Revisi UU Kejaksaan Bakal Perkuat Pendekatan Keadilan Restoratif
Aspek penguatan yang dinilai diperlukan kejaksaan berkaitan dengan keadilan restoratif. Aspek tersebut akan jadi salah satu pembahasan saat revisi UU Kejaksaan selain belasan poin lain yang ingin dimasukkan dalam UU.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah sepakat membentuk panitia kerja untuk membahas lebih lanjut revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Ada 16 poin yang akan dimasukkan ke dalam revisi. Salah satunya ialah mengenai penguatan peran kejaksaan untuk melakukan mediasi dalam implementasi keadilan restoratif.
Rapat kerja yang dilakukan antara Komisi III DPR dan pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Kejaksaan Agung, Senin (15/11/2021) di Jakarta, menyepakati pembahasan RUU itu dilakukan panitia kerja (panja) mulai pekan depan, 22 November. Sesuai jadwal pembahasan yang juga disepakati di dalam rapat, RUU itu akan tuntas dibahas pada 14 Desember 2021.
Ketua Komisi III DPR Herman Herry mengatakan, pimpinan DPR telah menugaskan komisinya untuk segera menuntaskan pembahasan RUU Kejaksaan itu. Pimpinan secara eksplisit meminta agar RUU itu dapat dibahas dalam masa persidangan kedua tahun 2021/2022 yang akan berakhir Desember mendatang.
”Komisi III menyepakati ketua panja ialah Bapak Adies, Doktor Adies Kadir,” kata anggota DPR dari Fraksi PDI-P ini.
RUU itu disepakati sebagai usulan atau inisiatif DPR. Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh dalam penjelasan sikap DPR mengatakan, semangat perubahan diperlukan terhadap UU Kejaksaan. Hal itu dimaksudkan untuk memantapkan dan menegaskan peran kejaksaan dalam menjalankan fungsinya yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan bebas dari tekanan pihak mana pun.
”Revisi ini juga memberikan dorongan terhadap profesionalisme kejaksaan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum diharapkan lebih berperan menegakkan supremasi hukum, penyelenggaraan ketetertiban umum, penegakan hak asasi manusia, dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme,” ujarnya.
Khairul mengatakan, ada 16 poin yang ingin diatur dalam revisi UU Kejaksaan. Poin itu antara lain penyesuaian standar perlindungan terhadap jaksa dan keluarganya di Indonesia sesuai standar perlindungan profesi jaksa yang diatur dalam United Nation Guidelines on the Rule of Prosecutor dan International Association of Prosecutor (IAP) dan pengaturan mengenai intelijen penegakan hukum atau intelijen yustisial berdasarkan UU yang mengatur mengenai intelijen negara.
Selain itu, kewenangan pengawasan barang cetakan dan multimedia yang diatur dan menyesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 6-13-20/PUU/VIII/2010 dan pengaturan fungsi jaksa agung sebagai pengacara negara.
Poin lainnya, mengenai pengaturan kewenangan kejaksaan melakukan penyadapan yang dilaksanakan dalam rangka penegakan hukum, sebagaimana diatur dalam UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan penyelenggaraan pusat pemantauan di bidang tindak pidana.
Selanjutnya, pengaturan kewenangan kejaksaan untuk mengoordinasikan, mengendalikan, dan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana yang dilakukan bersama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum serta peradilan militer. Kejaksaan juga diatur untuk menggunakan kewenangannya menerapkan denda damai dalam tindak pidana ekonomi.
Atas penjelasan DPR itu, pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej menyatakan, pihaknya ingin sesegera mungkin memulai pembahasan RUU Kejaksaan itu dengan DPR. Revisi UU Kejaksaan itu dipandang penting dalam peran penegakan hukum untuk mewujudkan negara hukum seperti diamanatkan oleh UUD 1945.
”Oleh karena itu, kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang memiliki tugas dan fungsi di bidang penuntutan memegang peran yang cukup penting dalam menjamin pemenuhan hak-hak dan kepastian hukum yang adil bagi warga negara,” kata Eddy.
Keadilan restoratif
Sehubungan dengan hal tersebut, lanjut Eddy, salah satu aspek penguatan yang diperlukan oleh kejaksaan ialah berkaitan dengan keadilan restoratif. Saat ini, telah terjadi pergeseran makna keadilan dari keadilan retributif yang menekankan pada pembalasan kepada pelaku, menjadi keadilan restoratif yang menekankan pada pmeuliham kembali ke keadaan semula.
Kejaksaan diberikan peran untuk mengedepankan dan berpedoman pada keadilan restoratif dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa alternatif, seperti mediasi penal, menjadi salah satu wewenang yang harus dimiliki kejaksaan.
”Metode ini merupakan perwujudan dari pelaksanaan diskresi penuntutan dengan mempertimbangkan kearifan lokal dan nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat,” katanya.