Gerakan masyarakat sipil di Indonesia dipandang stagnan, bahkan mengalami kemunduran. Padahal, masyarakat sipil yang kuat diperlukan untuk mengawasi kinerja pemerintah.
Oleh
Nikolaus Harbowo, Ingki Rinaldi
·5 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Para demonstran yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil (GEMAS) berdemonstrasi menuntut pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (17/9/2019). Mereka meminta DPR segera membentuk Tim Perumus RUU PKS dengan melibatkan masyarakat selama proses pembahasan RUU PKS. Kompas/Wawan H Prabowo
JAKARTA, KOMPAS - Dua dekade setelah reformasi, gerakan masyarakat sipil yang menjadi salah satu kekuatan penyokong demokrasi sedang menghadapi tantangan berat. Masyarakat sipil saat ini harus berhadapan dengan persoalan seretnya pendanaan, kesulitan merekrut relawan, terjadinya pembelahan masyarakat, serta keterbatasan kualitas aktivis dan fragmentasi di antara masyarakat sipil.
Dua pekan terakhir, Kompas berdiskusi dengan belasan narasumber, yakni aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Jakarta dan peneliti gerakan masyarakat sipil dari dalam dan luar negeri, untuk memotret kondisi masyarakat sipil yang bergerak di isu terkait demokrasi, seperti hak asasi manusia, kebebasan sipil, korupsi, pemilu, serta penegakan hukum dan konstitusi. Kompas juga menggelar jajak pendapat untuk melihat persepsi publik terhadap masyarakat sipil di Indonesia, melibatkan 504 responden di 17 kota besar di Indonesia pada 26-27 Februari 2020.
Adapun, masyarakat sipil ialah kelompok terorganisasi yang relatif otonom dari lembaga negara. Mereka mengartikulasi nilai dan membangun solidaritas dalam mencapai tujuannya (Mietzner, 2011). Contohnya, LSM dan organisasi kemasyarakatan keagamaan.
Dari hasil jajak pendapat terlihat 86,3 persen responden menganggap Indonesia masih memerlukan gerakan masyarakat sipil yang kuat untuk mengawasi pemerintah. Selain itu, 74,8 persen responden yakin gerakan masyarakat sipil akan tetap eksis. Namun, mayoritas responden menganggap kondisi masyarakat sipil stagnan atau bahkan lebih buruk dari awal reformasi. Hanya 43,5 persen responden menganggap gerakan masyarakat sipil lebih baik.
Beberapa tahun terakhir, pendanaan dari lembaga donor diakui aktivis LSM semakin seret. Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Alwan Ola Riantoby mengatakan, kucuran dana dari lembaga donor saat ini sudah tidak lagi ada. Alwan membandingkan dengan kondisi tahun 2004-2009 saat relawan masih mendapatkan honor. Saat ini, ”imbalan” relawan hanya sertifikat. Isu demokrasi di Indonesia yang dianggap lembaga donor telah tuntas menjadi sebagian penyebab seretnya pendanaan.
Di sisi lain, menurut dia, makin sedikit generasi muda yang berminat jadi aktivis organisasi masyarakat sipil. Di Pemilu 2019, JPPR hanya mampu merekrut 700 relawan pemantau pemilu. Hal ini berdampak pada luasan cakupan pengawasan pemilu JPPR yang menjadi jauh lebih terbatas. Pada Pemilu 2004 dan 2009, relawan JPPR mencapai 14.000 orang.
Indonesia Corruption Watch (ICW) tak mengalami kendala kendati pendanaan dari donor berkurang. Ini karena sejak 2008, ICW mulai menggalang dana publik. Namun, ICW kesulitan merekrut anggota. ”Tak banyak yang mau bergabung dengan ICW. Uang tak banyak, tapi tantangan dan risikonya besar,” kata Koordinator ICW Adnan Topan Husodo.
Tantangan
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Arif Maulana menuturkan, setelah reformasi 1998, tak ada gagasan yang relatif baru untuk memperkuat gerakan masyarakat sipil. ”Salah satu sebabnya, pascareformasi masyarakat sipil terbagi-bagi mengawal agenda-agenda reformasi. Jarang berkomunikasi, saling memperkuat sehingga (hampir) tak ada agenda bersama,” kata Arif.
