Mahkamah Konstitusi Galau, UU Cipta Kerja Kacau-balau
Langkah cepat pembuat undang-undang tidak bisa ditunda lagi, karena kekosongan dasar untuk tindakan/kebijakan strategis harus segera dicarikan solusinya.
Hari Kamis (25/11/2021), Mahkamah Konstitusi membacakan 12 putusan terkait dengan konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Hanya satu permohonan yang dikabulkan sebagian. Sebelas perkara lain tak diterima: satu karena dianggap tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing), 10 karena dianggap sudah ”kehilangan obyek”.
Yang paling menarik perhatian, dan menimbulkan perdebatan adalah putusan 91/PUU-XVIII/2020 (Putusan 91), yang menyebabkan UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).
Apresiasi
Putusan 91 patut mendapatkan apresiasi karena merupakan pertama kali MK mengabulkan uji formil suatu undang-undang. Sebelumnya, sejak tahun 2003 hingga sebelum dibacakannya Putusan 91, terdapat 69 pengujian formil, dan tak ada satu pun yang dikabulkan MK. Padahal banyak proses legislasi kita yang problematik, misalnya disahkan tanpa memenuhi kuorum kehadiran atau karena minim melibatkan publik.
Putusan 91 adalah landmark decision dalam makna, proses legislasi harus mendapat perhatian serius dan sama pentingnya dengan substansi undang-undang itu sendiri. Proses legislasi yang mengabaikan asas-asas, misalnya, akan menyebabkan undang-undang itu dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Putusan 91 juga menegaskan setiap rancangan undang-undang (RUU) wajib memiliki naskah akademik.
Yang paling melegakan, MK akhirnya sadar banyaknya praktik manipulasi partisipasi publik. MK menilai parameter partisipasi publik haruslah benar-benar bermakna (meaningful participation).
Oleh sebab itu, kegiatan yang hanya formalitas dan seremoni belaka tidak boleh dianggap sebagai partisipasi publik.
Oleh sebab itu, kegiatan yang hanya formalitas dan seremoni belaka tidak boleh dianggap sebagai partisipasi publik. MK menegaskan, ”Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat, yaitu pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained)”.
Better late than never. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Seandainya MK juga menerapkan prinsip partisipasi publik yang setara nilainya, akan banyak kepentingan konstitusional publik yang diselamatkan.
Dengan standar yang sama, harusnya uji formil perubahan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan UU Mineral dan Batubara (Minerba) yang sejatinya menihilkan partisipasi publik juga wajib dibatalkan, karena menelikung daulat rakyat, dan karenanya bertentangan dengan prinsip dasar konstitusi dan demokrasi. Di kedua perubahan UU itu, tanpa pembatalan oleh MK, yang dimenangkan dan tersenyum lebar adalah kekuatan oligarki yang koruptif.
Baca juga : Tindak Lanjuti Putusan MK, Asas Pembentukan Perundang-undangan Jangan Diabaikan
Kekacauan serius
Meskipun perlu diapresiasi, Putusan 91 juga mempunyai persoalan serius yang berbahaya bagi kelangsungan norma hukum di lingkup cipta kerja. Karena MK yang gamang dan galau, akibatnya implementasi UU Cipta Kerja menjadi kacau-balau. Paling tidak ada dua kekacauan serius yang lahir akibat dari kegalauan Putusan 91.
Pertama, Putusan 91 menghadirkan impunitas konstitusional selama maksimal dua tahun bagi keseluruhan substansi UU Cipta Kerja. MK berargumen, substansi UU Cipta Kerja sudah berubah dengan Putusan 91, maka uji materi atas UU Cipta Kerja tidak bisa dilakukan karena telah ”kehilangan obyek”. Hal demikian tentu saja sangat berbahaya dan tidak tepat. Karena amar ke-4 Putusan 91 dengan tegas memberlakukan UU Cipta Kerja paling tidak selama dua tahun meskipun pada saat yang sama dinyatakan inkonstitusional.
Bagaimana mungkin suatu undang-undang yang masih berlaku, tidak bisa diuji materiil konstitusionalitasnya. Lain halnya, jika putusan MK menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak dibacakan.
Maka benar, bahwa obyek pengujian materiil telah hilang. Tetapi karena putusan MK masih memberi toleransi masa hidup maksimal dua tahun kepada UU Cipta Kerja, maka menyatakan uji materi tidak bisa dilakukan karena ”kehilangan obyek” menjadikan UU Cipta Kerja sebagai satu-satunya undang-undang yang tidak dapat diuji isinya, meskipun masih berlaku.
