Sejak PP No 99/2012 Masih Berlaku, Pemberian Remisi Sudah Tidak Transparan
Pemberian remisi bagi koruptor dinilai tak transparan. Sebab, saat keharusan menjadi ”justice collaborator” sebagai syarat memperoleh remisi bagi narapidana korupsi masih berlaku, ada banyak koruptor memperoleh remisi.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebelum ada putusan Mahkamah Agung tentang hak uji materi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Hak-hak Napi, pemberian remisi kepada koruptor dinilai tidak akuntabel dan transparan. Kini, pasca-putusan itu, koruptor mendapatkan legitimasi untuk memperoleh pengurangan hukuman dengan mudah.
Pada Rabu (28/10/2021), MA mengabulkan permohonan hak uji materi PP No 99/2012 yang diajukan mantan Kepala Desa Subowo, dkk. MA menyatakan, PP No 99/2012 bertentangan dengan UU No 12/1996 tentang Pemasyarakatan karena persyaratan remisi tidak boleh diskriminatif, kecuali dicabut pengadilan. Oleh karena itu, MA menghapuskan syarat pelaku tindak pidana yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum (justice collaborator) untuk mendapatkan potongan hukuman bagi napi koruptor (Kompas, 30/10/2021).
Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, saat dihubungi, Minggu (31/10/2021), mengatakan, pascaputusan uji materi MA, upaya pemberantasan korupsi di Indonesia kian mundur dan suram. Fenomena rombongan koruptor mendapatkan pengurangan hukuman akan semakin sering terjadi.
Terpidana kasus suap fatwa MA dan penghapusan daftar pencarian orang (DPO) kasus cessie Bank Bali Joko S Tjandra, misalnya, pada hari kemerdekaan 17 Agustus 2021 lalu mendapatkan remisi dua bulan.
Saat PP No 99/2012 masih berlaku saja, lanjutnya, sudah banyak sekali narapidana korupsi mendapatkan pengurangan hukuman. Pemberian remisi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dinilai tidak akuntabel dan transparan.
Terpidana kasus suap fatwa MA dan penghapusan daftar pencarian orang (DPO) kasus cessie Bank Bali, Joko S Tjandra, misalnya, pada hari kemerdekaan 17 Agustus 2021 lalu, mendapatkan remisi dua bulan. Kurnia meragukan pemberian remisi itu telah memenuhi syarat di PP No 99/2012. Pemberian remisi kepada Joko dipertanyakan karena dia tidak memenuhi syarat berlakuan baik. Joko kabur setelah vonis MA terkait hak tagih utang Bank Bali dijatuhkan oleh MA pada tahun 2009. Apakah Joko, sebagai seseorang yang melarikan diri ketika harus menjalani masa hukuman dapat dikategorikan sebagai orang yang berkelakuan baik oleh Kementerian Hukum dan HAM?
Selain Joko, 213 koruptor lain juga mendapatkan remisi pada HUT Ke-76 Kemerdekaan RI. Salah satunya Eni Maulani Saragih. Narapidana kasus korupsi proyek PLTU Riau-1 ini bahkan tidak mendapatkan status justice collaborator, tetapi tetap memperoleh remisi.
Bahkan, jika seorang terpidana mendapatkan justice collaborator pun, tidak pernah disampaikan secara terbuka kepada masyarakat.
”Putusan MA ini akan berdampak pada semakin singkatnya masa hukuman koruptor di Indonesia. Tren di persidangan kasus tipikor, tuntutan ataupun vonis itu masih rendah. Vonis rata-rata 3 tahun 1 bulan pada 2020. Dengan batalnya PP No 99/2012 ini, koruptor tidak akan jera mengulangi tindak pidananya. Orang lain pun akan semakin berani korupsi karena vonisnya ringan dan mudah mendapatkan remisi,” terang Kurnia.
Lebih lanjut, Kurnia menyebut, batalnya PP No 99/2012 melalui putusan MA ini juga akan berdampak kepada aparat penegak hukum. Kerja keras mereka dalam menyelidiki, menyidik, dan menuntut perkara korupsi justru akan dilemahkan. Saat mereka berhasil mengirim koruptor ke penjara, negara melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham akan semakin mudah memberikan pemotongan hukuman. Ini merupakan kemunduran signifikan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
”Para pelaku korupsi juga akan menganggap peran sebagai justice collaborator itu hal yang tidak penting. Dulu, mereka bisa bekerja sama dengan aparat penegak hukum karena bisa mendapatkan insentif remisi, sekarang sama saja. Ini juga bisa melemahkan upaya pengusutan tuntas kasus korupsi oleh penegak hukum walau dalam skala kecil,” kata Kurnia.
