Stella Monica Menghadapi Pasal Karet UU ITE yang Terus Menjerat...
Pasal pencemaran nama baik pada UU ITE terus menjerat warga dengan pidana. Kali ini, korbannya Stella Monica. Padahal, pasal itu telah dikategorikan sebagai pasal multitafsir yang perlu direvisi.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
Kira-kira tiga minggu lagi Stella Monica, warga Surabaya, Jawa Timur, ini akan menghadapi vonis hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Ia didakwa dengan Pasal 27 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dengan dugaan mencemarkan nama baik sebuah klinik. Ia diadili lantaran mengunggah keluhannya soal pelayanan klinik tersebut di media sosial.
Kondisi ini membuat Eny, ibu Stella, tertekan karena perkara itu telah mengganggu kesehatan mental Stella. ”Saya menangis ketika melihat anak saya difoto layaknya penjahat di kantor polisi. Pendeta saya selalu menguatkan saya dan mengatakan bahwa Stella bukan penjahat, dia hanya korban kriminalisasi,” tulis Eni di laman change.org.
Berdasarkan catatan Paguyuban Korban UU ITE, kasus Stella merupakan satu dari 23 kasus yang dijerat dengan pasal-pasal multitafsir atau pasal karet UU ITE. Padahal, pada 8 Juni lalu, pemerintah resmi memutuskan merevisi sejumlah pasal UU ITE yang multitafsir tersebut, yakni Pasal 28, 29, 36, termasuk Pasal 27 yang digunakan untuk mendakwa Stella.
Guna melindungi masyarakat, sambil menunggu revisi UU ITE bergulir di DPR, pemerintah pun menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Implementasi Penanganan UU ITE yang ditandatangani Kapolri, Jaksa Agung, dan Menteri Komunikasi dan Informatika, pada 23 Juni lalu. SKB itu, antara lain, mengatur bahwa pasal pencemaran nama baik hanya dapat diterapkan selama korban sebagai pelapor adalah perseorangan, bukan institusi atau korporasi.
Terbitnya SKB itu tak memengaruhi proses hukum yang dihadapi Stella. Ia tetap harus menghadapi gugatan pencemaran nama baik yang diajukan klinik kecantikan L’VIORS, Surabaya.
Semua ini berangkat dari unggahannya di Instagram Stories pada 27 Desember 2019 yang berisi pengalamannya mengalami kulit wajah yang meradang setelah menjalani perawatan di L’VIORS.
Saat menggunggahnya, tak ada niat jahat terlintas di benak Stella untuk mencemarkan nama baik klinik tersebut, selain membagikan pengalamannya. Unggahan itu pun ditanggapi kawan-kawan Stella.
Berdasarkan catatan Koalisi Pembela Konsumen (Kompak), sekitar sebulan pasca unggahan di IG Stories itu, Stella menerima surat somasi dari pengacara klinik L’Viors. Stella dituduh mencemarkan nama baik klinik. Stella diminta memenuhi permintaan somasi pihak klinik dengan menerbitkan permintaan maaf di surat kabar minimal setengah halaman untuk tiga kali penerbitan berbeda hari.
Stella dan keluarganya mencoba bernegosiasi dengan pihak klinik, karena keberatan dengan permintaan publikasi di koran yang bisa menghabiskan dana ratusan juta. Sebagai gantinya, Stella mengunggah video permintaan maaf di akun Instagram pribadinya.
Lama berselang, pada 7 Oktober 2020, tiga polisi dari tim Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jawa Timur mendatangi rumah Stella dan menetapkannya sebagai tersangka.
Lama berselang, pada 7 Oktober 2020, tiga polisi dari tim Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jawa Timur mendatangi rumah Stella dan menetapkannya sebagai tersangka.
Tuntutan
Kasus pun bergulir hingga ke meja hijau. Stella menjalani persidangan dengan dakwaan pencemaran nama baik pada 14 April 2021. Kini ia hadapi tuntutan hukuman 1 tahun penjara, denda Rp 10 juta subsider dua bulan penjara.
Medical Director L’viors, dr Irene Christilia Lee saat dikonfirmasi, Kamis (4/11/2021), mengatakan, berdasarkan data di klinik, Stella tercatat sebagai pelanggan pada 24 Januari-19 September 2019. Saat Stella mengunggah keluhannya di Instagram pada 27 Desember 2019, lanjut Irene, Stella sudah bukan pelanggan L’viors.
