Menjaga Integritas Penyelenggara Pemilu Sedari Proses Seleksi
Menjaga integritas anggota KPU-Bawaslu 2022-2027 diawali dari keseriusan proses seleksi yang kini berlangsung. Banyaknya anggota KPU-Bawaslu yang dijatuhi sanksi karena melanggar etik harus jadi pelajaran.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
Jumlah penyelenggara pemilu yang diberhentikan karena melanggar kode etik terus bertambah. Pelanggaran tidak hanya banyak dilakukan anggota KPU ataupun Bawaslu di daerah, tetapi juga pernah dilakukan oleh anggota KPU Pusat seperti Wahyu Setiawan, bekas anggota KPU yang diberhentikan setelah ditangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Jadi catatan penting saat tim seleksi mencari anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027.
Pada Rabu (3/11/2021), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada tiga anggota KPU di daerah. Ketiganya adalah anggota KPU Kabupaten Garut (Jawa Barat), Hilwan Panaqi; anggota KPU Kabupaten Jeneponto (Sulawesi Selatan), Ekawaty Dewi; dan Anggota KPU Kabupaten Kaur (Bengkulu), Meixxy Rismanto.
Hilwan dipecat karena terlibat dalam partai politik sebelum rentang waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang yakni lima tahun, sebelum mendaftar sebagai calon anggota KPU Garut. Hilwan juga diketahui sudah tidak aktif melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai anggota KPU Kabupaten Garut sejak 4 Mei 2021.
Ekawaty dipecat karena kerap menjalin komunikasi dengan peserta pemilu. Adapun Meixxy dipecat karena melakukan tindakan yang meruntuhkan harkat dan martabat dirinya serta lembaga penyelenggara pemilu dengan cara mempertontonkan aktivitas seksual secara telanjang melalui panggilan video asusila.
Ketiga anggota KPU yang diberhentikan itu hanya bagian kecil dari sekian banyak anggota KPU dan Bawaslu, di daerah hingga pusat, yang telah diberhentikan DKPP karena terbukti melanggar kode etik. Di luar sanksi pemberhentian, tak sedikit pula anggota KPU dan Bawaslu yang diberi sanksi lainnya, seperti teguran dan peringatan karena terbukti pula melanggar.
Ketua DKPP Muhammad mengungkapkan, Kamis (4/11/2021), pada umumnya sanksi diberikan kepada penyelenggara pemilu karena tidak profesional. Selain itu, mereka tidak berintegritas seperti memihak, menerima suap, melakukan tindakan asusila, dan sebagainya. ”Agar tidak terjebak (pelanggaran etik), idealnya setiap penyelenggara memahami mulia dan strategisnya amanah dan tanggungjawab yang diberikan oleh negara,” katanya.
Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum menegaskan, setiap penyelenggara pemilu wajib bekerja, bertindak, menjalankan tugas, wewenang dan kewajiban sebagai penyelenggara pemilu berdasarkan kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu, serta sumpah/janji jabatan.
Pengaturan kode etik bertujuan menjaga integritas, kehormatan, kemandirian, dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Integritas penyelenggara pemilu berpedoman pada prinsip jujur, mandiri, adil, dan akuntabel.
Sebelas kriteria
Banyaknya anggota penyelenggara pemilu yang melanggar kode etik ini jadi catatan penting saat tim seleksi (timsel) bentukan pemerintah mencari anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027.
Wakil Ketua Timsel Anggota KPU dan Bawaslu 2022-2027, Chandra M Hamzah, mengatakan setidaknya ada sebelas kriteria yang dicari timsel supaya anggota KPU dan Bawaslu periode berikutnya tak justru menambah panjang daftar pelanggaran kode etik oleh penyelenggara pemilu. Di antaranya, memiliki integritas tinggi, kepemimpinan yang kuat dan kemampuan manajerial yang mumpuni, kemampuan dan keberanian dalam pengambilan keputusan yang adil, keberpihakan terhadap perempuan dan kelompok rentan, serta kemampuan untuk mengatasi tekanan kepentingan.
Chandra berharap, sebelas kriteria tersebut dapat terpenuhi. Jika tidak terpenuhi pada setiap individu, maka setidaknya terpenuhi secara tim. Mereka harus saling melengkapi.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menuturkan, proses seleksi merupakan salah satu fase krusial dalam melahirkan penyelenggara pemilu yang berintegritas dan profesional, termasuk di dalamnya memastikan komitmen etik sebagai penyelenggara pemilu.
Buka partisipasi publik
Proses seleksi, baik di timsel maupun nantinya saat uji kepatutan dan kelayakan di DPR, mesti pula mengedepankan komitmen untuk mendorong figur kredibel terpilih sebagai penyelenggara pemilu. Karena itu, harus dihindari betul politisasi dan sikap permisif dengan mengutamakan calon berdasarkan kedekatan serta preferensi jejaring personal.
”Keran partisipasi publik untuk terlibat dalam memeriksa rekam jejak para calon perlu dibuka lebar. Dengan demikian bisa dihindari terpilihnya calon-calon yang bermasalah,” tutur Titi.
Visi misi dan program para calon juga perlu digali secara mendalam untuk mengukur konsep mereka dalam pengelolaan pemilu ke depan. Termasuk bagaimana tawarannya untuk menghindari pelanggaran dan manipulasi dalam kelembagaan penyelenggara pemilu.
Titi menuturkan, keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas tata kelola lembaga penyelenggara pemilu akan menjadi alat kontrol bagi semua pemangku kepentingan untuk mencegah problem etik dari para personelnya. Karena itu, sejak awal, kemandirian, kredibilitas, dan kompetensi penyelenggara pemilu menjadi prasyarat mutlak yang perlu dipenuhi penyelenggara pemilu mendatang.
Timsel dan DPR harus mengutamakan figur terbaik untuk memastikan kualitas dan kredibilitas pemilu 2024. Jangan pertaruhkan mutu Pemilu 2024 yang menghadapi banyak tantangan kerumitan dan kompetisi yang sengit dengan memaksakan masuknya penyelenggara yang tidak kompeten.
Penyelenggara pemilu tidak boleh dipilih karena preferensi dan jaringan personal dari timsel ataupun partai politik yang ada di DPR. Titi mengingatkan, jika ingin serius menjaga etika dan integritas penyelenggara, maka tolok ukurnya adalah keseriusan proses seleksi untuk menghasilkan figur yang memang sesuai kebutuhan kelembagaan KPU dan Bawaslu sebagai lembaga yang mandiri serta profesional.
”Sekali kita mempertaruhkannya dengan membiarkan para calon terlibat dalam lobi-lobi politik dan proses seleksi yang transaksional, saat itu pula kualitas dan integritas pemilu 2024 telah kita pertaruhkan,” kata Titi.