Padahal, salah satu mandat dari Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) adalah Indonesia mengakui korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Hal itu juga sudah tertuang dalam UU No 31/1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jika pemerintah mengurangi syarat remisi koruptor, seperti putusan MA, artinya pemerintah tidak mengakui bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa. Pemerintah hanya menganggap korupsi sebagai kejahatan biasa seperti kejahatan umum.
”Kami khawatir putusan ini akan menjadi dasar pemerintah untuk mengurangi syarat remisi koruptor sebagaimana kehendak pemerintah selama ini. Padahal, Indonesia terikat dengan UNCAC,” kata Kurnia.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Zaenur Rohman mengatakan, Rancangan Undang Undang (RUU) Pemasyarakatan saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Jika ingin menjaga komitmen pemberantasan korupsi, pemerintah dan DPR harus tetap memasukkan syarat sebagai justice collaborator kepada terpidana korupsi sebagai syarat memperoleh remisi. Secara teknis hukum, ini mudah dilakukan oleh pemerintah dan DPR.
Namun, Zaenur pesimistis secara politik hal itu akan dilakukan karena sejak awal, pemerintah sudah ingin mengutak-atik aturan remisi kepada koruptor. Kementerian Hukum dan HAM telah empat kali melontarkan keinginan untuk merevisi PP No 99/2012 melalui RUU Pemasyarakatan. Menkumham juga pernah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Menkumham M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013 yang pada intinya memberikan kemudahan bagi koruptor yang dipidana sebelum berlakunya PP No 99/2012.
”Remisi bukanlah hak asasi manusia. Remisi adalah sarana untuk melakukan pendidikan kepada warga binaan. Kejahatan yang serius seperti korupsi kalau diberlakukan syarat berbeda itu adalah hal yang wajar, bukan diskriminatif,” kata Zaenur.
Remisi bukanlah hak asasi manusia. Remisi adalah sarana untuk melakukan pendidikan kepada warga binaan.
Zaenur berharap, jika tidak dikoreksi melalui RUU Pemasyarakatan, putusan MA ini menjadi kemenangan besar bagi para koruptor. Sebab, dengan putusan itu, kini koruptor semakin singkat menjalani pidananya. Tren tuntutan masih rendah, berdasarkan catatan ICW rata-rata tuntutan hanya 4 tahun 1 bulan. Adapun, tren putusan koruptor juga masih rendah, yaitu 3 tahun 1 bulan. Ini masih dikurangi lagi dengan hak-hak terpidana lain seperti remisi, pembebasan bersyarat, dan cuti menjelang bebas. Ini semakin menghapus efek jera hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi.
”Dalam putusan hak uji materi kemarin, MA keliru menerapkan konsep keadilan restoratif. Syarat pemberian remisi diperketat untuk koruptor itu punya tujuan, yaitu untuk menciptakan efek jera. MA memaknai restorative justice dengan serampangan tanpa ada tujuan dan filosofi yang memperkuat pemberantasan korupsi,” kata Zaenur.
Wakil Menkumham pada periode 2011-2014, Denny Indrayana, mengatakan, terbitnya PP No 99/2012 adalah politik hukum negara pada saat itu yang ingin lebih menegaskan perang melawan kejahatan luar biasa. Modus utak-atik, dan pembatalan PP No 99/2012 sudah berkali-kali dilakukan. Namun, sebelumnya, hal itu bisa dibatalkan karena masih ada sosok hakim berintegritas di MA seperti Artidjo Alkostar. Dukungan dari publik terhadap KPK juga masih kuat sehingga aturan itu gagal dibatalkan.
”Saya menduga ada kepentingan yang ikut bermain agar permohonan pembatalan PP No 99/2012 ini sehingga dapat dikabulkan oleh MA. Ini semakin menegaskan bahwa politik hukum antikorupsi telah mundur sejak awal reformasi hingga saat ini setelah kebijakan pengetatan remisi dibatalkan,” kata Denny.
Lumpuhnya KPK sebagai lembaga antirasuah yang independen, tes wawasan kebangsaan yang menyingkirkan pegawai KPK berintegritas, dan pembatalan PP No 99/2012 menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi telah mundur, lebih permisif, dan mengkhianati semangat reformasi.