Rapat Paripurna DPR hari ini membuka jalan pembahasan RUU Cipta Kerja. Padahal, kuat desakan agar pembahasan tidak dipaksakan di tengah pandemi Covid-19.
Oleh
RINI KUSTIASIH/DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Sekalipun bermunculan desakan agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tidak dilakukan di tengah pandemi Covid-19, DPR tak menggubrisnya. Dalam Rapat Paripurna DPR pada hari ini, Kamis (2/4/2020), akan dibacakan Surat Presiden tentang Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja sekaligus membuka jalan pembahasannya di masa persidangan DPR kali ini.
Akan dibacakannya surat presiden (surpres) untuk RUU bermetodekan omnibus law itu di rapat paripurna diputuskan dalam rapat konsultasi pengganti Badan Musyawarah (Bamus) DPR, di Jakarta, Rabu (1/4/2020).
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Achmad Baidowi membenarkan hal ini. ”Paripurna besok (Kamis) akan membacakan surat presiden tentang RUU Cipta Kerja,” katanya saat dihubungi dari Jakarta.
Surpres Joko Widodo tentang RUU Cipta Kerja sebenarnya sudah ada di meja pimpinan DPR sejak 12 Februari 2020. Namun, baru pada rapat Bamus DPR, Rabu, surat diputuskan akan dibacakan dalam Rapat Paripurna DPR yang digelar hari ini.
Sesuai dengan prosedur pembahasan RUU di DPR, setelah surpres dibacakan di paripurna, RUU sudah dapat dibahas di DPR bersama pemerintah. Namun, sebelum itu, perlu digelar lagi rapat Bamus DPR untuk memutuskan alat kelengkapan Dewan yang akan membahas RUU itu dengan pemerintah.
Sebelumnya, dalam Rapat Paripurna DPR dengan agenda pembukaan masa sidang ketiga DPR, Senin (30/3/2020), Ketua DPR Puan Maharani menegaskan, pembahasan omnibus law tetap mengikuti mekanisme pembahasan RUU yang berlaku.
Tatib baru
Untuk memuluskan pembahasan RUU Cipta Kerja, Rapat Paripurna DPR juga akan mengesahkan tata tertib (tatib) DPR yang baru.
Tatib baru itu memungkinkan fungsi legislasi DPR, selain pengawasan dan penganggaran, tetap berjalan di tengah kondisi darurat, seperti pandemi Covid-19. Salah satunya, rapat membahas RUU yang sebelumnya mengharuskan kehadiran fisik para pembentuk UU dapat diganti dengan rapat virtual yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya mengatakan, dengan tatib baru itu, rapat virtual memiliki landasan hukum.
”Rapat virtual dimungkinkan untuk diikuti perwakilan fraksi. Satu fraksi diwakili oleh satu orang. Adapun untuk kepastian kuorum, mereka yang hadir di dalam rapat bisa menyertakan tanda tangan kehadiran secara manual atau bisa secara virtual yang dikonfirmasi pihak Sekretariat Jenderal DPR,” tuturnya.
Tunda pembahasan
Padahal, sebelumnya, bermunculan desakan publik agar DPR tidak membahas omnibus law di tengah kondisi masyarakat yang sedang kesulitan menghadapi pandemi Covid-19, Kompas (1/4/2020).
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti pun mengatakan, sebaiknya DPR memprioritaskan hal-hal yang menyangkut hajat hidup masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Saat ini, semua pihak sedang berfokus pada upaya penanganan Covid-19. Jika DPR memutuskan membahas RUU Cipta Kerja, bisa muncul pandangan bahwa DPR mencuri-curi waktu dan langkah.
Jika pembahasan tetap dilaksanakan, dia melanjutkan, RUU dikhawatirkan tidak memenuhi prosedur penyusunan sebuah undang-undang karena kurang atau tidak adanya partisipasi masyarakat.
Partisipasi publik dalam pembahasan RUU disyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Alih-alih membahas RUU Cipta Kerja, DPR sebaiknya memfokuskan pikiran dan tenaga untuk mengawasi penanganan Covid-19, salah satunya menyangkut anggaran penanganan Covid-19. DPR perlu memastikan agar anggaran tidak dikorupsi.
Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Andi Najmi Fuaidi menambahkan, dalam kondisi darurat seperti sekarang, DPR perlu menimbang efektivitas pembahasan omnibus law itu secara virtual.
”Jika pembahasannya dilakukan online (daring), apakah itu cukup efektif? Tentu itu harus menjadi catatan DPR. DPR harus arif melihat situasi ini sebab prioritas kita sekarang ialah menghadapi penyakit Covid-19,” tutur Andi.
Namun, jika memang memutuskan tetap membahasnya, DPR harus memastikan ruang aspirasi publik tetap terbuka. ”Kalau memang diputuskan untuk dibahas oleh DPR, catatannya ialah DPR tidak boleh menafikan masukan dari masyarakat. Artinya harus tetap ada ruang untuk menyerap aspirasi dari masyarakat,” katanya.