Kedua, sebenarnya tidak ada yang aneh dengan putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) dalam Putusan 91 tersebut. MK sudah berulang kali memberikan keputusan demikian. Apalagi, logika memberlakukan sementara suatu undang-undang yang dinyatakan inkonstitusional memang bukan kali pertama dilakukan MK. Misalnya, MK memberi waktu tiga tahun berlakunya pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor)—meskipun Pasal 53 UU KPK-nya dinyatakan inkonstitusional (vide Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006).
Logika yang sekilas terkesan inkonsisten itu adalah ijtihad MK untuk menghindari kekacauan hukum, dengan tetap memperhatikan aspek keadilan dan kemanfaatan, bukan hanya kepastian hukum. Jadi memberi ruang maksimal dua tahun untuk tetap berlakunya UU Cipta Kerja, walaupun telah dinyatakan inkonstitusional, dapat dibaca sebagai toleransi MK agar tak terjadi kekacauan hukum karena telah telanjur banyak aturan pelaksanaan, dan telah diimplementasikannya UU Cipta Kerja dalam berbagai sektor kehidupan bernegara.
Namun, persoalan menjadi kacau-balau, ketika MK menambahkan pertimbangan 3.20.5 dan amar ke-7 yang ”menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas”. Penangguhan tindakan/kebijakan demikian menimbulkan banyak persoalan yang tidak sederhana.
Pertama, buat apa MK memberlakukan UU Cipta Kerja yang dinyatakannya inkonstitusional kalau hanya untuk hal yang tidak strategis dan tidak berdampak luas. Kalau hanya untuk urusan yang remeh-temeh demikian, UU Cipta Kerja tidak diperlukan dan lebih bagus dibatalkan seketika saja tanpa waktu toleransi dua tahun.
Akibatnya, akan timbul kekosongan tindakan/kebijakan strategis dan berdampak luas di bidang cipta kerja.
Kedua, Pasal 4 UU Cipta Kerja mengatur bahwa ruang lingkup kerja UU Cipta Kerja adalah kebijakan strategis, yang logikanya pasti berdampak luas. Sehingga, menangguhkan pelaksanaan tindakan/kebijakan UU Cipta Kerja untuk yang bersifat strategis, berarti menunda pelaksanaan keseluruhan UU Cipta Kerja. Konsekuensinya, masa toleransi dua tahun tidak diperlukan lagi.
Karena, untuk apa pula memberlakukan suatu undang-undang yang inkonstitusional, padahal seluruh pelaksanaannya ditangguhkan?
Last but not least, yang paling kacau-balau dari adanya amar ke-7 adalah karena semua tindakan/kebijakan strategis berdasarkan UU Cipta Kerja dan aturan pelaksanaannya harus ditangguhkan, sedangkan aturan-aturan lama masih tidak dapat digunakan karena telah diubah atau dicabut UU Cipta Kerja yang masih berlaku.
Akibatnya, akan timbul kekosongan tindakan/kebijakan strategis dan berdampak luas di bidang cipta kerja. Dasar hukumnya masih berlaku, tapi harus ditangguhkan pelaksanaan tindakan/kebijakan hukumnya. Untuk bidang cipta kerja yang pastilah sangat penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak, putusan yang demikian, tentu saja adalah kekeliruan yang fatal dan mendasar.
Baca juga : Ujian bagi Hakim Mahkamah Konstitusi
Solusi
Bagaimanapun Putusan 91 sudah diterbitkan, final dan mengikat (final and binding). Maka, pembuat undang-undang (Presiden, DPR, dan DPD) harus segera melaksanakan putusan MK tersebut dengan memperbaiki pembuatan UU Cipta Kerja.
Langkah pertama adalah menyusun aturan baku di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang mengakomodasi model omnibus. Selanjutnya, proses legislasi harus mengoreksi kekurangan-kekurangan yang dipersoalkan oleh MK, termasuk soal urgensi partisipasi publik yang betul-betul nyata dan bermakna.
Langkah cepat pembuat undang-undang tidak bisa ditunda lagi, karena kekosongan dasar untuk tindakan/kebijakan strategis harus segera dicarikan solusinya. Yang juga tidak boleh dilupakan, meskipun MK hanya menyoal proses pembuatannya, tetapi karena semuanya akan diulang kembali—terlebih dengan syarat partisipasi publik yang bukan formalitas semata—pembahasan lagi materi UU Cipta Kerja menjadi tidak terhindarkan.
Ujungnya harus diperjuangkan lahirnya undang-undang yang tidak hanya menjamin iklim investasi yang sehat, tetapi juga mengabdi pada kepentingan publik pemilik Republik. Cukuplah sekali MK dibuat galau, karena UU Cipta Kerja yang kacau-balau.
Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara, Senior Partner Integrity Law Firm