Pemberian amnesti terhadap Saiful Mahdi dinilai bukan hanya urusan perseorangan. Namun, merupakan upaya kemenangan kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Harus menjadi masukan dalam perbaikan UU ITE.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekalipun Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui Surat Presiden tentang pemberian amnesti terhadap Saiful Mahdi, hal ini dinilai belum mengakhiri polemik terkait penerapan pasal-pasal multitafsir di dalam Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Panduan teknis dalam implementasi UU ITE yang telah dibuat pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama UU ITE dianggap tidak memberikan dampak signifikan terhadap penanganan kasus-kasus dugaan pelanggaran UU ITE.
Dalam rapat paripurna, Kamis (7/10/2021) lalu, DPR menyetujui Surpres tentang pemberian amnesti terhadap Saiful Mahdi. Saiful adalah dosen statistika di Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Ia dijerat dengan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dengan dalil pencemaran nama baik. Dia dilaporkan dekan Fakultas Teknik Unsyiah Kuala. Saiful dinyatakan bersalah di pengadilan tingkat pertama, pengadilan banding, dan kasasinya juga ditolak di Mahkamah Agung (MA). Ia divonis tiga bulan penjara dan denda Rp 10 juta subsider 1 bulan penjara.
Anggota Dewan Penasehat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Herlambang P Wiratraman, Selasa (12/10/2021), mengatakan, pemberian amnesti terhadap Saiful Mahdi seharusnya bukan hanya urusan perseorangan. Namun, merupakan upaya kemenangan kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Pasalnya, banyak kasus lain di luar kasus Saiful Mahdi yang terkait dengan kebebasan akademik dan berekspresi di Indonesia masih dikenai UU ITE.
Menurut dia, tantangan saat ini adalah bagaimana dampak buruk UU ITE bisa dihilangkan, dicegah, dan tidak bertentangan dengan demokrasi dan kebebasan ekspresi yang dijamin dalam UUD 1945. ”Opsinya menyegerakan revisi terhadap draconian rules dalam UU ITE, tak cukup sekadar membuat panduan tafsir atas pasal karena dalam praktik membuktikan terlalu banyak misuse (penyalahgunaan) yang justru memberi jalan kewenang-wenangan,” katanya.
Belajar dari kasus Saiful Mahdi, kata dia, masih ada kasus-kasus hukum serupa yang saat ini berjalan. Seharusnya kasus-kasus itu juga bisa direspons secara lebih cepat sehingga tidak mengorbankan hak dan kebebasan warga negara dalam mengekspresikan pendapatnya.
Contoh kasus yang serupa dengan Saiful Mahdi ialah peristiwa yang menimpa Ramsiah Tasruddin, seorang dosen yang saat ini masih bergulir di Gowa, Sulawesi Selatan. Selain itu, ada pula kasus Asrul, jurnalis di Palopo, yang juga dijerat dengan UU ITE. Semua kasus itu, menurut Herlambang, mesti didekati dengan perspektif keadilan.
Tidak hanya dari sisi penegak hukum, kalangan peradilan, seperti jajaran Mahkamah Agung (MA), juga mestinya belajar bagaimana memahami jalan keadilan bagi kepentingan publik. Selain itu, agar ada kesungguhan supaya tidak mengulangi kekeliruan mendasar atas praktik buruk yang mencederai hak dan kebebasan sipil bagi warga negaranya, terutama kebebasan ekspresi dan kebebasan akademik.
”Bagi Unsyiah, nama baik Dr Saiful Mahdi harus segera dipulihkan. Pimpinan kampus harus menyampaikan permintaan maaf kepada beliau, sekaligus belajar lebih bijak atas proses hukum dan proses politik yang sungguh pembelajaran cerdas republik ini untuk tidak terulang. Apa yang disuarakan Saiful Mahdi harus diberikan dukungan dan dibuka, apa yang sesungguhnya terjadi di balik kasus hukum ini,” kata Herlambang.
