Pasal ”karet” UU ITE tetap menjerat warga. SKB Pedoman Implementasi UU ITE tak dapat mencegah aduan dengan pasal ”karet” tersebut. Kali ini laporan ilmiah Greenpeace diadukan sebagai penyebar kebencian ke kepolisian.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasal multitafsir atau pasal ”karet” dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tetap bisa digunakan untuk mengadukan pihak lain dengan dugaan pidana ke aparat penegak hukum. Kali ini, dua aktivis lingkungan diadukan ke kepolisian dengan dugaan menyebarkan kebencian akibat memublikasikan laporan penelitian mereka.
Aduan itu diajukan Sekretaris Jenderal Komite Pemberantasan Mafia Hukum Husin Shahab ke Polda Metro Jaya. Ia mengadukan Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak dan Global Project Leader of Indonesia Forest Campaign Greenpeace Asia Tenggara Kiki Taufik telah menyebarkan berita bohong dan kebencian karena memublikasikan artikel berjudul ”Tanggapan Greenpeace Indonesia terhadap Isi Pidato Presiden Joko Widodo di Konferensi COP-26 Glasgow” di laman resmi Greenpeace Indonesia pada 2 November lalu.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, aduan itu diterima Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polda Metro Jaya, Selasa (9/11/2021). Husin melaporkan Leonard dan Kiki dengan dugaan menyebarkan berita bohong, seperti diatur dalam Pasal 14 dan 15 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Selain itu, ia juga melaporkan keduanya dengan dugaan menimbulkan kebencian, seperti diatur dalam Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan UU No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Aduan itu menambah panjang kasus dengan jeratan pasal multitafsir UU ITE yang meliputi Pasal 27, 28, 29, dan 36. Menurut catatan Safenet, selama Juni-November 2021, ada 25 kasus UU ITE yang diduga tidak sesuai Surat Keputusan Bersama Pedoman Implementasi UU ITE. Sebanyak 20 kasus masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan serta 5 kasus lainnya sudah masuk ke tahap persidangan.
Menanggapi aduan tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Minggu (14/11/2021), mengatakan, SKB tidak melarang seseorang untuk melapor dugaan tindak pidana. Orang melapor diperbolehkan sesuai dengan aturan. Persoalannya, apakah laporan itu bisa dilanjutkan ke proses pidana atau tidak, harus dilihat substansinya.
”Kasus bisa diteruskan, bisa ditutup, bisa juga dengan keadilan restoratif. Ini bergantung pada delik aduan atau delik biasa. Kalau delik aduan, bisa didamaikan,” kata Mahfud.
SKB tidak melarang seseorang untuk melapor dugaan tindak pidana. Orang melapor diperbolehkan sesuai dengan aturan. (Mahfud MD)
Saat dikonfirmasi, Minggu, Husin membenarkan telah mengadukan Leonard dan Kiki, dua aktivis lingkungan itu, ke Polda Metro Jaya. Ia mengaku merasa dirugikan atas informasi yang dipublikasi kedua orang itu di laman Greenpeace.org. Menurut dia, data deforestasi yang disampaikan dalam artikel itu tidak sesuai dengan fakta dan data selama pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Dalam pidatonya di Konferensi COP 26 tentang iklim di Glasgow, Senin (1/11/2021), Presiden Jokowi menyampaikan laju deforestasi turun terendah dalam 20 tahun terakhir. Sementara itu, data Greenpeace Indonesia menyebut, deforestasi di Indonesia justru meningkat dari sebelumnya 2,5 juta hektar pada 2003-2011 menjadi 4,8 juta hektar pada 2011-2019.
Menurut Husin, dugaan kabar bohong yang disebarkan Greenpeace adalah pada detail data yang dimuat dalam artikel tersebut. Menurut dia, jika data itu dibuat dalam bentuk grafis dari tahun ke tahun, deforestasi 2,45 juta hektar pada tahun 2003-2011 adalah kebijakan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jika dibandingkan dengan data deforestasi tahun 2011-2019, di mana pemerintahan Presiden Jokowi dimulai pada 2014, akan terlihat grafik penurunan laju deforestasi.
”Kalau dilihat dari bentuk grafik, akan terlihat menurun. Mengapa Greenpeace bilang meningkat?” ucap Husin.
Dihubungi secara terpisah, Kiki selaku terlapor mengaku, ia dan Leonard belum mendapatkan surat klarifikasi dari kepolisian. Kabar dirinya dan Leonard diadukan ke kepolisian baru diperoleh dari media massa.
Kiki menyayangkan aduan tersebut. Sebab, informasi di laman Greenpeace Indonesia yang dituduh kabar bohong itu disusun berdasarkan data dan penelitian ilmiah dengan metodologi terukur.
Informasi yang dipublikasi Greenpeace itu, lanjutnya, adalah kritik terhadap komitmen pemerintah dalam COP 26 yang dinilai belum ambisius dan terukur untuk mencegah kerusakan lingkungan serta mengatasi dampak krisis iklim.
Menurut Kiki, pemidanaan publikasi riset ilmiah itu mengancam iklim demokrasi di Indonesia. Padahal, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) justru merespons artikel Greenpeace dengan meminta lembaga nirlaba itu membuka data yang dimiliki. Data akan diadu dengan milik KLHK. ”Sikap antikritik, mengancam pidana orang yang mengkritik dengan penelitian ilmiah, adalah langkah mundur demokrasi,” ucap Kiki.
Saat dikonfirmasi, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Brigadir Jenderal (Pol) Yusri Yunus tak memberikan komentar. Yusri mengaku, pihaknya masih akan memeriksa laporan yang diajukan Husin.
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Safenet Nenden Sekar Arum berpendapat, artikel berisi hasil penelitian yang dibagikan Greenpeace semestinya tidak bisa dikategorikan sebagai informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian seperti diatur dalam Pasal 28 Ayat 2 UU ITE.
Artikel berisi hasil penelitian yang dibagikan Greenpeace semestinya tidak bisa dikategorikan sebagai informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian seperti diatur dalam Pasal 28 Ayat 2 UU ITE.
Apalagi, lanjutnya, SKB Pedoman Implementasi UU ITE mengatur bahwa konten yang diduga menyebarkan kebencian itu harus secara eksplisit menunjukkan kebencian atau mengadu domba antargolongan. ”Dalam SKB juga disebutkan, aparat penegak hukum harus membuktikan motif membangkitkan rasa kebencian dan atau permusuhan itu secara eksplisit,” ujarnya.