Putusan MK Dinilai Penting Untuk Perbaikan Penyusunan Legislasi
Putusan MK akan membuat DPR dan pemerintah berhati-hati membuat undang-undang. Tidak mengabaikan tahapan dan tata cara pembentukan undang-undang yang terjadi dalam berbagai praktik, seperti UU Cipta Kerja dan UU KPK.
Oleh
Susana Rita
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat formil sehingga dinyatakan inkonstitusional bersyarat dinilai sebagai sebuah kemenangan bagi publik yang selama ini mempersoalkan proses pembentukan sejumlah undang-undang di DPR. MK memberikan penegasan secara lebih rinci mengenai bagaimana proses pembentukan undang-undang yang konstitusional.
”Putusan ini akan membuat DPR dan pemerintah harus berhati-hati dalam membuat undang-undang. Tidak mengabaikan tahapan dan tata cara pembentukan undang-undang yang dalam berbagai praktik terjadi, misalnya UU Cipta Kerja, UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan UU Minerba (UU Pertambangan Mineral dan Batubara),” kata Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, Kamis (25/11/2021).
Pada hari yang sama, melalui putusan nomor 91/PUU-XVIII/2020, MK menyatakan, tata cara pembentukan UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang. MK juga menemukan adanya perubahan penulisan beberapa substansi UU Cipta Kerja pasca-persetujuan bersama DPR dan pemerintah. Dalam putusannya, MK juga menyatakan bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundangan-undang di antara asas kejelasan rumusan dan tujuan serta asas keterbukaan sehingga UU Cipta Kerja dinyatakan cacat formil.
Meskipun cacat formil, MK tetap mempertimbangkan tujuan besar yang ingin dicapai melalui pembentukan UU Cipta Kerja dan sudah banyak dikeluarkannya aturan pelaksana, bahkan telah banyak yang diimplementasikan pada tataran praktik. Untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan, MK pun menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
MK memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut. Berdasarkan landasan hukum ini, UU Cipta Kerja diperbaiki guna memenuhi cara atau metode yang pasti dan standar, serta terpenuhinya asas-asas pembentukan undang-undang sebagaimana diamanatkan di dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
MK memberi waktu dua tahun bagi pemerintah dan DPR melakukan perbaikan tersebut. Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan perbaikan gagal dilakukan, UU Cipta Kerja akan menjadi inkonstitusional secara permanen.
Menurut Feri, putusan MK tersebut menjadi tanda bagi kemenangan publik yang selama ini mempermasalahkan UU Cipta Kerja. Sebelumnya, MK menerima 12 perkara permohonan uji formil dan materiil terkait dengan UU tersebut. Penolakan di kalangan masyarakat juga dilakukan secara luas, baik dari kalangan buruh maupun pihak-pihak lain, seperti masyarakat Adat.
Meski mengapresiasi putusan MK, Feri juga memberi tanda tanya yang besar mengapa MK memberlakukan UU Cipta Kerja yang inkonstitusional bersyarat selama dua tahun. ”Jika dianggap menyalahi ketentuan konstitusi dan UU No 12/2011, kenapa tidak dibatalkan dari sekarang agar pembuat UU memperbaiki. Kekosongan hukum tidak mungkin terjadi karena MK dapat memberlakukan peraturan yang lama,” ungkap Feri.
Menurut Feri, pilihan MK untuk menunda pembatalan UU Cipta Kerja selama 2 tahun itu janggal. ”Apa sebabnya ditunda 2 tahun untuk dinyatakan batal. Pilihan ini jadi janggal karena jangan sampai pembentuk undang-undang memahami bahwa UU ini bisa dipakai. Tidak begitu. Dua tahun sejak putusan MK, dilakukan perbaikan. Tidak dilakukan penerapan. Ini perlu dipahami oleh pembentuk undang-undang, baik pemerintah maupun DPR,” ujar Feri.
Feri juga mengungkapkan, untuk memperbaiki UU Cipta Kerja tak perlu dilakukan perbaikan terhadap UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Ia menyebut hal tersebut sebagai logica false. ”Masak yang salah X yang diperbaiki X. UU No 12/2011 (UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) dipaksa sesuai dengan UU No 11/2020 (UU Cipta Kerja),” ujarnya.
Menurut Feri, pilihan MK untuk menunda pembatalan UU Cipta Kerja selama 2 tahun itu janggal.
Prosedur pembentukan undang-undang
Dalam putusannya, MK menegaskan kembali apa yang dimaksud dengan ”pembahasan” undang-undang antara pemerintah dan DPR yang sesuai dengan Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945. MK kemudian juga membahas tentang pengesahan secara formil sebuah RUU sesuai dengan Pasal 20 Ayat (4) UUD 1945. Ketika persetujuan bersama antara Presiden dan DPR telah dicapai, secara doktriner persetujuan tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk pengesahan materiil. Terkait dengan hal itu, RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden tidak boleh lagi dilakukan perubahan yang sifatnya substansial.
”Jika terpaksa dilakukan perubahan, hanyalah bersifat format atau penulisan karena ada kesalahan pengetikan (typo) dan perubahan tersebut tidak boleh mengubah makna norma pasal atau substansi RUU yang telah disetujui bersama,” kata Hakim Konstitusi, Saldi Isra.
MK menemukan setidaknya delapan perubahan antara naskah UU Cipta Kerja disetujui bersama pemerintah dan DPR dengan naskah yang kemudian diundangkan di dalam lembaran negara.
MK juga memberi catatan mengenai partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Menurut Saldi, kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang merupakan pemenuhan amanat konsitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama bernegara (Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945). Partisipasi ini pun dijamin sebagai hak-hak konsitusional.
Dalam pembentukan undang-undang, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna sehingga tercipta partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh. Agar bermakna, menurut MK, partisipasi itu harus memenuhi tiga prasyarat, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Partisipasi ini harus dilakukan paling tidak dalam tahapan pengajuan RUU, pembahasan bersama DPR dan pemerintah, serta persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
Dalam konteks perkara yang diuji, MK menilai ada pelanggaran asas keterbukaan dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja. Dalam persidangan terungkap fakta bahwa pembentuk undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada masayarakat secara maksimal. Sekalipun telah dilaksaksanakan pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, pertemuan tersebut belum membahas naskah akademik dan materi perubahan di dalam RUU Cipta Kerja sehingga masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi perubahan UU apa saja yang akan digabungkan dalma UU No 11/2020.
Terlebih lagi naskah akademik dan RUU Cipta Kerja tidak dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Padahal, berdasarkan Pasal 96 Ayat 4 UU No 12/2011, pembentuk UU diharuskan untuk memudahkan masyarakat dalam memberi masukan secara lisan dan atau tertulis.
Sementara itu, terhadap permohonan pengujian materiil, MK mengatakan, sehubungan dengan UU Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat sejak putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 diucapkan, permohonan pengujian maeri menjadi tidak relevan lagi untuk dilanjutkan pemeriksaannya. Sebab, obyek permohonan yang diajukan tidak lagi sebagaimana substansi undang-undang yang dimohonkan pengujiannya.
”Terlebih lagi dengan mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan (vide Pasal 2 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman), maka terhadap permohonan pengujian materi a quo harus dinyatakan kehilangan obyek,” kata Hakim Konstitusi, Enny Nurbaningsih, saat membacakan pertimbangan putusan nomor 103/PUU-XVIII/2020.