Pasca-OTT Bupati Musi Banyuasin, Hidupkan Kembali Larangan Dinasti Politik di Pilkada
Larangan dinasti politik mengikuti pilkada diusulkan dihidupkan kembali setelah penangkapan Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin oleh KPK. Adapun KPK mengusulkan agar pilkada dibiayai sepenuhnya oleh negara.
JAKARTA, KOMPAS — Kebobrokan politik kekerabatan kembali terlihat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menangkap Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Dodi Reza Alex Noerdin, Jumat (15/10/2021) malam.
Dengan kian panjangnya daftar pemimpin daerah yang menjadi bagian dari dinasti politik jatuh dalam korupsi, aturan larangan dinasti politik di pemilihan kepala daerah diusulkan untuk dihidupkan kembali. Adapun KPK mengusulkan agar pemilihan kepala daerah dibiayai sepenuhnya oleh negara sehingga menekan biaya politik calon yang kerap berujung pada korupsi.
Penangkapan putra dari bekas Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin yang kini juga meringkuk di tahanan karena kasus korupsi tersebut hanya berselang sekitar satu bulan setelah KPK menangkap Bupati Probolinggo (nonaktif) Puput Tantriana Sari beserta suaminya, anggota DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Hasan Aminuddin.
Sebelum kedua kasus ini, sudah banyak pemimpin daerah yang jadi bagian dari dinasti politik ditangkap karena korupsi. Awal 2018, KPK menangkap bekas Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra dan ayahnya, Asrun, yang pernah pula menjabat Wali Kota Kendari selama dua periode. Kemudian pada 2017, bekas Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari dan ayahnya yang pernah menjabat bupati daerah itu, Syaukani Hasan Rais.
Kebobrokan dari dinasti politik ini mulai terkuak sejak bekas Gubernur Banten Atut Chosiyah beserta kerabatnya terjerat kasus korupsi pada 2013.
Baca Juga: KPK Tangkap Bupati Musi Banyuasin Terkait Pengadaan Infrastruktur
Terkait hal itu, salah satu pendiri Kantor Hukum Visi Integritas, Donal Fariz, yang mendalami isu korupsi politik, saat dihubungi, Sabtu (16/10/2021), mengatakan, sudah banyak penelitian yang menunjukkan bagaimana dinasti politik berhubungan langsung dengan korupsi.
Basis politik dari orangtua yang diwariskan kepada anak atau kerabat lainnya membutuhkan biaya besar. Untuk itu, jalan yang ditempuh sering kali dengan korupsi. Salah satu yang kerap terjadi, bantuan sosial yang jadi target korupsi.
Kepala daerah, tambah Donal, akan sangat menjaga agar kekuasaan mereka tidak putus meski hanya dalam satu siklus pemilu. Sebab, jika hal itu terjadi, mereka akan sulit untuk menguasai dan mengambil kursi itu kembali. Oleh karenanya, mereka akan habis-habisan supaya kekuasaan tidak lepas satu kalipun.
”Kalau lepas, mereka tidak punya kontrol terhadap APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), juga terhadap akses birokrasi. Sekali lepas, mereka kehilangan resources ekonomi dan politik. Mereka tidak bisa memakai bansos, tidak bisa menggerakkan birokrasi, juga memutasi orang-orangnya,” kata Donal.
Larangan bagi dinasti politik untuk ikut serta dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) sebenarnya pernah diatur di dalam Pasal 7 Huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Pasal itu mewajibkan masa jeda satu periode atau selama 5 tahun bagi mereka yang terikat hubungan kekerabatan dengan petahana agar bisa maju dalam pilkada.
Namun, MK dalam putusannya Nomor 33/PUU-XII/2015 membatalkan norma tersebut. Alasannya, pasal tersebut mengandung muatan diskriminasi karena nyata-nyata memuat pembedaan perlakuan yang semata-mata didasarkan pada kelahiran dan status kekerabatan. Pasal itu dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28I Ayat (2) dan Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945.
Menurut Donal, pasal tersebut dapat dihidupkan kembali dengan cara proses legislasi di DPR atau uji materi ke MK. Pilihan menghidupkan aturan melalui uji materi sangat mungkin dilakukan sebab ada preseden sehingga MK kemudian dapat mengubah pandangannya. Hal ini terjadi dalam putusan MK terkait larangan mantan napi kasus korupsi mengajukan diri sebagai calon kepala daerah.
Terkait norma itu, MK sudah mengubah putusan hingga tiga kali. Awalnya, MK menyatakan mantan napi korupsi bisa mengajukan diri sebagai calon kepala daerah minimal 5 tahun setelah selesai menjalani masa pidana atau ada masa jeda 5 tahun.
Setelah itu, MK menghapus ketentuan masa jeda dan menyatakan mantan napi korupsi dapat langsung mengikuti pilkada dengan catatan harus mendeklarasikan diri terkait statusnya. Akan tetapi, MK kemudian kembali pada putusan sebelumnya setelah ada pengujian yang diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
”Salah satu pertimbangan MK adalah fakta empiris, fakta sosial yang terjadi di masyarakat,” ujar Donal.