Selain itu, dia juga menuturkan, masyarakat sipil terkendala banyaknya keputusan penting yang berdampak besar ke kehidupan masyarakat justru tak melibatkan masyarakat.
Sementara itu, Haris Azhar, pendiri Lokataru yang memiliki divisi bantuan hukum, yayasan, dan penelitian, mengatakan pelemahan gerakan masyarakat sipil, terutama di bidang HAM dan demokrasi, saat ini berlangsung global.
Kompas/Wawan H Prabowo
Para aktivis HAM yang dimotori oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) menghadiri peringatan 13 Tahun Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (16/1/2020). Kompas/Wawan H Prabowo
Mengerutnya ruang masyarakat sipil di Indonesia, kata dia, terjadi karena aturan hukum atau administrasi, fisik, kriminalisasi dalam bentuk tuduhan korupsi dan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik, serta narasi negatif lewat hoaks atau doxing. Doxing ialah pengumpulan data pribadi seseorang untuk disebar dengan narasi tertentu.
Peneliti politik Indonesia dari Australia National University, Australia, Marcus Mietzner, yang dihubungi dari Jakarta, menambahkan, permasalahan baru masyarakat sipil Indonesia saat ini adalah fragmentasi yang semakin tinggi karena terinfeksi politik identitas. Akibatnya, banyak organisasi masyarakat prodemokrasi tak efektif lagi membela institusi penting.
Dia mencontohkan kasus pelemahan KPK melalui isu ”Taliban”. Dalam kasus KPK, ada organisasi masyarakat yang berpikir bahwa KPK sudah diambil-alih ”Taliban” sehingga tidak layak dibela lagi. Akhirnya, KPK dilemahkan karena pembelaan masyarakat sipil tidak sekuat sebelumnya.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Para mahasiswa berusaha menghindari gas air mata yang ditembakkan polisi saat berunjuk rasa di depan Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9/2019). Mereka berunjuk rasa menuntut dibatalkannya UU Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi dan menolak isi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Sementara itu, pengajar politik Universitas Indonesia, Nur Iman Subono, berpendapat di era Orde Baru ada semacam glorifikasi terhadap masyarakat sipil sebagai agen demokrasi. Namun, setelah reformasi, ternyata masyarakat sipil begitu terfragmentasi, bahkan ada pula komponennya yang tidak mendukung demokrasi.
Menurut dia, masyarakat sipil yang stagnan, bahkan memburuk, bisa berdampak pada defisit demokrasi. Untuk itu, pertama-tama harus ada otokritik dari dalam masyarakat sipil, sekaligus reposisi masyarakat sipil untuk mengambil peran mewarnai kebijakan politik.
Belum mewarnai
Saat ini cukup banyak tokoh LSM bergabung di partai politik atau pemerintah. Namun, peran mereka dinilai sejumlah aktivis LSM belum memberi warna. Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menuturkan, sudah ada mantan anggota KIPP yang masuk lembaga negara, tapi mereka belum dominan mewarnai lembaga itu.
Menurut dia, keberadaan orang-orang yang di masa lalu aktif dalam gerakan masyarakat sipil, dan kini dalam lingkaran kekuasaan, mestinya dapat turut membantu regenerasi di organisasi masyarakat sipil. Selain itu, idealnya juga membantu agar kelompok masyarakat sipil makin banyak jumlahnya dan bertambah kemampuannya.
Pandangan yang relatif sama muncul dari Koordinator Program ICT Watch Indriyatno Banyumurti. Menurut dia, idealnya, mantan aktivis yang berkiprah di lembaga negara berperan sebagai jembatan masyarakat sipil dengan negara. Mereka juga harus mewarnai lembaga tempat kini mereka aktif di dalamnya. Namun, ia melihat keadaannya kini cenderung tak seperti kondisi ideal itu.
Banyumurti menuturkan pengalaman ICT Watch. Sebagian kalangan mempertanyakan posisi ICT Watch saat kebijakan internet shutdown di sebagian Papua diberlakukan. Hal ini menyusul keberadaan salah seorang pendiri ICT Watch di institusi pemerintahan yang bertanggung jawab atas kebijakan internet shutdown itu. (Edna C Pattisina/Prayogi Dwi Sulistyo/Antony Lee)