Kala JC Masih Diincar demi Remisi...
Dihapusnya syarat wajib justice collaborator untuk peroleh remisi oleh MA disambut baik kalangan pengacara kasus korupsi. Meskipun untuk penyidikan, kemauan terdakwa menjadi JC dapat membuka ”kotak pandora” korupsi.
Hingga beberapa waktu lalu, menyandang status sebagai justice collaborator (JC) pernah menjadi incaran para terdakwa kasus korupsi. Meskipun untuk memperoleh status itu harus dipertukarkan dengan informasi terkait dengan kejahatan korupsi yang melibatkan dirinya, termasuk pihak lain yang terlibat, kepada penyidik.
Bukan pretensi, kesungguhan terdakwa korupsi menyandang status itu memiliki tujuan pasti. Sebab, hanya dengan menyandang status itu, para terdakwa korupsi bisa memperoleh imbalan remisi atau pengurangan hukuman saat menjalani hukumannya di kemudian hari.
Setidaknya itu yang terjadi sesaat sebelum Mahkamah Agung menghapus syarat wajib bekerja sama dengan penegak hukum membongkar kejahatannya atau menjadi justice collaborator bagi narapidana tindak pidana khusus, salah satunya korupsi, pada Rabu (28/10/2021) lalu. Syarat itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Hak-hak Napi.
Dalam putusannya, MA menyatakan peraturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang No 12/1996 tentang Pemasyarakatan. Mahkamah Agung menegaskan, persyaratan memperoleh remisi tidak boleh bersifat membeda-bedakan. Remisi harus diberikan kepada semua napi, kecuali dicabut oleh putusan pengadilan.
Baca juga : MA Hapus Kewajiban Jadi ”Justice Collaborator” untuk Peroleh Remisi
Kesungguhan memperoleh status JC itu, salah satunya, ditunjukkan oleh Tommy Sumardi, terdakwa dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi untuk penghapusan nama terpidana pengalihan hak tagih Bank Bali, Joko S Tjandara, dari daftar pencarian orang dalam sistem imigrasi.
Pada 15 Desember 2020, dalam sidang tuntutan perkaranya, jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menyampaikan, bahwa tim jaksa menilai Tommy selaku terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam hal pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia. Meski demikian, Tommy dinilai mengakui perbuatannya dan turut memberikan keterangan ataupun bukti-bukti yang signifikan dalam mengungkap pelaku-pelaku lain.
Dalam tuntutannya, selain mengajukan tuntutan hukuman pidana, jaksa juga meminta majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta untuk menyatakan Tommy sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau sebagai justice collaborator.
Dion Pongkor, kuasa hukum Tommy, Senin (1/11/2021), mengungkapkan, ia memperjuangkan status JC bagi kliennya karena syarat itu diatur dalam PP No 99/2012. Lagi pula, itu merupakan satu-satunya syarat bagi narapidana korupsi untuk memperoleh remisi.
”Karena kami tahu perkara kami adalah perkara korupsi, kan, makanya kami, kan, memperjuangkan JC di pengadilan,” ucap Dion.
Baca juga : Jaksa Minta Terdakwa Gratifikasi ”Red Notice” Tommy Sumardi Diberi Status ”Justice Collaborator”
Dengan menyandang status JC, Tommy mampu menunjukkan bukan sebagai pelaku utama dalam kasus korupsi terkait penghapusan red notice atau daftar pencarian orang dalam sistem imigrasi atas nama Joko S Tjandra. Ia juga berani membuka seluruh fakta perkara di depan penegak hukum dan majelis hakim.
”Kalau klien kami ternyata memang membuka semuanya, ya, kami berhak dong dapat JC. Nah, dengan kami berhak dapat JC, kan, ternyata ada keuntungannya karena ada dasar PP No 99/2012 bilang bahwa hanya yang dapat status JC boleh dapat remisi untuk tindak pidana korupsi,” ujar Dion.
