Di negara demokrasi, informasi ibarat oksigen yang menjadi barang publik. Tantangannya kini, informasi di internet justru dimanipulasi oleh opini-opini publik yang sebenarnya tidak ada akhirnya dianggap ada.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
KOMPAS/ZULKARNAINI
Pameran foto ”Refleksi Darurat Kebebasan Pers di Aceh; Jurnalis Tak Bisa Dibungkam”, Rabu (28/4/2021), di Banda Aceh. Diskusi tersebut bagian dari rangkaian kegiatan dalam rangka Hari Kebebasan Pers Dunia pada 3 Mei 2021.
JAKARTA, KOMPAS — Disrupsi teknologi dan kebebasan pers menjadi dua pukulan terberat pers dalam menghadirkan jurnalisme yang berkualitas. Padahal, kualitas demokrasi salah satunya dipengaruhi oleh kualitas jurnalisme dalam menghadirkan informasi sebagai barang publik.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Tantangan Jurnalisme di tengah Disrupsi 4.0 dan Kemunduran Demokrasi” yang diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial atau LP3ES, Senin (3/5/2021).
Di negara demokrasi, informasi ibarat oksigen yang menjadi barang publik. Jika kualitas informasi yang disuplai untuk publik tidak berkualitas, bisa berdampak pada kualitas demokrasi. (Wijayanto)
Diskusi memperingati Hari Kebebasan Pers Internasional tersebut menghadirkan pembicara Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Wahyu Dhyatmika, Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto, pengajar Ilmu Komuniasi Universitas Diponegoro Semarang Nurul Hafsi, serta Pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya Herlambang P Wiratraman.
Wijayanto menuturkan, di negara demokrasi informasi ibarat oksigen yang menjadi barang publik. Jika kualitas informasi yang disuplai untuk publik tidak berkualitas, bisa berdampak pada kualitas demokrasi.
Sayangnya, di era disrupsi teknologi, informasi di internet justru dimanipulasi oleh opini-opini publik yang dilakukan pasukan siber yang disebutnya sebagai tentara bayaran. Mereka melakukan manipulasi opini publik secara sistematis sehingga sesuatu yang sebenarnya tidak ada akhirnya dianggap publik ada.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Puluhan jurnalis di Malang, Jawa Timur, menggelar aksi damai memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia pada 3 Mei 2019 lalu.
Ia mencontohkan, dalam kasus pemberitaan mengenai revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tiba-tiba muncul tsunami percakapan di media sosial. Dalam waktu satu minggu muncul topik-topik dan kata-kata terpopuler di media sosial yang isinya mendukung revisi UU KPK, seperti #KPKTaliban. Padahal, saat itu, desakan publik agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak melakukan revisi sangat kuat.
”Hal-hal yang terpopuler di media sosial itu kemudian diamplifikasi oleh media-media arusutama sehingga berita mengenai hal itu sangat banyak,” katanya.
Dengan refleksi terhadap peristiwa itu, Wijayanto mengatakan, media mungkin tidak berhasil membuat publik memercayai sesuatu, tetapi selalu berhasil membuat publik memikirkan suatu isu. Ketika narasi yang dimanipulasi oleh media-media arusutama itu masuk dalam ruang diskusi publik, maka akan menjadi wacana yang dianggap benar oleh masyarakat.
”Akhirnya di survei Litbang Kompas, sebanyak 44,9 persen responden setuju terhadap revisi UU KPK,” ucapnya.
Tugas pers ke depan harus menyajikan berita yang lebih jernih dan bisa menjelaskan informasi melebihi jurnalisme warga yang banyak beredar di media sosial. Hal itu sangat bisa dilakukan karena pers terikat dengan kode etik dan memiliki institusi organisasi yang memonitor bias atau tidak dalam melihat suatu peristiwa. (Sutta Dharmasaputra)
Menurut Sutta, jurnalisme berkualitas menjadi elemen penting untuk menyebarkan informasi menjadi jernih dengan merekam fakta sebaik-baiknya. Namun, di era sekarang, hal tersebut tidak mudah dilakukan oleh jurnalis karena melimpahnya informasi di media sosial dan mesin-mesin aggregator atau pembaca umpan raksasa.
Hal itu diperparah dengan tingkat literasi digital masyarakat Indonesia yang masih rendah. Meskipun kecepatan internet masih cenderung lamban, literasi digital masyarakat di negara pengguna media sosial terbesar ketiga di dunia ini masih rendah. Bahkan, Indonesia berada di negara-negara yang tingkat kepedulian terhadap berita bohongnya rendah.
