Masuki Usia 50 Tahun, Jurnal ”Prisma” Ingin Jaga Tradisi Intelektual
Sekalipun usia ”Prisma” memasuki 50 tahun, tetapi dari usia penerbitan sebenarnya baru 40 tahun karena sempat mati suri selama 1998-2009. Baru pada 2009, ”Prisma” kembali terbit sampai saat ini.
Oleh
Rini Kustiasih
·6 menit baca
Kompas
Sarasehan dan testimoni peringatan 50 tahun jurnal Prisma, Sabtu (4/12/2021). Acara dihadiri oleh pendiri LP3ES dan jurnal Prisma, antara lain Nono Anwar Makarim dan Ismid Hadad.
JAKARTA, KOMPAS — Jurnal Prisma yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) tepat berusia 50 tahun pada Sabtu (4/12/2021). Jurnal yang menjadi wadah bagi para intelektual dan cendekiawan Indonesia itu bertekad menyongsong 50 tahun mendatang dengan menjaga tradisi intelektual yang diwariskan oleh para pendirinya.
Peringatan 50 tahun jurnal Prisma itu dirayakan dengan menggelar sarasehan dan testimoni secara daring yang diikuti ratusan peserta pada Sabtu. Sebagian pembicara hadir langsung di kantor LP3ES dan Prisma di Cinere, Depok, Jawa Barat, dengan menerapkan protokol kesehatan ketat. Mereka yang hadir memberikan sambutan dan testimoni antara lain dua pendiri LP3ES dan Prisma, Nono Anwar Makarim dan Ismid Hadad; Direktur Eksekutif LP3ES Fajar Nursahid, Pemimpin Redaksi Prima Harry Wibowo; dan Direktur Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia Almut Besold.
Harry Wibowo mengatakan, Prisma terbit pertama kali sebagai jurnal atau majalah berkala pada 4 Desmeber 1971. Dalam peringatan 50 tahun usia Prisma, pihaknya menerbitkan edisi khusus dan sejumlah buku. Edisi khusus Prisma itu sekaligus juga untuk mengenang dan menghormati para awak redaksi dan pendiri LP3ES maupun Prisma yang telah berpulang. Salah satunya ialah mantan Pemred Prisma Daniel Dhakidae, yang berpulang pada April 2021.
”Yang menarik, sekalipun usia Prisma memasuki 50 tahun, tetapi dari usia penerbitan sebenarnya baru 40 tahun karena sempat mati suri selama satu dekade, yakni pada 1998-2009. Baru pada 2009, Prisma kembali terbit sampai saat ini,” katanya.
Pemimpin Redaksi Prisma Harry Wibowo dalam sarasehan dan testimoni dalam peringatan 50 tahun jurnal Prisma, Sabtu (4/12/2021).
Nono Anwar Makarim mengatakan, dalam memperingati usia 50 tahun Prisma, dirinya justru ingin memberikan sejumlah kritikan bagi hari depan Prisma. Ia meminta awak Prisma untuk mencermati perkembangan mutakhir di kalangan anak-anak yang lebih muda. Terjadi budaya membaca di kalangan generasi baru ini. Mereka cenderung tidak sabar membaca dan tidak bisa tahan membaca kalimat panjang. ”Oleh karena itu, saya ingin mengusulkan agar readership survey itu dilakukan sekarang. Ini perlu untuk mengetahui bagaimana sebenarnya efek Prisma terhadap mereka,” katanya.
Selain itu, ada beberapa isu yang mesti dicermati Prisma dan perlu diulas terus dalam beberapa kali terbitan Prisma ke depan. Tiga isu itu merupakan masalah besar di Indonesia sehingga mesti mendapatkan perhatian Prisma. Pertama, menurut Nono, ada kekhawatiran tentang nasib Indonesia di masa depan, terutama dengan melihat kualitas pendidikan di Tanah Air.
”Apa yang akan terjadi dengan Indonesia 15 tahun mendatang. Dapatkah kita bersaing dan apakah pendidikan itu kian berkembang atau justru kembali gamang,” ujarnya.
Ada beberapa isu yang mesti dicermati Prisma dan perlu diulas terus dalam beberapa kali terbitan Prisma ke depan.
Soal pendidikan ini penting karena ada kecenderungan ketika menteri ganti, maka jajarannya pun ganti dan kebijakannya juga akan berbeda. Dalam mengulas isu pendidikan ini, Nono meminta Prisma tidak khawatir dengan kontroversi yang mungkin timbul dari tulisan itu. ”Kontroversi itu akan selalu ada, tidak bisa kita menolak. Saya harap ini bisa terus didalami dan jangan takut,” katanya.
Pendiri LP3ES, Nono Anwar Makarim, dalam sarasehan dan testimoni peringatan 50 tahun jurnal Prisma, Sabtu (4/12/2021).
Kedua, merosotnya daya beli kaum buruh di Indonesia. Sejak beberapa tahun terakhir, kemerosotan daya beli itu terasa sehingga peru diulas mendalam mengenai bagaimana akar persoalan dan solusinya. Ketiga, Nono menyoroti soal sikap umat Islam di Indonesia yang tidak jelas arahnya.
”Ini yang betul-betul membuat saya galau, sedih, marah. Umat Islam memikirkan apa tentang Indonesia in sekarang. Barusan itu mereka demo menuju ke Monas, 212, dengan mengenakan pakaian putih. Apa maunya? Negara Islam? Kalau memang mayoritas menginginkan itu, bisa saja, tetapi semua harus setuju. Tetapi mayoritas ini sekarang terpecah-belah dan tidak mencapai kesepakatan,” ujarnya.
