MA Hapus Kewajiban Jadi ”Justice Collaborator” untuk Peroleh Remisi
Syarat wajib jadi "justice collaborator" guna memperketat remisi bagi napi tindak pidana khusus, seperti korupsi, yang diatur dalam PP 99/2012, dihapus oleh MA. Ini dinilai sebagai sikap yang kian permisif pada korupsi.
Oleh
SUSANA RITA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koruptor tak perlu lagi menjadi justice collaborator untuk mendapatkan remisi atau potongan hukuman selama menjalani masa pidana. Sebab, Mahkamah Agung telah menghapus syarat wajib bekerja sama dengan penegak hukum membongkar kejahatannya atau menjadi justice collaborator yang selama ini menyulitkan narapidana kasus korupsi memperoleh remisi.
Pasal-pasal yang mengatur ketentuan tersebut tertuang di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Hak-hak Napi dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang No 12/1996 tentang Pemasyarakatan. Mahkamah Agung menegaskan, persyaratan memperoleh remisi tidak boleh bersifat membeda-bedakan. Remisi harus diberikan kepada semua napi, kecuali dicabut oleh putusan pengadilan.
Penilaian MA itu terkait dengan keputusan MA mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan oleh Subowo dan empat rekannya (semuanya mantan kepala desa) yang kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Klas IA Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Mereka menguji konsideran dan Pasal 34A ayat (1) huruf a dan b, Pasal 34A ayat (3), dan Pasal 43A Ayat 1 huruf a, serta Pasal 43A Ayat (3) PP 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Hak-hak Narapidana.
Oleh majelis hakim yang dipimpin oleh Supandi (Ketua Kamar Tata Usaha Negara MA) dengan hakim anggota Yodi Martono dan Is Sudaryono, permohonan tersebut diputus pada Rabu (28/10/2021).
Mahkamah Agung menegaskan, persyaratan memperoleh remisi tidak boleh bersifat membeda-bedakan. Remisi harus diberikan kepada semua napi, kecuali dicabut oleh putusan pengadilan.
Juru bicara MA Andi Samsan Nganro, Kamis (29/10/2011), mengungkapkan pertimbangan majelis hakim yang menjadi dasar mengabulkan uji materi tersebut. Dalam pertimbangannya, menurut Andi, majelis hakim mengutip fungsi pemidanaan tidak lagi sekadar memenjarakan pelaku agar jera, tetapi juga menjadi usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model restorative justice atau model hukum yang memperbaiki.
Narapidana juga tidak bisa dipandang sebagai obyek semata, tetapi juga subyek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya yang dapat melakukan kekhilafan yang bisa dipidana sehingga tidak harus diberantas. ”Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum,” ujar Andi.
Dengan filosofi pemasyarakatan tersebut, menurut dia, rumusan norma di dalam PP No 99/2012 sebagai aturan teknis pelaksana haruslah mempunyai semangat dan sebangun dengan upaya memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial, serta konsep keadilan restoratif.
”Berkaitan dengan hal tersebut, sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali yang artinya berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapatkan haknya secara sama, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan,” kata Andi mengutip pertimbangan majelis.
Selain itu, menurut majelis, kewenangan untuk memberikan remisi adalah menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan. Kewenangan ini tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain, apalagi intervensi tersebut justru bertolak belakang dengan pembinaan warga binaan. Lapas memberikan penilaian kepada setiap narapidana untuk dapat diberikan remisi, sejak yang bersangkutan menyandang status warga binaan dan bukan masih dikait-kaitkan dengan hal lain sebelumnya.
Menurut majelis, kewenangan untuk memberikan remisi adalah menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan. Kewenangan ini tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain.
PP No 99/2012 mengatur bahwa narapidana tindak pidana khusus (seperti pelaku korupsi, terorisme, narkotika, perdagangan orang, dan lainnya) harus menyandang status sebagai justice collaborator untuk bisa memperoleh potongan hukuman dan pembebasan bersyarat. Status justice collaborator tersebut dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh aparat penegak hukum.
Dalam pelaksanannya, remisi diberikan setelah yang bersangkutan membayarkan uang kerugian negara dan bukan seorang residivis korupsi.
Putusan MA ini sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya terkait uji materi yang diajukan oleh advokat senior OC Kaligis, yang dibacakan 30 September 2021 lalu. Meskipun menolak permohonan Kaligis, dalam salah satu pertimbangannya, MK menyatakan, sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali. Hak tersebut juga berlaku sama bagi semua warga binaan kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan. Pemberian hak untuk narapidana harus memegang prinsip bahwa satu-satunya hak yang hilang adalah hak untuk hidup bebas.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana menilai, putusan MA semakin meneguhkan bahwa saat ini bangsa ini mengalami kemunduran atau set back dalam upaya pemberantasan korupsi. Di awal reformasi, bangsa ini bersepakat bahwa korupsi harus diberantas secara luar biasa. Dalam kaitannya dengan itu, lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang kemudian diikuti dengan kebijakan pembatasan/pengetatan pemberian remisi untuk napi korupsi.
”Sekarang satu per satu hasil reformasi itu dilumpuhkan. KPK mati suri setelah perubahan UU, pengetatan remisi dihilangkan. Sehingga, kita akan mengalami lagi obral remisi. Kita semakin permisif terhadap pelaku korupsi,” ujar Denny.