Pakar lingkungan mengkritisi, pada akhirnya semua perjanjian yang dikeluarkan di COP 26 akan serupa seperti yang sebelum-sebelumnya: susah untuk ditaati. Setiap perjanjian ini memiliki tarik ulur dari sejumlah negara.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Petugas meninjau mesin pemindah batubara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap Sulut 2 atau yang lebih dikenal dengan PLTU Amurang di Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, Rabu (27/10/2021).
Sejauh ini, Konferensi Tingkat Tinggi Ke-26 tentang Perubahan Iklim atau COP 26 telah menghasilkan beberapa perjanjian. Patut dilihat secara lebih mendalam apakah perjanjian-perjanjian tersebut akan diterapkan dengan sungguh-sungguh oleh negara, perusahaan, dan lembaga yang menandatanganinya. Apabila tidak, upaya membatasi kenaikan suhu Bumi sebesar 1,5 derajat celsius terancam gagal.
Perjanjian yang dihasilkan di COP 26 adalah komitmen untuk menurunkan pemakaian batubara, menurunkan emisi gas metana, menghentikan deforestasi, dan mempercepat pemakaian teknologi ramah lingkungan. Permasalahannya, setiap perjanjian ini memiliki tarik ulur dari sejumlah negara.
Sebanyak 100 negara menandatangani perjanjian penghentian pemakai batubara, termasuk Indonesia, Chile, Vietnam, dan Korea Selatan. Tenggatnya tahun 2030 bagi negara-negara maju dan tahun 2040 bagi negara-negara berkembang. Akan tetapi, negara-negara pemakai batubara terbesar di dunia malah tidak mau menandatanganinya.
Berdasarkan statistik yang dikeluarkan oleh perusahaan energi Inggris, BP, pada tahun 2020, konsumsi batubara China sebesar 54 persen dari total pemakaian global. Angka ini disusul India sebesar 11,6 persen dan Amerika Serikat sebesar 6,1 persen. Ketiga negara ini tidak meratifikasi perjanjian penghentian konsumsi batubara.
AS dan Uni Eropa kemudian membuat perjanjian baru yang berkomitmen menurunkan emisi gas metana sebesar 30 persen pada 2030. Kali ini, giliran Australia, China, Rusia, dan India yang tidak mau menandatangani. AS kemudian bersama dengan Forum Ekonomi Dunia membuat Koalisi Penggerak Pertama (First Movers Coalition). Ini adalah jejaring negara maju, perusahaan, dan lembaga untuk mempercepat pengembangan teknologi ramah lingkungan.
AP PHOTO/ALBERTO PEZZALI
Pengunjuk rasa mengangkat poster saat berdemonstrasi di depan Standard and Chartered Bank di London, Inggris, 29 Oktober 2021, menjelang pelaksanaan KTT Perubahan Iklim di Glasgow, Skotlandia.
”Sektor pertama yang akan diintervensi adalah penerbangan, perkapalan, baja, dan logistik darat. Setelah itu disusul sektor aluminium, semen, dan kimia. Industri-industri ini adalah sepertiga penghasil karbon global,” kata Utusan Khusus AS untuk Isu Iklim John Kerry di Glasgow, Skotlandia, Kamis (4/11/2021).
Perusahaan-perusahaan yang meratifikasi koalisi ini berkomitmen untuk melakukan proses produksi dan distribusi berkelanjutan. Standar dan transparansinya sedang digodok oleh Forum Ekonomi Dunia guna memastikan tidak ada celah yang membuat perusahaan menutupi dengan ”kedok hijau”, yaitu tampil seolah menerapkan metode ramah lingkungan padahal hanya di atas permukaan.
Muncul masalah
Di dalam perjanjian yang telah diratifikasi pun mulai muncul berbagai permasalahan. Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia Mahendra Siregar mengutarakan keluhan bahwa dalam perjanjian penghentian deforestasi tidak ada klausul yang mewajibkan negara penanda tangan sudah 100 persen bebas deforestasi per 2030. ”Tidak adil bagi Indonesia jika tahun 2030 harus bebas deforestasi, sementara situasi di lapangan kompleks,” katanya.
Perubahan drastis dilakukan oleh Polandia. Mereka berjanji akan bebas dari pemakaian energi batubara tahun 2040. Tiba-tiba, Warsawa mengumumkan mengubah pemikiran. Melalui Menteri Iklim dan Energi Anna Moskwa, Polandia mengumumkan akan bebas batubara pada tahun 2049.
”Setelah dihitung-hitung, Polandia masih harus menjamin ketersediaan energi nasional dan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Jadi, kami memundurkan tenggat bersih dari batubara,” tutur Moskwa.
KOMPAS/YOLA SASTRA
Pepohonan di salah satu titik tambang emas di pinggir Sungai Batanghari dalam Hutan Lindung Batanghari ditebangi untuk dijadikan perkebunan, Sabtu (23/11/2019). Kembali masifnya tambang emas ilegal di Sungai Batanghari berpotensi meningkatkan laju deforestasi akibat pembukaan lahan.
Para pakar lingkungan mengkritisi, pada akhirnya semua perjanjian yang dikeluarkan di COP 26 akan serupa seperti yang sebelum-sebelumnya: susah untuk ditaati. Pada Kesepakatan Paris 2015, negara-negara kaya berjanji pada tahun 2020 akan menghibahkan 100 miliar dollar AS untuk mitigasi krisis iklim. Kemudian, muncul pengumuman dari tujuh negara terkaya dunia atau G-7 yang mengatakan hibah itu tidak akan bisa keluar hingga tahun 2023.
Pada COP 26, terkumpul dana hibah 18 miliar dollar AS untuk investasi teknologi ramah lingkungan guna mempercepat transisi dari batubara ke energi bersih. Ini pun akhirnya diragukan bisa segera dikucurkan, apalagi dipraktikkan.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres meminta agar setiap negara menaikkan target penurunan emisi per tahun. Sebelumnya, target ditingkatkan per lima tahun. Melihat perkembangan situasi, pakar-pakar lingkungan tidak yakin negara maju sekalipun bisa memutakhirkan target setiap tahun.
”Kalau begini, lebih baik dibuat target interim dengan jangka waktu ditentukan sendiri oleh negara itu, tetapi di bawah lima tahun. Misalnya membuat setiap dua atau tiga tahun. Ini pada akhirnya akan menurunkan suhu Bumi, hanya tidak sampai target 1,5 derajat celsius,” kata peneliti senior lembaga kajian lingkungan EG3, Alden Meyer. (AP/AFP/REUTERS)