Nono meminta semua pihak untuk berpikir panjang dan mendalam tentang sejarah pembentukan dan kemerdekaan Indonesia.
Jurnal intelektual
Ismid Hadad mengatakan, tahun ini sebenarnya bukan hanya peringatan 50 tahun Prisma saja. Sebab, pada 1971 ada tiga institusi yang lahir dan saling berkaitan satu sama lain. Awal mulanya, berdiri Perhimpunan Indonesia untuk Pembinaan Pengetahuan Ekonomi dan Sosial (Bineksos) di awal 1971. Selanjutnya, organisasi yang baru berdiri itu bekerja sama dengan Friedrich Naumann Foundation dan melahirkan LP3ES, Agustus 1971. Pada Desember 1971, LP3ES menerbitkan jurnal Prisma.
”Ini satu keajaiban karena ada tiga institusi lahir di tahun yang sama, mulai dari kakek, bapak, dan anknya sekalian. Ketiganya juga sama-sama bisa bertahan hingga 50 tahun,” katanya.
Salah satu pendiri LP3ES, Ismid Hadad, dalam sarasehan dan testimoni peringatan 50 tahun jurnal Prisma, Sabtu (4/12/2021).
Sampai saat ini, ketiga institusi itu hidup di ”rumah” yang sama meskipun berbeda ”kamar.” Setiap organisasi dapat hidup dengan baik dan mewarnai tradisi intelektual di Indonesia. Kendati demikian, dalam perkembangannya, menurut Ismid, jurnal Prisma lebih dikenal oleh publik Indonesia daripada Bineksos dan LP3ES.
”Saya pikir itu keajaiban kedua karena meskipun lahir belakangan, Prisma ini justru lebih dikenal publik dan itu berjalan sejak zaman Orde Baru. Ketiga organisasi ini bisa melakukan transedensi melintasi perubahan rezim dan geenrasi. Ketiganya mash bisa berfungsi dan berperan hingga saat ini,” katanya.
Pada saat dirinya memimpin LP3ES, Ismid mengaku mengusulkan dua hal. Pertama, agar LP3ES menerbitkan buku-buku ilmu pengetahuan di bidang ekonomi dan sosial yang ditulis oleh para ahli Indonesia. Kedua, agar LP3ES menerbitkan majalah atau jurnal berkala.
Untuk menghindari prkatik pembredelan media, Ismid mengusulkan agar jurnal yang diterbitkan LP3ES itu ditulis lebih serius dan materinya agar berat. Dengan demikian, kesan intelektual dalam jurnal itu lebih kental.
Pada saat itu, Ismid dan Nono adalah juga pengampu suatu surat kabar atau harian yang dibredel oleh Orba. Oleh karena itu, untuk menghindari prkatik pembredelan media, Ismid mengusulkan agar jurnal yang diterbitkan LP3ES itu ditulis lebih serius dan materinya agar berat. Dengan demikian, kesan intelektual dalam jurnal itu lebih kental.
”Karena kalau ditulis dengan format biasa saja, nanti dibaca intel mudah. Dan bisa kena bredel lagi. Tetapi kalau ditulis dengan canggih, seperti media intelek, dan berat, intel biasanya malas baca. Dan itu betul, kami lolos dari pembredelan, bahkan lolosnya sampai 50 tahun,” katanya.
Acara sarasehan dan testimoni peringatan 50 tahun jurnal Prisma diikuti ratusan peserta secara daring, Sabtu (4/12/2021).
Sekalipun merupakan jurnal intelektual, Ismid dan pendiri LP3ES lainnya tidak mendesain Prisma sebagai sepenuhnya jurnal akademik. Jurnal itu tetap ditulis dengan pendekatan jurnalistik yang mudah dicerna oleh pembaca.
Dalam perjalanannya, Prisma sempat mati suri. Baru pada 2009, Pemred Prisma ketika itu, Daniel Dhakidae, gigih memerjuangkan agar media cetak itu bisa terbit kembali secara rutin. Hasilnya, Prisma yang sempat vakum selama sepuluh tahun bisa kembali bangkit dengan format dan tradisi intelektual yang tetap terjaga sampai saat ini.
Dalam testimoninya, Almut Besold mengatakan, sekalipun kerja sama antara FNF dan Bineksos berakhir pada awal tahun 80-an, tetapi LP3ES dan Prisma tetap menjadi mitra baik FNF. ”Kerja sama kami di awal berdirinya LP3ES itu selalu menjadi salah satu tonggak keberadaan FNF di Indonesia. Walau kerja sama berakhir awal 80-an, relasi kami tetap baik,” ujarnya.
Almut menuturkan, Prisma dan LP3ES memiliki peran penting dalam lahirnya tradisi intelektual di Indonesia. Bagi sarjana-sarjana di Indonesia, ketika tulisannya masuk dan diterbitkan di Prisma, itu merupakan kebanggaan tersendiri.
Direktur Friedrich Naumann Foundation (FNF) Indonesia Almut Besold dalam sarasehan dan testimoni peringatan 50 tahun jurnal Prisma, Sabtu (4/12/2021).
Fajar Nursahid mengatakan, dirinya selaku generasi penerus tradisi intelektual di LP3ES berharap dapat terus menjaga warisan para pendiri tersebut. ”Kami berusaha keras untuk menjaga value yang ditinggalkan pendiri kita. Meskipun tidak bisa menggantikan mereka, warisan value itu berusaha kami jaga, baik itu tradisi intelektualnya, kekritisan, menjaga jarak yang sama dengan kekuasaan, maupun imparsialitas,” katanya.