50 Tahun LP3ES, Besar di Orde Baru, Berperan di Era Reformasi
Pada masa Orde Baru, LP3ES kritis dan bisa memberikan masukan kepada kekuasaan. Sesudah Orde Baru tumbang, LP3ES diramalkan juga akan mati. Namun, ramalan itu tak terbukti. Kini, LP3ES telah berusia 50 tahun.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·6 menit baca
Tanggal 19 Agustus 1971 menjadi hari yang bersejarah bagi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial atau LP3ES. Sejak 50 tahun yang lalu, LP3ES menjadi lembaga yang melahirkan banyak tokoh nasional. Meskipun pengaruhnya tak sebesar di masa Orde Baru, LP3ES tetap menghasilkan tokoh nasional dan gagasan yang membangun di era Reformasi.
Salah satu pendiri LP3ES, Ismid Hadad, menceritakan awal berdirinya LP3ES dalam sarasehan bertajuk ”Civil Society, Demokrasi, dan Masa Depan Bangsa”, Kamis (19/8/2021), yang digelar daring. Ia mengisahkan, pada 1971 berdiri LP3ES bersama dua organisasi penunjang, yakni Bineksos (Perhimpunan Indonesia untuk Pembinaan Pengetahuan Ekonomi dan Sosial) dan jurnal Prisma.
LP3ES dan dua institusi penunjangnya tersebut lahir lima tahun setelah kekuatan rezim Orde Lama berakhir. Mereka lahir ketika rezim Orde Baru Presiden Soeharto memulai tahap awal membangun kekuasaannya di Indonesia.
Ismid menyebutkan, ada dua unsur penting dari masyarakat sipil yang mendukung kehadiran LP3ES. ”Pertama, kelompok aktivis eks pelajar, mahasiswa, dan dosen angkatan 1966. Kedua, para akademisi dan intelektual lintas generasi dan lintas disiplin yang menjadi pendukung kritis Orde Baru,” tuturnya.
Aliansi dua unsur masyarakat sipil tersebut melakukan gerakan. Para aktivis dan intelektual muda merintis serta menerapkan satu konsep atau model alternatif yang berlaku di pemerintahan. Tujuannya untuk pembangunan sosial ekonomi yang lebih adil, merata, dan demokratis yang prosesnya dimulai dari bawah.
Pada dua periode pertama, menurut Ismid, LP3ES berhasil membantu upaya berbagai pihak dalam peran masyarakat sipil. Namun, kemudian peran dan dampak kegiatan dari LP3ES ataupun masyarakat sipil pada umumnya menjadi surut serta kalah cepat dalam melakukan konsolidasi. Peran mereka kalah oleh aktor negara ataupun swasta yang semakin kuat dan dominan di masa Orde Baru hingga sekarang.
Penting bagi LP3ES dan masyarakat sipil untuk menumbuhkan kembali peran masyarakat sipil yang kritis serta berdaya. Itu penting sebagai penyeimbang aktor negara ataupun swasta sehingga demokrasi di Indonesia bisa berjalan lebih sehat, adil, dan mampu mencerdaskan serta menyejahterakan kehidupan masyarakat.
Ia mengungkapkan, hal tersebut merupakan refleksi dari peran kaum intelektual dan masyarakat sipil yang pernah mencicipi puncak keemasannya pada periode 1980 hingga 1990-an yang melahirkan era Reformasi. Namun, justru ketika reformasi itu lahir, para aktor masyarakat sipil terjebak dalam euforia demokrasi dan masuk perangkap politik praktis.
Sebagian dari kelompok masyarakat sipil itu berpindah kuadran menjadi aktor negara. Banyak dari mereka yang menjadi pejabat birokrasi, politikus di lembaga legislatif, badan usaha milik negara (BUMN), dan lembaga publik lain.
Ismid mengingatkan, penting bagi LP3ES dan masyarakat sipil untuk menumbuhkan kembali peran masyarakat sipil yang kritis serta berdaya. Itu penting sebagai penyeimbang aktor negara ataupun swasta sehingga demokrasi di Indonesia bisa berjalan lebih sehat, adil, dan mampu mencerdaskan serta menyejahterakan kehidupan masyarakat.
Negara tidak bisa sendirian dalam melakukan modernisasi pembangunan ekonomi dan demokrasi sehingga bermitra dengan masyarakat sipil. Pada masa Orde Baru, LP3ES kritis dan bisa memberikan masukan kepada kekuasaan. Karena itu, LP3ES tidak bisa diberangus.
”Saya ingin menjadi saksi hidup bahwa di tahun 2021 ini sudah lahir generasi muda baru yang tidak kalah baik dan kritisnya dengan generasi 1970-an,” tutur Ismid.
Secara terpisah, Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto mengungkapkan, di masa Orde Baru, LP3ES merupakan agen modernisasi dari sisi masyarakat sipil. Negara tidak bisa sendirian dalam melakukan modernisasi pembangunan ekonomi dan demokrasi sehingga bermitra dengan masyarakat sipil. Pada masa Orde Baru, LP3ES kritis dan bisa memberikan masukan kepada kekuasaan. Karena itu, LP3ES tidak bisa diberangus.