Koordinator Paguyuban Korban UU ITE Muhammad Arsyad mengatakan, kasus-kasus seperti yang dialami Saiful Mahdi masih banyak dan akan terus bertambah jika pemerintah tidak menyelesaikan akar permasalahannya.
”Meskipun Pedoman Implementasi UU ITE sudah dikeluarkan oleh tiga lembaga negara, nyatanya korban kriminalisasi UU ITE juga terus bertambah. Makanya revisi total UU ITE semakin dibutuhkan. Koalisi Masyarakat Sipil juga telah mengeluarkan kertas kebijakan dengan rekomendasi untuk menghapus dan merevisi pasal-pasal tersebut,” ujarnya.
Dalam evaluasi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021, pemerintah mengusulkan agar RUU ITE masuk sebagai legislasi yang cepat diselesaikan, tahun ini. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengatakan, dalam implementasinya, mengalami persoalan-persoalan, khususnya pasal-pasal terkait ketentuan pidana yang berpotensi multitafsir.
”Berdasarkan pertimbangan tersebut perlu dilakukan perubahan kedua atas UU No 11/2008 tentang ITE, dengan memperjelas kembali perbuatan-perbuatan yang dilarang menggunakan sarana elektronik, dengan menyesuaikan kembali ketentuan pidana yang diatur dalam KUHP,” ujarnya.
Yasonna mengatakan, dalam revisi UU ITE, pemerintah juga menginginkan agar ada penambahan ketentuan pidana bagi setiap orang yang menyebarluaskan informasi atau pemberitaan bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat dan yang dilakukan melalui sarana elektronik.
Terkait penambahan ketentuan pidana baru mengenai berita bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat, menurut Arsyad, ini berpotensi membuka persoalan baru. Sebab, batasan tentang keonaran di masyarakat itu juga multitafsir.
”Apakah viralnya sebuah berita atau konten itu dapat dikatakan sebagai keonaran. Bagaimana misalnya jika artis mengunggah suatu konten yang ternyata itu kebohongan (prank), dan itu menjadi heboh di masyarakat. Apakah dia bisa dilaporkan sebagai orang yang menyebarkan kabar bohong, sebab unggahan dia itu kebohongan dan ada unsur onarnya, dan mungkin menimbulkan perselisihan di masyarakat,” ucap Arsyad.
Usulan baru yang disampaikan Yasonna, dalam revisi UU ITE itu pun dipandang kurang tepat, karena kembali bisa menimbulkan persoalan baru, dan pemaknaan yang multitafsir. ”Saya heran, kenapa kok pemerintah bersemangat memenjarakan warganya. Daripada membuat pasal-pasal yang bisa multitafsir lagi, sebaiknya kita bersama-sama memperbaiki semangat demokratisasi dan digitalisasi yang baik,” katanya.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga mengatakan, seluruh pasal yang bersifat duplikasi, multitafsir, dan berpotensi overkriminalisasi dalam UU ITE, seperti Pasal 27, 28, 29, dan Pasal 36 UU ITE, sudah seharusnya dicabut. Keberadaan pasal-pasal tersebut justru menimbulkan banyaknya masalah dalam sistem peradilan pidana dan isu HAM di Indonesia.
Selain itu, proses fair trial dalam ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam revisi UU ITE harus kembali diberlakukan. Selain itu, perlu didukung pembaruan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam RKUHAP bahwa segala bentuk upaya paksa harus dengan izin pengadilan.
Senada dengan Arsyad, ICJR juga menyoroti pasal baru yang perumusannya masih menimbulkan ruang multitafsir, salah satunya penambahan Pasal 45C mengenai berita bohong. ICJR menyebut perlu formulasi yang kuat dari pasal ini apabila ingin diatur dalam UU ITE.
”Pemerintah dan DPR harus menjalankan proses penyusunan yang terbuka dan partisipatif, dengan sungguh-sungguh melibatkan publik selaku masyarakat terdampak regulasi,” katanya.