Namun, diakui pula oleh Dion, ia mendukung pencabutan PP No 99/2012 itu. Ia melihat, penerapan PP tersebut telah melanggar hak asasi manusia. ”Semua orang, kan, mempunyai hak yang sama. Tetapi, karena aturannya PP No 99/2012 begitu, ya, kami ikuti. Kalau sekarang dicabut, ya, baguslah,” katanya.
Semua orang, kan, mempunyai hak yang sama. Tetapi, karena aturannya PP No 99/2012 begitu, ya, kami ikuti. Kalau sekarang dicabut, ya, baguslah. (Dion Pongkor)
Samsul Huda, pengacara sejumlah pihak yang terlibat kasus korupsi, pun sependapat dengan Dion. Samsul yang menangani perkara Andi Agustinus alias Andi Narogong, terpidana kasus korupsi pengadaan KTP elektronik, mengatakan, semestinya seseorang yang sudah masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) tidak boleh lagi diberikan beban ganda.
”Dia, kan, sudah di penyidikan, penuntutan, di persidangan, mendapatkan perlakuan yang lebih dari pidana umum, misal, ada pemberatan, pencabutan hak politik, dan beberapa beban-beban lain yang tidak ada di pidana umum. Tetapi, setelah dia masuk ke lapas pun, masih diberi beban tambahan. Itu menurut saya tidak fair,” ujar Samsul.
Semua narapidana harus diperlakukan setara. Jika ingin memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana korupsi, menurut dia, itu seharusnya dilakukan sebelum perkara berkekuatan hukum tetap.
Baca juga : Andi Narogong Dikenal sebagai Orang Dekat Novanto
Samsul pun termasuk kuasa hukum yang memperjuangkan status JC bagi Andi Narogong hingga tingkat kasasi. Sebab, status JC kliennya sempat ditolak di tingkat pengadilan tinggi Jakarta.
”Bahwa ada klien saya dalam posisi dia sebagai justice collaborator, itu hanya sekadar fungsi bahwa iya, memang dia harus membuka perkara dan perkara itu memang nyatanya terang benderang. Jadi, kalau faktanya sudah terang benderang, masa iya kita mau mengatakan fakta yang lain,” kata Samsul.
Menurut pengakuannya, kerap kali status JC itu malah disalahgunakan. Apalagi, setelah seseorang mengetahui status JC ini bisa menjadi syarat seseorang mendapatkan remisi, maka orang tersebut malah membuka fakta yang belum tentu sebenarnya.
”Sebab, dia terdorong, ’wah, ini, kan, ada keuntungan untuk mendapatkan status JC. Jadi, ada semacam moral hazard begitu. Padahal, kan, faktanya belum tentu seperti itu. Kan, banyak yang begitu,” ujar Samsul meyakinkan.
Membuka ”kotak pandora”
Tak heran banyak pihak, terutama dari kalangan aktivis pemberantasan korupsi, menyayangkan putusan MA yang menghapus syarat wajib sebagai JC untuk mendapatkan remisi tersebut. Seperti diungkapkan Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, bahwa putusan MA itu akan berdampak kepada aparat penegak hukum. Kerja keras mereka dalam menyelidiki, menyidik, dan menuntut perkara korupsi justru dilemahkan dengan putusan itu.
”Ini merupakan kemunduran signifikan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,” ujarnya.
Eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo, melalui keterangan video, di Jakarta, Senin (1/11/2021), mengatakan, PP No 99/2012 biasa digunakan agar para pelaku korupsi bisa kooperatif dengan penyidik. Hal ini menjadi penting karena biasanya korupsi merupakan kejahatan kolektif yang mana para pelaku ingin menutupi siapa pelaku sebenarnya, siapa orang-orang di belakangnya.