LP3ES dibangun oleh lingkungan Orde Baru. Mereka adalah Emil Salim, Ali Wardhana, Nono Anwar Makarim, dan Ismid Hadad. Pada masa itu, Emil dan Ali masih bekerja di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Mereka satu tim dengan Widjojo Nitisastro.
Adapun Widjojo menjadi Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri yang merupakan menteri utama Presiden Soeharto. Karena itu, LP3ES dapat bekerja sama dan mempengaruhi ide-ide Orde Baru. Emil Salim pun menjadi menteri di masa Orde Baru, salah satunya Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Selain Emil, ada juga Soemitro Djojohadikoesoemo dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti yang menjadi menteri.
Kiprah LP3ES di masa Orde Baru bisa dilihat dari dua sisi. Satu sisi tokoh LP3ES yang menjadi menteri atau masuk dalam kekuasaan, di sisi lain LP3ES mempunyai peran kritis terhadap kekuasaan. Daniel Dhakidae, Selo Soemardjan, Koentjaraningrat, Ignas Kleden, dan Julia Suryakusuma adalah beberapa tokoh LP3ES pada masa itu yang selalu kritis pada kekuasaan.
Selain itu, jurnal Prisma memainkan peran penting. Sebagai majalah ilmu sosial yang populer di masa itu, Prisma yang kritis menjadi rujukan ilmuwan dan pengambil kebijakan di Indonesia.
Wijayanto menuturkan, di masa Orde Baru yang membangun ekonomi bersama para elite sehingga menghasilkan oligarki, LP3ES justru melakukan pembangunan dari bawah untuk kalangan miskin. Ada tokoh seperti Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang membangun pondok pesantren.
Reformasi
Sesudah Orde Baru tumbang, LP3ES diramalkan juga akan mati. Namun, ternyata ramalan tersebut tidak terbukti. Di era Reformasi, bebeberapa orang LP3ES masih berperan menjadi pejabat di pemerintahan, seperti Rizal Ramli, Ferry Mursyidan Baldan, Dahlan Iskan, Andrinof Chaniago, dan Emil Salim.
Di sisi lain, orang-orang LP3ES yang menjaga jarak dan selalu kritis terhadap kekuasaan di masa reformasi juga masih ada, di antaranya AE Priyono, Daniel Dhakidae, dan Azyumardi Azra.
Wijayanto mengakui, lembaga think tank atau lembaga swadaya masyarakat menjamur di masa Reformasi. Selain itu, banyak jurnal internasional, seperti Prisma, dapat diakses di Indonesia secara bebas. ”Memang peran LP3ES tidak sesentral dahulu (masa Orde Baru). (Namun), peran dia tidak bisa dikatakan hilang atau mati di masa Reformasi ini,” tuturnya.
Kepala Pusat Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Firman Noor mengungkapkan, banyak tokoh LP3ES yang membangun wacana melalui pendekatan ilmiah. Mereka tidak semata-mata beropini tanpa penelaahan mendalam. Jurnal Prisma menjadi salah satu produk LP3ES yang sangat digemari mahasiswa ataupun mereka yang fokus pada ilmu pengetahuan.
Menurut Firman, cendekiawan LP3ES dan jurnal Prisma memiliki pengaruh terhadap akademisi, aktivis, ataupun pengambil kebijakan. Dari sisi perseorangan ataupun kelembagaan, mereka tidak asing. Sebab, mereka cukup berkiprah, baik di dalam maupun luar pemerintahan.
Dahlan Iskan mengakui, LP3ES memiliki peran besar dalam mengubah hidupnya dari bekerja di media lokal hingga dapat bekerja di salah satu media nasional. Dalam 50 tahun, LP3ES menjadi pencipta tren dan membangun masyarakat sipil. Ia berharap saat ini LP3ES membuat agenda apa yang akan dicapai Indonesia dalam 25 tahun ke depan. Salah satunya, target pendapatan per kapita.
Azyumardi Azra menuturkan, beberapa tahun terakhir LP3ES kembali menggeliat, khususnya dalam isu demokrasi, media, dan pemerintahan yang baik. Generasi baru LP3ES bangkit berkiprah mengisi kekosongan yang ditinggalkan para pendahulu yang wafat.
Ia menuturkan, tantangan LP3ES secara khusus kini terkait ketersediaan dana, baik dari mitra pemerintah maupun nonpemerintah. Selain itu, harus cerdas dan cermat mengangkat isu demokrasi ketika kebebasan berpendapat kian menyempit dan masyarakat sipil semakin termarginalisasi.
Emil Salim mengungkapkan, pendidikan bukan hanya meningkatkan sumber daya manusia, melainkan juga meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia yang berpengaruh pada kualitas demokrasi. Indeks demokrasi Indonesia berkaitan erat dengan kualitas pendidikan. Karena itu, jika demokrasi mau dikembangkan, syarat mutlaknya adalah kembangkan pendidikan.
”LP3ES memelopori pendidikan. Mudah-mudahan mengilhami seluruh kekuatan masyarakat bangsa, membangun generasi bonus demografi 2045 sebagai dasar meningkatkan pendidikannya demi mengembangkan demokrasi Indonesia,” tutur Emil.