Waktu Tinggal Sebulan, Realisasi Belanja Masih Rendah
Realisasi belanja daerah masih rendah, padahal dibutuhkan guna mengungkit pertumbuhan ekonomi. Mendagri dorong kepala daerah menggenjot belanja daerah. Namun, Ombudsman ingatkan percepatan belanja bisa tidak berkualitas.
JAKARTA, KOMPAS — Sisa waktu anggaran tinggal sebulan lagi, tetapi realiasi belanja yang dilakukan pemerintah daerah masih rendah. Meskipun berkejaran dengan waktu, penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau ABPD tetap harus tepat sasaran. Jangan sampai anggaran tersebut digunakan untuk kegiatan yang tidak produktif hanya demi mengejar daya serap.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri per 19 November 2021, rata-rata realisasi pendapatan APBD provinsi adalah 78,78 persen, kota 76 persen, dan kabupaten 74 persen. Apabila dibandingkan dengan realisasi belanja, tren melemah di belanja. Realisasi belanja provinsi 65,12 persen, kabupaten 61,15 persen, dan kota hanya 59,08 persen.
Dari 366 laporan APBD kabupaten yang dianalisis oleh Kemendagri, terdapat 20 kabupaten dengan persentasi realisasi belanja terkecil. Bahkan, masih ada kabupaten dengan realisasi belanja di bawah 40 persen, seperti Mahakam Ulu (Kalimantan Timur), Penajam Paser Utara (Kaltim), Mamberamo Raya (Papua), Yalimo (Papua), dan Tolikara (Papua).
Dalam rakor mingguan pertama analisis dan evaluasi pada Senin (22/11/2021), Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mendorong gubernur, bupati, dan wali kota agar menggenjot belanja daerah yang menjadi faktor pengungkit pertumbuhan ekonomi. Sebab, pandemi Covid-19 berdampak sangat signifikan terhadap aneka sektor perekonomian, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
”Ini sudah mau akhir tahun. Sisa waktu anggaran tinggal hanya satu bulan. Belanja pemerintah dapat menambah uang beredar di daerah yang kemudian mendorong produksi dan konsumsi,” kata Tito melalui keterangan tertulis.
Baca Juga: Tito Karnavian Minta Realisasi Anggaran Daerah Ditingkatkan
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo, dalam rapat terbatas kabinet pada 17 November 2021, memerintahkan Tito untuk mempercepat realisasi belanja APBD, khususnya di daerah dengan serapan belanja rendah.
Perintah khusus ini untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi akhir tahun 2021 sebesar 5 persen. Target ini mendapat tantangan berat mengingat di triwulan ketiga tahun 2021, Indonesia mengalami kontraksi sebesar 3,51 persen (year on year). Karena itu, percepatan realisasi APBD menjadi salah satu kunci untuk mengatasinya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo, dalam rapat terbatas kabinet pada 17 November 2021, memerintahkan Tito untuk mempercepat realisasi belanja APBD.
Staf Khusus Menteri Dalam Negeri Bidang Politik dan Media Kastorius Sinaga, Selasa (23/11), mengatakan, langkah percepatan yang disarankan oleh Mendagri kepada kepala daerah sebagai strategi dan langkah percepatan ABPD 2021, yakni dengan mengoptimalkan pencapaian target kinerja di setiap organisasi perangkat daerah (OPD).
Baca Juga: Problematika Belanja Daerah
Percepatan realiasi bantuan sosial dan jaring pengaman sosial serta program pemulihan ekonomi akibat dampak Covid-19 yang dananya tersedia di pos biaya tidak terduga. Selain itu, perlu percepatan pembayaran atau pencairan insentif tenaga kesehatan daerah.
Pemda juga perlu mempercepat penggunaan angggaran kesehatan termasuk penanganan Covid-19, sarana prasarana kesehatan, dan digitalisasi pelayanan kesehatan. Kegiatan perencanaan untuk proyek fisik juga perlu dipercepat.
Kastorius menuturkan, pemda perlu meninjau ulang program dan kegiatan yang berpotensi tidak terserap serta mengalihkannya ke program atau kegiatan penanggulangan Covid-19 dan program pemulihan ekonomi.
Rendahnya belanja APBD turut mendapat perhatian dari Ombudsman RI. Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, rendahnya belanja APBD menjadi gambaran buruk dan memprihatinkan karena pemerintah menjadi penggerak utama ekonomi serta bantalan sosial.
Baca Juga: Serapan Anggaran Belanja di Papua Belum Optimal
Ia khawatir percepatan belanja yang dilakukan pemda tidak berkualitas. Mereka akan menggunakan ABPD untuk kegiatan tidak produktif, seperti kegiatan di hotel, dan bukan untuk kegiatan yang produktif. Karena itu, Robert mendorong Kemendagri untuk memantau percepatan belanja yang dilakukan pemda selama sebulan terakhir.
”(Percepatan belanja) tidak hanya mengejar target agar tercapai, tetapi mengarah pada belanja untuk menggerakkan perekonomian, seperti usaha kecil dan belanja sosial. Perlindungan sosial ini menjadi bantalan sosial ekonomi bagi warga. Selain itu, belanja kesehatan harus jadi prioritas,” kata Robert.
