Skema Perbaikan UU Cipta Kerja Berpotensi Menuai Resistensi
Skema perbaikan UU Cipta Kerja sebagai tindak lanjut putusan MK yang dirancang pemerintah didahului dengan merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, tak sedikit yang menilai UU itu tak perlu direvisi.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah kukuh dengan rencananya untuk merevisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai bagian dari tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Namun, rencana pemerintah ini bisa jadi menuai resistensi karena ada pandangan revisi UU tersebut tak dibutuhkan. Yang perlu dilakukan adalah memperbaiki mekanisme pembentukan UU Cipta Kerja.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly saat dihubungi, Minggu (5/12/2021), memastikan, revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan akan masuk dalam usulan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2022 yang dibuat pemerintah dan akan dibahas dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Senin ini. Masuknya revisi UU dalam Prolegnas menjadi syarat sebelum UU tersebut dibahas hingga disahkan oleh pemerintah bersama DPR.
Dalam revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang disiapkan pemerintah, menurut Yasonna, akan dimasukkan norma soal mekanisme pembentukan UU dengan metode omnibus law. ”Bukan di dalam lampiran, tetapi format nanti kami pikirkan sebagai lampiran, ada pasal tentang omnibus law,” ujar Yasonna.
Dalam wawancara dengan Kompas, pekan lalu, Yasonna menyampaikan, selain merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pemerintah juga akan secara simultan merevisi UU Cipta Kerja. ”Kami akan bergerak secara simultan. Yang typo pasti diselesaikan, yang substansi kami lihat dan akan kami perbaiki,” kata Yasonna (Kompas, 2/12).
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas membenarkan soal rencana rapat dengan pemerintah untuk membahas Prolegnas 2022. Namun, apakah revisi UU tersebut akan disepakati sebagai bagian dari tindak lanjut atas putusan MK terkait dengan UU Cipta Kerja dan diputuskan masuk dalam Prolegnas 2022, ia tidak dapat memastikannya karena hal itu berpulang pada sikap fraksi-fraksi di DPR. ”Akan kami bahas besok,” ujarnya, Minggu (5/12/2021).
Apalagi, saat ini ada pandangan bahwa revisi UU tersebut tidak termasuk dalam amar putusan MK terkait UU Cipta Kerja, tetapi hanya dissenting opinion atau pendapat berbeda sejumlah hakim MK dari mayoritas hakim MK. MK dalam putusannya hanya meminta mekanisme pembentukan UU Cipta Kerja yang diperbaiki. Oleh karena itu, UU Cipta Kerja perlu dibahas kembali dari awal, sejak penyusunan naskah akademik.
Namun, apa pun keputusan yang diambil pemerintah dan DPR dalam rapat, politikus asal Partai Gerindra ini menjanjikan perbaikan UU Cipta Kerja akan berlangsung cepat. Di sisi lain, perbaikan tetap akan mengikuti rambu-rambu pembentukan UU, seperti telah disebutkan MK dalam putusannya.
”Tentu, kami akan lebih hati-hati dalam pembahasan nanti. Itu otomatis. Artinya, MK, kan, sudah memberi rambu-rambu bahwa mekanisme itu tidak boleh dianggap remeh sehingga pembuat undang-undang harus taat terhadap mekanisme pembuatan undang-undang, dan itu akan kami lakukan,” ucap Supratman.
Masih berlaku
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan, sebagaimana putusan MK, dalam waktu dua tahun, UU Cipta Kerja masih akan berlaku dan pemerintah diperintahkan untuk memperbaiki prosedur.
Selama perbaikan prosedur ini, lanjut Mahfud, pemerintah juga telah memutuskan untuk tidak mengeluarkan lagi kebijakan strategis. ”Nah, kalau ada kebijakan yang dikeluarkan lagi, tentu tidak boleh strategis, tetapi kebijakan yang sifatnya operasional saja, teknis, administrasi,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari khawatir pemerintah dan DPR salah dalam menafsirkan putusan MK atas UU Cipta Kerja. Mestinya, jika DPR dan pemerintah mematuhi putusan MK, dilakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja, bukan malah memunculkan gagasan untuk memperbaiki UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Putusan MK tersebut, menurut Feri, harus dilihat untuk mengoreksi pembentuk UU sehingga tidak mengabaikan tahapan-tahapan dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja. Salah satunya, menyerap partisipasi publik hampir di seluruh lini tahapan.
”Nah, bagi saya, jika malah muncul gagasan memperbaiki UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ini pemahaman yang tidak sehat. Janganlah seperti itu. Itu artinya, kalau kita melanggar rambu-rambu lalu lintas, yang kita perbaiki itu rambu-rambu untuk menyesuaikan agar pelanggaran kita itu tidak melanggar hukum. Bukan begitu caranya. Kita harus betul-betul akan menegakkan rambu-rambu lalu lintas itu supaya tegaklah hukum itu,” tutur Feri.
Dalam amar putusan, MK mengatakan, UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan turunan dari Pasal 22 A UUD 1945. Artinya, seluruh prosedur pembentukan perundang-undangan yang ada dalam UU tersebut adalah prosedur yang diharapkan konstitusi untuk dijalankan pembentuk UU. ”Artinya, kalau tidak ada prosedurnya begitu, ya, berarti melanggar konstitusi,” kata Feri.
Lagi pula, menurut dia, pemerintah tidak bisa asal merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dengan alasan mematuhi putusan MK. Sebab, jika dilihat putusan MK, usulan perbaikan UU tersebut justru muncul di dissenting opinion.
”Nah, kalau dilakukan itu sesuai dengan dissenting opinion, memperbaiki UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, itu sama artinya menentang amar putusan. Celakanya lagi, kalau sampai proses revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ini mengulang kembali kesalahan pembahasan undang-undang yang baik dan benar,” ujarnya.