Berkaca dari pengalaman tersebut, rumusan pasal mengenai larangan politik dinasti sangat mungkin untuk dihidupkan kembali. ”Kalau berkaca bagaimana MK mengoreksi putusannya dengan pertimbangan fakta empiris, itu sangat bisa. Jadi, tidak hanya masalah konstitusionalitas norma saja, tetapi MK justru membuat suatu terobosan untuk mengoreksi putusannya dengan mempertimbangkan fakta-fakta sosial dan empiris di masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho berpandangan, adanya beberapa orang dalam satu keluarga yang menjadi pejabat publik sebenarnya bukan hal yang negatif. Namun, dalam beberapa kasus tampak bahwa hubungan kekerabatan atau yang disebut dinasti politik tersebut berujung pada korupsi.
Menurut Hibnu, korupsi dapat dipicu oleh kondisi eksternal, antara lain karena mahalnya biaya politik untuk mengikuti pilkada serta kewenangan kepala daerah yang sangat besar dalam membuat kebijakan di daerahnya.
Untuk mencegah hal itu, ia melihat, pemerintah sebenarnya telah melakukan sejumlah langkah, seperti penerapan pengadaan secara elektronik. ”Tapi ternyata masih jebol juga. Sistemnya memang perlu terus ditingkatkan, tetapi itu hanyalah alat. Pada akhirnya, semua kembali ke orangnya, kembali ke pejabatnya, apakah dia kuat dan mampu menahan situasi seperti itu,” ujarnya.
Sifat tamak atau rakus dinilainya juga menjadi faktor penting terjadinya korupsi. Secara khusus, Kabupaten Musi Banyuasin juga termasuk kabupaten yang kaya dengan sumber daya alam.
Karena itu, hanya menyalahkan sistem politik berbiaya tinggi sebagai penyebab korupsi juga tidak tepat. Karena, sebagai sebuah sistem, selalu ada kelemahan atau kekurangan. Demikian pula hingga saat ini tidak ada sistem yang sempurna atau dapat mencegah pejabat melakukan korupsi. Oleh karena itu, menurut Hibnu, pada akhirnya kunci tidak terjadinya korupsi adalah integritas dari seseorang.
Terkait dengan operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Musi Banyuasin, Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, operasi tersebut terkait dugaan tindak pidana korupsi berupa suap pengadaan barang dan jasa infrastruktur di Kabupaten Musi Banyuasin. Dalam kegiatan tersebut, KPK mengamankan beberapa pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin berjumlah enam orang, termasuk Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin.
Pilkada dibiayai negara
Ketika dihubungi, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, kasus tersebut harus menjadi pembelajaran bagi pimpinan daerah. Kepala/wakil kepala daerah harus ingat bahwa mereka dipilih rakyat untuk mengabdi pada kemakmuran rakyat dan kemajuan daerahnya. Jika orientasi menduduki jabatan publik adalah untuk mencari keuntungan, penangkapan oleh KPK hanya soal waktu karena cepat atau lambat KPK akan mengendusnya.
Terkait kasus di Musi Banyuasin, menurut Ghufron, prosedur pencegahan yang diminta oleh Monitoring Centre for Prevention (MCP) KPK di Musi Banyuasin sebenarnya telah terpenuhi dengan baik. Namun, terjadinya kegiatan tangkap tangan tersebut menunjukkan bahwa prosedur pencegahan hanya dipenuhi sebagai prosedur administrasi saja.
”Secara substansi nol besar. Karena itu KPK mengimbau agar proses pilkada harus menemukan pemimpin yang berdedikasi untuk rakyat, bukan berdagang suara dengan rakyat. Salah satunya adalah dengan menekan biaya pilkada. Selama pilkada masih mahal, sulit terlahir pemimpin berintegritas,” tutur Ghufron.
Baca Juga: Korupsi Anggaran Infrastruktur Rawan Jerat Kepala Daerah di Sumatera Selatan
Saat ditanya mengenai dinasti politik yang terus-menerus terjerat kasus korupsi, menurut Ghufron, hal itu merupakan salah satu persoalan yang dihadapi. Namun, yang terpenting adalah menekan biaya pilkada yang mahal.
Semisal, lanjut Ghufron, pilkada sebagai pesta demokrasi dibiayai sepenuhnya negara dan tidak dibebankan kepada pasangan calon kepala/wakil kepala daerah. Sebab, dengan proses pilkada berbiaya tinggi, calon yang berintegritas dan berkapasitas, tetapi tidak memiliki modal, tidak akan bisa maju atau ikut dalam kontestasi pilkada. Akhirnya, calon yang maju dalam pilkada adalah mereka yang punya modal atau yang mau berkolaborasi dengan pemilik modal.
”Sehingga sedari awal sudah tergadai keberpihakannya bukan untuk rakyat, tetapi kepada pemodal,” ujar Ghufron.