Jika belanja kegiatan langsung tidak bisa menjamin percepatan serapan APBD, biarkan sisa lebih perhitungan anggaran (silpa) menjadi tinggi. Dana silpa tersebut dapat digunakan pada 2022 untuk kegiatan yang produktif, seperti pembangunan atau perbaikan infrastruktur.
Ia menambahkan, jika belanja kegiatan langsung tidak bisa menjamin percepatan serapan APBD, biarkan sisa lebih perhitungan anggaran (Silpa) menjadi tinggi. Dana Silpa tersebut dapat digunakan pada 2022 untuk kegiatan yang produktif, seperti pembangunan atau perbaikan infrastruktur. Jika hanya demi mengejar target belanja tanpa memperhatikan fungsinya, publik yang akan dirugikan.
Ketua Bidang Pemerintahan dan Pendayagunaan Aparatur Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia Nikson Nababan mengatakan, rendahnya serapan APBD terjadi karena pembayaran triwulan ketiga baru akan dilakukan pada Desember. Biasanya anggaran tersebut digunakan untuk gaji, honor, dan sebagian belanja modal.
Selain itu, persoalan tender juga menyebabkan realisasi belanja menjadi rendah. Proses tender tersebut memakan waktu dan ada yang gagal kontrak karena tidak dapat dipenuhi oleh para pendaftar. Akibatnya, terjadi penumpukan di bulan Desember saat tutup buku.
”Banyak yang menumpuk di Desember. Nanti bisa jorjoran sebelum tutup buku. Kantor bank pemerintah bisa sampai 24 jam,” ujar Nikson.
Ia menuturkan, adanya pandemi Covid-19 tidak berpengaruh secara signifikan terhadap belanja ABPD. Sebab, anggaran untuk penanganan Covid-19 sudah direalokasikan. Namun, masih ada yang ragu untuk menggunakan anggaran tersebut.
Menurut Nikson, sebaiknya sistem tender dihapuskan dan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) ditingkatkan dari Rp 200 juta menjadi Rp 2 miliar. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), inspektorat, serta masyarakat yang akan mengawasi.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Guspardi Gaus, menuturkan, rendahnya belanja daerah terjadi karena komitmen dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Seharusnya, setelah dilakukan pengesahan APBD, pemda langsung mengeksekusinya untuk apa saja yang berkaitan dengan tender.
”Ini, kan, tiap tahun. Ini sudah kegiatan rutin. Kalau sudah kegiatan rutin jadi tahu kendalanya. Harusnya kendala itu tidak dalam kasus yang sama seperti keterlambatan karena tender dan baru dilakukan di menit-menit akhir. Yang paling penting, komitmen dari bupati, wali kota, dan gubernur,” tutur Guspardi.
Guspardi menjelaskan, jika sudah menjadi silpa, dana tersebut masuk kas daerah. Silpa harus diserahkan pemda menjadi anggaran tahun berikutnya. Kalau pencarian dana tidak maksimal, yang dirugikan masyarakat.
Ia berharap Kemendagari sebagai pembina kepala daerah mendampingi, mengawasi, dan menggenjot belanja APBD. Pencairan ABPD harus dilakukan secara maksimal. Bagi daerah yang serapannya tinggi dapat diberikan penghargaan dan yang rendah diberikan hukuman. Hal itu penting agar pemda serius dalam pencairan anggaran.
Guspardi menjelaskan, jika sudah menjadi silpa, dana tersebut masuk kas daerah. Silpa harus diserahkan pemda menjadi anggaran tahun berikutnya. Kalau pencarian dana tidak maksimal, yang dirugikan masyarakat. Sebab, kegiatan dan program yang sudah direncanakan tidak bisa dilanjutkan.
Ia mengingatkan agar pemda melakukan perencanaan dengan matang, penganggaran harus jelas, dan anggaran yang sudah ditetapkan agar dicairkan secara maksimal. Jika sudah lewat Desember dan sisa anggaran masih lebih dari 50 persen, akan banyak yang dirugikan; salah satunya pembangunan infrastruktur atau perbaikan jalan yang tidak maksimal.
Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Misbakhul Hasan mengatakan, rendahnya pendapatan daerah dan serapan anggaran jelang akhir tahun menjadi kasus yang selalu berulang setiap tahun. Strategi pemberian apresiasi kepada daerah yang serapannya relatif tinggi oleh Mendagri di pertengahan semester lalu tidak ada efeknya.
Persoalan ini terjadi karena lemahnya kinerja OPD pendapatan daerah dan OPD teknis dalam mengeksekusi kegiatan atau proyek yang harusnya segera dijalankan serta menjadi kewenangannya. Alasan kekhawatiran tidak lagi relevan karena sistem pengadaan barang/jasa secara elektronik sudah terbangun dengan baik.
Ia menegaskan, seharusnya ada keberanian dari pemerintah pusat untuk menarik seluruh anggaran transfer yang mengendap di bank dan tidak digunakan hingga akhir tahun. Misbakhul juga mendorong adanya transparansi tingkat pendapatan dan serapan anggaran per minggu kepada publik sehingga publik juga bisa mengontrol.