”Ketika mereka mau bekerja sama, mereka mau membuka kotak pandora atas kasus korupsi yang mereka lakukan sehingga bisa kami ketahui siapa sebenarnya pelaku sesungguhnya, berapa uang yang didapatkan setiap pelaku, kemudian juga siapa tahu ada kasus besar yang diketahui oleh tersangka ini kemudian diberitahukan kepada penyidik sehingga bisa kami bongkar,” ujar Yudi.
Baca juga : Sejak PP No 99/2012 Masih Berlaku, Pemberian Remisi Sudah Tidak Transparan
Berdasarkan pengalaman sebagai penyidik, lanjut Yudi, kehadiran PP No 99/2012 ini membuat para pelaku korupsi berpikir ribuan kali ketika mereka tidak kooperatif dengan penyidik. Sebab, dengan tidak ikut menjadi JC, hukuman penjara mereka akan menjadi lebih lama. Sebaliknya, jika mereka menyandang status sebagai JC, hukumannya akan menjadi lebih ringan.
”Intinya bahwa keterangan bagi para tersangka ini akan berguna bagi dirinya sendiri. Kami sih sebagai penyidik, ya, mereka mau mengaku atau tidak, itu haknya karena sudah diatur. Namun, ketika mereka terbuka, kooperatif, itu akan menjadi nilai tambah bagi mereka karena akan membongkar sebaik-baiknya kasus tersebut. Karena, kan, yang mengalami adalah mereka,” ucap Yudi.
Namun, menurut Yudi, ini bukan berarti kerja penyidik berhenti jika mereka tidak ingin ikut menjadi JC. Penyidik tentu sudah memiliki berbagai macam teknik untuk menginvestigasi kasus tersebut dengan menelusuri bukti-bukti dan keterangan lainnya.
Berdasarkan pengalaman sebagai penyidik, lanjut Yudi, kehadiran PP No 99/2012 ini membuat para pelaku korupsi berpikir ribuan kali ketika mereka tidak kooperatif dengan penyidik. Sebab, dengan tidak ikut menjadi JC, hukuman penjara mereka akan menjadi lebih lama. (Mantan penyidik KPK)
Rasa keadilan
Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, pun mengatakan, PP No 99/2012 sebenarnya upaya menyempurnakan penanganan kejahatan yang harus dilakukan oleh negara agar terungkapnya lebih luas pertanggungjawaban pelaku kejahatan kategori serius (serious crime), pelaku yang terorganisasi, atau diawali dengan permufakatan jahat. Dengan itu, pelaku kejahatan serius tersebut diberikan reward agar kooperatif membongkar perkara tindak pidananya kepada penegak hukum.
Untuk itu, menurut Azmi, semestinya PP ini dipertahankan. Pengimplementasinya pun harus proporsional dengan memperhatikan kepentingan nasional, perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian-kerugian, sehingga membaca pasal yang diuji tidak bisa sepotong-sepotong.
”Semestinya, pasal yang diuji itu ditafsirkan dalam satu kesatuan tujuan yang mau dicapai dalam pengoperasionalan PP dimaksud sehingga diperlukan persyaratan dan pembatasannya dalam hal ini diberikan remisi bagi pelaku yang kooperatif pada penegak hukum guna memenuhi rasa keadilan masyarakat,” ucap Azmi.
Selain itu, lanjut Azmi, PP No 99/2012 juga memberi dasar pengetatan syarat serta aktualisasi hukum menghadapi berbagai perkembangan dan kebutuhan baru, termasuk kebutuhan akan ketertiban umum dan kebutuhan keadilan. Dengan segala tujuan itu, ia melihat majelis hakim yang membatalkan PP tersebut kurang memahami gagasan karakteristik yang dikehendaki dalam upaya penanganan pelaku tindak pidana khusus.
”Ini kekeliruan karena tidak ada kaitannya dengan filosofi permasyarakatan. Jadi semestinya majelis hakim fokus pada perbuatan dan dampak karakteristik kejahatan luar biasa yang serius yang dilakukan pelaku,” tutur Azmi.