”Bisa dibayangkan, informasi yang melimpah yang seharusnya bisa mencerahkan jika tidak dikelola dengan baik bisa menyesatkan karena informasi itu dikonsumsi mentah-mentah tanpa membedakan mana informasi yang benar dan salah,” tutur Sutta.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Kaus sebagai sarana kampanye antihoaks atau berita bohong dikenakan jajaran pejabat Polda Metro Jaya saat mendeklarasikan gerakan antihoaks di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, pada 12 Maret 2018 lalu.
Ia mencontohkan, liputan investigasi tentang masker palsu yang dilakukan oleh Kompas bisa kalah dengan meme-meme dalam mendapatkan perhatian publik. Padahal, liputan itu dilakukan dengan melibatkan lembaga-lembaga lain dan menghabiskan biaya yang cukup mahal.
Hal itu menunjukkan bagaimana jurnalisme berkualitas bisa tertinggal dalam menarik perhatian publik akibat media-media di Indonesia tertinggal dalam penggunaan teknologi. Selain itu, publik cenderung belum bisa membedakan informasi-informasi berkualitas yang perlu dikonsumsi.
Sutta mengingatkan, tugas pers ke depan harus menyajikan berita yang lebih jernih dan bisa menjelaskan informasi melebihi jurnalisme warga yang banyak beredar di media sosial. Hal itu sangat bisa dilakukan karena pers terikat dengan kode etik dan memiliki institusi organisasi yang memonitor bias atau tidak dalam melihat suatu peristiwa.
”Peranan cross-check dan filter berita dalam newsroom memegang peranan penting untuk meningkatkan kualitas berita,” ucapnya.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Para jurnalis berunjuk rasa di Kantor Wali Kota Medan, Sumatera Utara, Rabu (21/4/2021).
Wahyu mengatakan, disrupsi digital mengubah model bisnis, proses produksi berita, dan distribusi konten berita. Perubahan itu membuat pers terobsesi terhadap angka yang meliputi klik dan jumlah pengunjung atau pembaca karena dianggap sebagai indikator keberhasilan. Padahal, ada indikator lain, seperti loyalitas pembaca dan keterikatan pembaca dengan media.
”Sayangnya, kondisi media di Indonesia sudah tidak ideal sejak sebelum adanya disrupsi digital,” ujarnya.
Oleh sebab itu, media harus melihat pembaca sebagai bagian yang integral dalam proses pembuatan berita. Media harus peka terhadap permintaan dari pembaca, bahkan menjadikan pembaca sebagai bagian dari ekosistem informasi. ”Kolaborasi menjadi hal yang krusial dalam jejaring media untuk meningkatkan kualitas berita,” kata Wahyu.
Kolaborasi menjadi hal yang krusial dalam jejaring media untuk meningkatkan kualitas berita. (Wahyu Dhyatmika)
Nurul menilai, degradasi kualitas media di era digital sejalan dengan kemunduran demokrasi. Teknologi digital membuat produsen dan konsumen berita menjadi blur karena publik juga memiliki akses dalam memproduksi berita. Hal ini mengakibatkan persaingan antara pers dan pembuat konten.
”Media dan jurnalisme memiliki tanggung jawab memastikan bahwa teknologi hanya alat yang membantu meningkatkan kualitas jurnalisme, bukan sebaliknya,” katanya.
Kompas/Wawan H Prabowo
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko berbicara kepada para jurnalis saat akan meninggalkan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan, Jakarta, seusai menghadiri kegiatan Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi Stranas PK 2021-2022, Selasa (13/4/2021). Stranas PK atau Strategi Nasional Pencegahan Korupsi adalah arah kebijakan nasional yang memuat fokus dan sasaran pencegahan korupsi yang digunakan sebagai acuan kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan aksi pencegahan korupsi di Indonesia.
Di tengah pukulan dari sisi disrupsi teknologi, menurut Herlambang, jurnalisme masih menghadapi tantangan pada kebebasan pers. Sejumlah jurnalis yang membuat konten jurnalisme berkualitas terutama pada isu-isu korupsi dan eksploitasi sumber daya alam mengalami tindak kekerasan.
Selain itu, kebebasan pers juga tidak bisa dilindungi karena adanya impunitas hukum. Sebanyak 84 kasus kekerasan terhadap jurnalis di sejumlah daerah sepanjang tahun 2020 mayoritas tidak pernah diusut oleh penegak hukum. ”Selama pandemi, pembatasan atas akses informasi, perahasiaan data, hingga kesejahteraan dan ancaman PHK (pemutusan hubungan kerja) juga turut menghantui jurnalis,” katanya.