pimpinan kepada anggotanya. Selain itu, diperlukan pembinaan ulang dalam penggunaan kekuatan dan pemahaman akan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Dalam arahannya terhadap para kepala satuan wilayah, Selasa (19/10/2020), Listyo menginstruksikan kepada semua kepala kepolisian daerah dan kepala kepolisian resor untuk tidak ragu memberi sanksi pidana atau menjatuhkan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat (PDTH) kepada personel yang tidak menjalankan tugas sesuai aturan. Listyo juga meminta agar jajaran Polri tidak antikritik.
Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto ketika dihubungi, Rabu (20/10/2021), mengatakan, rentetan kejadian akibat ulah oknum polisi beberapa waktu terakhir telah mencoreng citra Polri.
Kejadian yang dimaksud antara lain kekerasan yang dilakukan Bripda NP terhadap mahasiswa pengunjuk rasa di Tangerang, Banten; pemukulan oleh anggota Satlantas Polresta Deli Serdang, Sumatera Utara, terhadap pengendara motor; Polsek Percut Sei Tuan, Polres Medan, yang diduga tidak profesional dan proporsional dalam menangani kasus penganiayaan; serta dugaan asusila oleh Kapolsek Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Kejadian serupa dapat terjadi lagi apabila tidak segera diambil langkah oleh Kapolri.
Apalagi, kondisi saat ini sangat transparan sehingga membuat pengawasan publik begitu intens. Apa pun yang buruk di mata publik bisa dikritisi, bahkan diviralkan melalui media sosial. Tak terkecuali pelayanan kepolisian yang buruk; perilaku menyimpang, arogan, tidak sopan, dan kasar; termasuk ketika terjadi penanganan perkara yang berlarut-larut.
”Saya menyoroti peran pengawasan oleh atasan langsung dan sanksi bagi atasan apabila anak buahnya melakukan pelanggaran. Menurut saya, ini sangat penting karena yang bisa mencegah maupun mendeteksi dini anggota yang melanggar atau bertindak tidak sesuai prosedur adalah atasannya,” tutur Benny.
Untuk itu, sebelum memberikan tugas, atasan atau pimpinan harus memberikan arahan dan pembekalan tentang prosedur operasi standar serta kode etik yang harus dipatuhi.
Pengawasan dari atasan juga penting karena pengawas internal ataupun eksternal Polri baru mengetahui permasalahan ketika hal itu diadukan atau setelah dibicarakan di media.
Terkait dengan hal itu, Benny mengapresiasi penerbitan surat telegram ST/2162/X/HUK.2.8/2021 tertanggal 18 Oktober 2021 yang ditujukan kepada semua kapolda. Isi telegram secara jelas memberi arahan, peringatan, serta sanksi tegas dan keras bagi anggota kepolisian yang melakukan tindakan kekerasan terhadap masyarakat dan melanggar hukum.
Selanjutnya, Benny meminta agar proses penanganan anggota polisi yang melakukan pelanggaran dilakukan secara transparan. Dengan demikian, masyarakat bisa mengawal dan yakin bahwa instruksi Kapolri dalam surat telegram benar-benar dilaksanakan.
”Seperti dalam kasus Kapolsek Parigi yang membuat geram semua pihak. Menurut saya, perlu langkah cepat dan transparan dan apabila terbukti perlu dijatuhkan sanksi terberat. Hal ini untuk memberi efek jera sekaligus meyakinkan masyarakat bahwa pimpinan Polri konsisten bertindak tegas dan keras tanpa pandang bulu,” kata Benny.
Momentum berbenah
Anggota Kompolnas, Poengky Indarti, juga menekankan pentingnya peran pimpinan untuk mencegah tindakan negatif oleh anggotanya. Namun, tak cukup hanya itu, pimpinan kepolisian juga harus bisa memberikan contoh yang baik kepada bawahannya.
Menurut Poengky, saat ini merupakan momentum bagi Polri untuk membenahi diri. Setiap pimpinan harus meningkatkan pengawasan terhadap bawahannya. Lembaga pengawasan internal Polri juga harus lebih ketat mengawasi jajaran anggota Polri.