”Temuan kami, Stella melakukan perawatan di tempat lain pada 29 Desember 2019. Bagaimana bisa dibilang sebagai konsumen L’viors ketika sudah perawatan dan memakai produk lain?” terang Irene melalui keterangan tertulis.
Irene menjelaskan, pihak L’viors melalui pengacaranya juga sudah berkali-kali mengusahakan mediasi sebelum kasus masuk ke ranah hukum. Mediasi terakhir di Polda Jawa Timur, L’viors meminta Stella memublikasi permintaan maaf di surat kabar karena permasalahan itu sudah menyebar ke masyarakat luas. Jika Stella tidak mampu membayar biaya permintaan maaf di koran, pengacara L’viors telah menawarkan untuk mendanainya. Namun, penawaran itu ditolak oleh pihak Stella.
Sebaliknya, menurut Stella, ia yang diancam pihak L’viors jika tidak menyanggupi publikasi permintaan maaf di surat kabar, kasus dilanjutkan ke persidangan. ”Saya sudah tiga kali jalur mediasi pribadi dengan cara meminta maaf langsung. Namun, dokter Irene tetap meminta saya dihukum,” katanya, saat dihubungi Jumat (5/11).
Koordinator Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE) Muhammad Arsyad yang ikut mendampingi Stella, mengatakan, kasus Stella sejak awal seharusnya tidak layak dilanjutkan ke tahap penuntutan oleh kejaksaan. Pertama, Stella sebagai konsumen dilindungi UU Perlindungan Konsumen. Kedua, sesuai SKB Pedoman Implementasi Penanganan UU ITE, pasal pencemaran nama baik hanya dapat diterapkan kepada korban perseorangan, bukan badan usaha. Unggahan Stella hanya memuat ungkapan berbagi pengalaman, tidak ditemukan niat jahat atau mens rea.
Arsyad menyampaikan, Stella pun pernah menjadi narasumber saat penyusunan SKB dan kajian revisi UU ITE. ”Atas dasar itu, kami menghubungi Menko Polhukam Mahfud MD, serta Ketua Tim Kajian UU ITE Kemenko Polhukam Sugeng Purnomo, menanyakan mengapa kasus Stella tetap dilanjutkan ke penuntutan meski bertentangan dengan SKB UU ITE,” katanya.
Koordinator Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLKI) Rio Priambodo mengatakan, penerapan pasal pencemaran nama baik dalam kasus Stella bertentangan dengan pasal 4 huruf d UU Perlidungan Konsumen. Di pasal itu diatur bahwa konsumen berhak mengungkapkan pendapatnya atas barang atau jasa yang digunakan. Di sisi lain, pelaku usaha, seharusnya melayani konsumen secara benar dan menyelesaikan sengketa konsumen secara patut.
Kasus Stella seperti mengulang lagi kisah para konsumen lain yang dikriminalisasi karena menyampaikan keluhannya melalui platform digital. Sebut saja komika Muhadkly MT atau Acho yang dilaporkan ke kepolisian dengan pasal pencemaran nama baik di UU ITE oleh pengelola apartemen pada 2015. Kendati, kasus ini berujung damai.
Ada pula Prita Mulyasari yang harus melalui proses hukum selama 2009-2012 karena mengeluhkan pelayanan yang diberikan pihak RS Omni Internasional. Hingga akhirnya Mahkamah Agung (MA) membebaskan Prita dari segala tuduhan melalui putusan peninjauan kembali (PK).
Berbagai upaya pun dilakukan Stella untuk melepaskan diri dari jeratan pasal pencemaran nama baik itu. Melalui petisi daring di Change.org, Stella mengumpulkan tanda tangan untuk menghentikan pemidanaannya.
Berbagai upaya pun dilakukan Stella untuk melepaskan diri dari jeratan pasal pencemaran nama baik itu. Melalui petisi daring di Change.org, Stella mengumpulkan tanda tangan untuk menghentikan pemidanaannya. Hingga Jumat kemarin, petisi sudah ditandatangani 12.674 warganet dan terus bertambah setiap detik.
Publik pun berharap revisi UU ITE dapat segera dilaksanakan. Apalagi saat ini, revisi UU ITE sudah masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. Kini, publik menanti keseriusan pemerintah dan DPR untuk menyelesaikannya.