Sejumlah isu dalam RUU Kejaksaan dinilai perlu diperbaiki sebelum diusulkan menjadi RUU inisiatif DPR. Salah satunya penyadapan terkait ketertiban umum.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui Rancangan Undang-Undang Kejaksaan untuk dilanjutkan pembahasannya di Komisi III DPR sebelum diusulkan menjadi RUU inisiatif DPR. Sejumlah hal perlu dikaji lebih mendalam, bahkan diubah, sebelum draf RUU itu dibahas bersama pemerintah.
Salah satu hal yang dinilai perlu diubah adalah pengaturan kewenangan penyadapan kejaksaan dalam RUU Kejaksaan, termasuk dalam kaitan ketertiban umum. Hal ini dinilai rawan disalahgunakan.
Badan Legislasi (Baleg) DPR menggelar dua kali rapat, Kamis (17/9/2020) di Jakarta, guna menuntaskan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi atas RUU Kejaksaan. Dalam rapat pertama, Panitia Kerja (Panja) Baleg DPR tentang Harmonisasi RUU Kejaksaan mendengarkan keterangan tenaga ahli Baleg DPR dalam mengkaji RUU Kejaksaan, selain mendengarkan masukan dari anggota Baleg. Rapat kedua, Baleg menggelar rapat pengambilan keputusan dan pemaparan pandangan mini fraksi atas harmonisasi RUU Kejaksaan itu, apakah dapat diteruskan ke tahapan selanjutnya atau tidak.
Dari sembilan fraksi di DPR, delapan fraksi memutuskan menyetujui RUU Kejaksaan diteruskan ke tahapan selanjutnya, yakni dikembalikan kepada pengusul untuk kemudian diusulkan menjadi RUU inisiatif DPR. Fraksi Partai Golkar menyatakan belum dapat menerima RUU Kejaksaan untuk diteruskan pada tahap selanjutnya karena menilai masih perlu ada kajian mendalam tentang sejumlah isu krusial, terutama soal batasan usia jaksa agung dan kriteria jaksa agung.
Dalam laporannya di rapat panja, Ketua Panja Harmonisasi RUU Kejaksaan Supratman Andi Agtas memaparkan 10 poin usulan Baleg DPR. Masukan itu antara lain perumusan ulang definisi kejaksaan, jaksa, penuntutan, dan penuntut umum; penambahan rumusan kepegawaian di kejaksaan; perbaikan rumusan izin jaksa agung saat terjadi pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan jaksa.
Poin lainnya adalah perbaikan rumusan soal pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa; penekanan kembali larangan rangkap jabatan bagi jaksa ataupun jaksa agung; penyesuaian rumusan penyadapan dari ranah ketertiban umum ke ranah pidana; penambahan rumusan soal pemantauan dan peninjauan UU; serta penambahan rumusan peralihan terkait kepegawaian. Baleg juga memberi catatan tentang tidak adanya pasal yang mengatur khusus komisi pengawasan kejaksaan. Dalam UU No 16/2004 tentang Kejaksaan, komisi itu diatur.
Penyadapan kejaksaan
Aturan mengenai penyadapan terdapat dalam Pasal 30 Ayat (5) Huruf g RUU Kejaksaan. Pasal itu berbunyi, ”Di bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan melakukan penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan guna mendukung kegiatan dan kebijakan penegakan hukum yang meliputi: (g) penyadapan dan menyelenggarakan pusat monitoring”.
Adapun saat ini kejaksaan sudah memiliki kewenangan menyadap. Namun, kewenangan itu harus disertai izin dari pengadilan dan hanya bisa dilakukan di tahap penyidikan.
Anggota Baleg dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, sebaiknya kewenangan penyadapan tak dimasukkan ke pengaturan ketertiban umum sebab hal itu rentan disalahgunakan. Ada pula beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan penyadapan sebetulnya merupakan tindakan yang melanggar hak privasi warga negara dan melanggar hukum. Namun, dalam konteks penegakan hukum, penyadapan dapat dilakukan.
”MK dalam putusannya tahun 2010 memerintahkan ada UU khusus mengenai penyadapan sehingga jelas mekanismenya. Kewenangan penyadapan ini sebenarnya masih bisa ditunda, dan tidak dimasukkan ke RUU Kejaksaan, sampai kita memiliki UU penyadapan secara khusus,” katanya.
Kalau kewenangan penyadapan tetap akan diatur dalam RUU Kejaksaan, Basari meminta ketentuan itu diatur ketat sehingga tak berpotensi disalahgunakan. Kewenangan penyadapan itu juga dilakukan bukan dalam upaya ketertiban umum, melainkan penegakan hukum.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, mengatakan, perluasan kewenangan kejaksaan harus dikaji mendalam. Penyadapan, misalnya, harus diberikan hanya dengan perintah pengadilan.
Terkait penyadapan, Supratman Andi Agtas menjelaskan, kewenangan kejaksaan dapat ditambahkan. Alasannya, selain tindak pidana umum, kejaksaan juga ditugaskan menjadi penyidik pidana korupsi, pencucian uang, kerusakan lingkungan, dan pelanggaran HAM berat. Dalam kasus-kasus itu, jaksa tidak hanya menjadi penyidik, tetapi juga dapat menjadi penuntut dan eksekutor putusan pengadilan, termasuk jika ada aset atau kekayaan negara yang harus dikembalikan dari kejahatan tersebut.
”Kalau orangnya buron, bagaimana caranya mengembalikan kerugian keuangan negara. Karena itu, saya usulkan kewenangan penyadapan itu diberikan kepada kejaksaan. Ini nanti bergulir karena ada sikap pemerintah dan teman-teman Komisi III,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, dengan draf RUU Kejaksaan yang ada sekarang, ada tiga hal yang harus ditekankan. Pertama, semangat menjadikan kejaksaan sebagai lembaga independen atau mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahan.
Kedua, fungsi dan peran kejaksaan jangan sampai diarahkan menjadi alat pemerintah, yakni semata-mata memosisikan diri sebagai unsur pemerintah, sebab ia sesungguhnya alat negara. Ketiga, sejumlah aturan dalam draf RUU Kejaksaan membuat deviasi atau penyimpangan tugas pokoknya sebagai penuntut.