”Ini momentum bagi divisi profesi dan pengamanan, inspektur pengawasan umum (irwasum), dan inspektur pengawasan daerah (irwasda) untuk lebih ketat mengawasi. Jangan sampai terjadi, karena mau melindungi anggota, yang seharusnya diproses pidana hanya diproses etik atau disiplin,” katanya.
Maka, lanjutnya, pengawasan melekat harus sungguh-sungguh dilakukan. Dengan demikian, terjadinya tindakan negatif oleh anggota Polri dapat sesegera mungkin dideteksi dan dicegah. Lembaga pengawas internal pun diminta lebih independen dalam mengawasi dan menegakkan hukum terhadap anggota Polri.
Selain itu, perbaikan dapat dilakukan secara sistematis melalui pendidikan. Saat pendidikan, anggota harus betul-betul memahami kapan kekuatan digunakan. Begitu pula pentingnya implementasi prinsip hak-hak asasi manusia dalam setiap penugasan.
Sebenarnya, menurut Poengky, Polri telah memiliki Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Perkap No 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM.
Dalam peraturan itu diatur, semisal, tahapan penggunaan kekuatan, termasuk senjata api beserta pengawasannya. Isi dari peraturan tersebut juga diajarkan di Akademi Kepolisian ataupun Sekolah Polisi Negara (SPN).
”Saya melihat kekurangannya itu semua diajarkan dalam waktu yang singkat dan yang diajarkan hanya teori. Sementara mereka sudah capek karena terkuras pendidikan fisik. Di sisi lain, praktik terkait HAM tidak banyak diberikan. Maka, ketika selesai pendidikan dan masuk ke penugasan, ini dilupakan,” tuturnya.
Agar peraturan yang sudah baik itu dapat diterapkan oleh setiap anggota di lapangan, jajaran Polri perlu dibina kembali atau dilakukan sosialisasi ulang baik terkait prinsip maupun regulasi yang mesti dipegang ketika berhadapan dengan masyarakat. Dengan demikian, slogan polisi humanis dapat benar-benar dirasakan masyarakat.
Sementara itu, Kepala Divisi Propam Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo mengatakan, dalam pengarahan Kapolri kepada semua kepala satuan wilayah (kasatwil) diinstruksikan untuk dilakukan pengawasan melekat terhadap semua kegiatan operasional dari anggota di lapangan.
”SOP harus terus diperhatikan dan kita akan terus mengingatkan ini,” kata Ferdy.
Kegiatan di medsos
Mengenai adanya anggota Polres Metro Jakarta Timur bernama Aipda Monang Parlindungan Ambarita yang disorot masyarakat karena video pemeriksaan telepon genggam, kini ia dimutasi ke Bidang Humas Polda Metro Jaya bersama dengan Aiptu Jakaria S. Mutasi tersebut tertuang dalam surat telegram Kapolda Metro Jaya bernomor ST/458/X/KEP./2021 pada 18 Oktober 2021.
Dikutip dari Kompas TV, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus dalam jumpa pers mengatakan, mutasi adalah hal yang biasa dan merupakan bagian dari tour of duty.
Aipda Ambarita dikenal publik secara luas melalui saluran Youtube Raimas Backbone. Channel tersebut kini memiliki 1,4 juta pelanggan. Terkait hal itu, akun Twitter @fullmoonfolks melontarkan kritik karena kegiatan yang dilakukan tim yang dipimpin Aipda Ambarita tersebut menghasilkan uang. Sementara disebutkan bahwa uang itu digunakan salah satunya untuk biaya makan dan merawat sepeda motor anggotanya.
Terkait dengan munculnya sosok-sosok polisi yang tenar di publik karena media sosial, Poengky melihat hal itu tidak bisa dihindari. Kegiatan yang dilakukan Aipda MP Ambarita dinilainya merupakan bagian dari kegiatan preventif kepolisian.
”Itu adalah bagian dari upaya polisi untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat agar masyarakat bersama-sama menjaga,” katanya.
Meski demikian, kegiatan yang disebarkan secara luas melalui media sosial tersebut seharusnya tetap diawasi institusi Polri. Dengan demikian, kontennya tidak ada yang keliru. Demikian pula jika ternyata konten di media sosial tersebut menghasilkan uang, hal itu tetap dalam pengawasan institusi.