Ada Tambahan Pasal-pasal Baru, Draf Revisi UU ITE Belum Tuntas
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengatakan bersama Menko Pohukam serta Menkuham terus mendalami revisi UU ITE. Mulai dari pelanggaran susila,hingga penyebaran berita hoaks yang akan direvisi lagi.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah saat ini masih menyelesaikan penyusunan naskah akademis dan draf Rancangan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pengiriman surat presiden ke DPR ditargetkan setelah naskah akademis dan draft perubahan kedua UU ITE itu selesai.
Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate saat dihubungi, Kamis (14/10/2021), mengatakan Kemenkominfo bersama Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sedang melakukan pendalaman naskah revisi kedua UU ITE.
“Pengiriman surat presiden bersama naskah akademik dan RUU ITE kepada DPR akan dilakukan sesuai ketentuan yang ada,” kata Johnny.
Sebelumnya, pada 8 Juni lalu, pemerintah resmi memutuskan untuk merevisi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE. Revisi akan dilakukan secara terbatas pada empat pasal yaitu pasal 27, 28, 29, dan 36. Pasal 27 mengatur tentang pelanggaran kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik, serta pemerasan dan pengancaman.
Pasal 28 mengatur tentang penyebaran berita bohong serta ujaran kebencian dan permusuhan. Pasal 29 mengatur tentang ancaman kekerasan atau menakut-nakuti. Adapun, Pasal 36 mengatur perbuatan melawan hukum pada Pasal 27-34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
“Pengiriman surat presiden bersama naskah akademik dan RUU ITE kepada DPR akan dilakukan sesuai ketentuan yang ada”
Selain itu, pemerintah juga menambah satu pasal baru yaitu Pasal 45C. Pasal mengatur tindak pidana penyebaran berita bohong di luar ketentuan UU ITE. Pasal merujuk dari Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pengaturan Hukum Pidana. Keputusan itu diambil setelah tim kajian UU ITE yang dibentuk Kemenko Polhukam melakukan kajian selama dua bulan. Tim dibagi ke dalam dua subtim yang membahas tentang kajian revisi UU ITE dan pedoman implementasi pasal multitafsir UU ITE.
Saat proses kajian tersebut, tim mengundang beberapa pihak di antaranya para korban UU ITE, pelapor UU ITE, ahli hukum, dan masyarakat sipil yang mengadvokasi isu tersebut. Namun, kajian selama dua bulan itu ternyata belum cukup untuk menyusun naskah akademik dan draf RUU ITE. Kemenkominfo selaku kementerian pemrakarsa revisi UU ITE masih membutuhkan waktu untuk mendalami naskah rancangan yang telah diajukan oleh tim kajian revisi UU ITE.
Setelah resmi memutuskan untuk merevisi UU ITE, pemerintah juga masih memberi ruang bagi publik untuk memberikan masukan. Pada medio Juni 2021, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD bertemu dengan Koalisi Serius Revisi UU ITE. Koalisi itu terdiri atas berbagai lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia. Selain berdiskusi mengenai revisi UU ITE, koalisi juga menyerahkan kertas rekomendasi kepada Mahfud. Koalisi di antaranya menyoroti soal rumusan usulan revisi UU ITE yang berasal dari Tim Kajian UU ITE Kemenko Polhukam. Menurut dia, sejumlah pasal yang diusulkan pemerintah masuk dalam revisi UU ITE itu masih berpotensi multitafsir. Tim mengusulkan agar sejumlah pasal karet itu dihapus.
Segera revisi
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan, masyarakat sipil mendesak pemerintah dan DPR untuk segera merevisi UU ITE agar tidak ada lagi korban kriminalisasi pasal-pasal karet UU ITE. Warga seharusnya tidak takut untuk mengungkapkan ekspresinya, pendapatnya secara damai karena adanya ancaman pidana. Revisi UU ITE mutlak diperlukan agar negara dapat menjamin kebebasan berekspresi warga.
“Masuknya revisi UU ITE ke Prolegnas Prioritas 2021, memberikan harapan kepada publik agar pemerintah segera mengirimkan naskah revisi UU ITE ke DPR. Agar pembahasan dapat segera dilakukan dan diselesaikan. Kelompok masyarakat sipil telah menyampaikan delapan pasal problematis yang perlu untuk direvisi, karena pasal-pasal ini telah menimbulkan korban”
“Masuknya revisi UU ITE ke Prolegnas Prioritas 2021, memberikan harapan kepada publik agar pemerintah segera mengirimkan naskah revisi UU ITE ke DPR. Agar pembahasan dapat segera dilakukan dan diselesaikan. Kelompok masyarakat sipil telah menyampaikan delapan pasal problematis yang perlu untuk direvisi, karena pasal-pasal ini telah menimbulkan korban,” kata Wirya.
Selam menunggu revisi UU ITE, masyarakat juga mendorong pemerintah untuk mengambil langkah nyata untuk menjamin hak kebebasan berekspresi. Pemerintah diharapkan dapat memberikan amnesti atau pembebasan tanpa syarat kepada mereka yang divonis melanggar UU ITE. Pemerintah juga diminta untuk menghentikan kasus (SP3) kasus UU ITE yang masih berstatus penyelidikan dan penyidikan, terutama yang tidak sesuai dengan pedoman Surat Keputusan Bersama (SKB) Pedoman Implementasi Penanganan UU ITE. Adapun, kasus yang di kejaksaan yang akan dilimpahkan ke pengadilan juga diminta untuk dihentikan penuntutannya (SKP2).
Berdasarkan catatan dari Paguyuban Korban UU ITE (Paku ITE), hingga Oktober 2021, ada 23 kasus yang terindikasi bertentangan dengan SKB Pedoman Implementasi UU ITE tetapi masih tetap diproses. Sebanyak 18 kasus masih di tahap penyelidikan dan penyidikan. Adapun, lima sisanya sudah masuk ke persidangan.
Adapun berdasarkan data Safenet, pemidanaan terkait pasal karet UU ITE terus meningkat selama empat tahun terakhir. Safenet mengolah data dari laporan Direktorat Tindak Pidana Siber Polri. Kasus pencemaran nama baik meningkat paling banyak sejak empat tahun terakhir. Pada tahun 2017, hanya ada 679 kasus; tahun 2018 sebanyak 1.258 kasus; tahun 2019 sebanyak 1.333 kasus; dan tahun 2020 sebanyak 1.794 kasus.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar pada hari Rabu (13/10/2021) mengatakan, DPR belum menerima surat presiden (surpres) dan draf RUU ITE. Oleh karena itu, belum ada pembahasan yang dapat dimulai di DPR. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ibnu Multazam mengatakan, pembahasan belum dimulai karena DPR masih reses. Jika sudah ada surpres, barulah surpres itu dibahas di Badan Musyawarah DPR. Baleg juga tidak akan banyak terlibat dalam pembahasan karena masih menunggu alat kelengkapan mana yang akan ditunjuk oleh Bamus untuk membahas RUU ITE bersama pemerintah.
”Setelah reses, baru dibahas. Itu pun dibahas langsung di Badan Musyawarah untuk menentukan alat kelengkapan dewan mana yang membahas RUU itu. Sebab, itu inisiatif pemerintah,” ujarnya. (Kompas, 14/10/2021).