ICW Sebut Penindakan Kasus Korupsi oleh Penegak Hukum Sangat Buruk
Peneliti ICW, Lalola Easter, menyebutkan, pada semester I tahun 2021, dibandingkan dengan kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penindakan yang dilakukan kejaksaan lebih baik.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penindakan terhadap kasus korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum selama semester I tahun 2021 masih belum memenuhi target. Dari target 1.109 kasus korupsi, realisasinya hanya ada 209 kasus yang ditangani oleh seluruh aparat penegak hukum.
Berdasarkan data daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) yang diolah Indonesia Corruption Watch (ICW), target penindakan oleh seluruh aparat penegak hukum (APH) selama 2021 sebanyak 2.217 kasus. Total anggaran yang dialokasikan untuk penindakan kasus korupsi oleh APH Rp 382,8 miliar.
Peneliti ICW, Lalola Easter, mengungkapkan, dari pemantauan ICW dalam rentang waktu Januari sampai dengan Juni 2021, hanya ada 209 kasus yang ditangani seluruh aparat penegak hukum.
“Dari 209 kasus itu, ada 188 kasus baru, 17 pengembangan kasus, dan 4 operasi tangkap tangan. Kita ingat target sudah mencapai 1.109 kasus, tetapi realisasinya sampai 30 Juni 2021 hanya 209 kasus dengan 482 tersangka, potensi kerugian negara Rp 26,830 triliun, dan potensi nilai suap Rp 96 miliar,” kata Lalola dalam konferensi pers secara daring, Minggu (12/9/2021).
Lalola mengatakan, dengan membandingkan target yang hendak dicapai, maka kinerja penindakan kasus korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sepanjang semester I tahun 2021 hanya mencapai 19 persen dan berada pada peringkat E atau sangat buruk.
Ia menjelaskan, dibandingkan kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penindakan yang dilakukan kejaksaan lebih baik. Kejaksaan memiliki 532 kantor di seluruh Indonesia dengan target 285 kasus. Sepanjang semester I, kejaksaan menangani 151 kasus. Persentase kinerja penindakan kasus korupsi kejaksaan sekitar 53 persen atau masuk dalam kategori cukup.
Lalola mengungkapkan, nilai kerugian negara dari kasus yang ditangani oleh kejaksaan merupakan yang terbesar selama semester I dibandingkan dengan institusi lainnya, yakni sebesar Rp 26 triliun. Meskipun demikian, kata Lalola, nilai kerugian tersebut tidak dapat serta-merta menjadi pencapaian karena kejaksaan harus memastikan bahwa uang tersebut kembali kepada kas negara.
Dari sisi profesionalitas, sejumlah kejaksaan diduga tidak menangani kasus korupsi. Selain itu, kejaksaan masih minim melakukan pengembangan kasus yang ditangani, salah satunya kasus jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam perkara pelarian Joko S Tjandra.
Adapun kepolisian yang memiliki 517 kantor dengan target penanganan kasus korupsi selama semester I-2021 sebanyak 763 kasus, hanya dapat menangani 45 kasus. Persentase penindakan kasus korupsi oleh kepolisian sekitar 5,9 persen atau masuk dalam kategori sangat buruk.
Menurut Lalola, belum ada upaya dari kepolisian untuk membongkar kasus pada aktor yang paling strategis. Selama semester I-2021, kepolisian tidak pernah menggunakan instrumen pasal pencucian uang. Hal tersebut bertolak belakang dengan janji Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo yang menegaskan akan memaksimalkan pemulihan aset dalam kasus korupsi pada saat uji kelayakan di Komisi III DPR.
Sementara itu, KPK yang hanya berkantor di Jakarta telah menangani 13 kasus dari target 60 kasus. Persentase kinerja penindakan kasus korupsi oleh KPK sekitar 22 persen atau dalam kategori buruk.
Menurut Lalola, penonaktifan terhadap 75 pegawai KPK yang mulai berlaku sejak 5 Mei 2021 berdampak pada kinerja KPK. Dilihat dari kasus korupsi yang ditangani KPK selama semester I-2021, sebanyak 11 kasus ditangani sebelum penonaktifan, sedangkan dua lainnya setelah penonaktifan. Dari 13 kasus tersebut, lima kasus ditangani oleh penyidik yang dinonaktifkan.
KPK juga dinilai pasif untuk melakukan upaya supervisi kasus korupsi yang ditangani oleh penegak hukum lain. Salah satunya, kasus PT Asabri yang ditangani kejaksaan.
Kompas meminta tanggapan Ketua KPK Firli Bahuri dan Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Djoko Purwanto, serta Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak soal hasil kajian ICW terkait penindakan kasus korupsi. Namun, hingga Minggu malam, mereka tidak meresponsnya.
Dihubungi secara terpisah, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho mengatakan, ada beberapa dimensi untuk melihat minimnya penindakan kasus korupsi oleh aparat penegak hukum. Hal itu yakni pendekatan pencegahan yang berhasil, minimnya laporan dari masyarakat, atau penegak hukum yang kurang mempunyai gairah yang maksimal untuk mengungkap.
Menurut Hibnu, ketika masyarakat sudah patuh dan taat, kasus korupsi bisa tidak terjadi. Namun, yang berbahaya adalah ketika masyarakat pesimistis terhadap penegak hukum. ”Ini bahaya kalau masyarakat tidak menginformasikan. Sumber penindakan itu dari laporan dan pengaduan atau diketahui penyidik,” ujarnya.
Ia menambahkan, faktor penyebab lain minimnya penindakan yang dilakukan aparat penegak hukum adalah masalah sarana prasarana yang minim. Sebab, semua dana difokuskan untuk penanganan pandemi Covid-19. Hibnu mengatakan, secara teori, pengungkapan kasus akan efektif apabila didukung sumber daya manusia, kultur, dan sarana prasarana.