Kapolri memerintahkan jajarannya merumuskan panduan penyelesaian kasus terkait UU No 19/2016 tentang ITE. Namun, UU itu tetap perlu direvisi karena memuat sejumlah pasal yang mengancam kebebasan berekspresi.
JAKARTA, KOMPAS - Kepolisian Negara Republik Indonesia akan menelisik kasus-kasus terkait Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam enam tahun terakhir untuk menjadi bahan evaluasi. Jajaran kepolisian di daerah diperintahkan untuk membuat panduan penyelesaian kasus terkait UU itu guna meminimalkan multitafsir dalam tataran pelaksanaan.
Dalam panduan itu, antara lain, mereka yang merasa menjadi korban dari kasus terkait UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) harus melapor sendiri ke kepolisian. Pelaporan tak dapat diwakilkan.
Namun, hal itu dinilai belum cukup. Sejumlah elemen masyarakat tetap berharap adanya revisi atas sejumlah pasal ”karet” di dalam UU ITE karena bisa mengancam kebebasan berekspresi. Pasal tersebut, antara lain, terkait pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan, Kamis (18/2/2021), mengatakan, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo telah memerintahkan jajaran kepolisian daerah dan kepolisian resor untuk membuat pedoman saat menerima serta meneliti laporan atau aduan terkait UU ITE.
Pedoman itu, antara lain, terkait pihak yang melapor. ”Jadi, yang melapor harus korbannya, jangan diwakilkan. Semisal korbannya adalah B, pelapornya adalah B, bukan A,” kata Ahmad.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta Polri selektif menyikapi laporan pelanggaran UU No 19/2016 tentang ITE. Jika UU ITE tak bisa memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, Presiden membuka peluang revisi UU ITE, terutama untuk menghapus pasal-pasal ”karet” multitafsir (Kompas, 16/2).
Ahmad juga menuturkan, Kapolri menginstruksikan jajarannya memberikan perhatian terhadap kasus-kasus terkait UU ITE selama enam tahun terakhir yang menjadi pembahasan masyarakat sebagai bahan evaluasi.
Saiful Mahdi, pengajar Universitas Syiah Kuala, Aceh, yang tengah menghadapi proses hukum terkait UU ITE berharap pemerintah dan DPR merevisi UU ITE dengan menghilangkan semua pasal karet serta pemidanaan berbasis pencemaran nama baik. Dia berharap hal itu diatur secara perdata. ”Kalau tidak, ini bisa mematikan kritik dan demokrasi,” kata Saiful.
Ia tengah mengajukan kasasi atas kasus pencemaran nama baik yang dihadapinya. Tahun 2019, dia dilaporkan oleh pimpinan Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala karena mengunggah kritik di grup Whatsapp terkait perekrutan pegawai negeri sipil di fakultas tersebut.
”Saya tidak menyangka unggahan di grup Whatsapp terbatas bisa jadi masalah besar dan melelahkan,” kata Saiful.
Sebelumnya, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat, ada 375 kasus yang menjerat warganet terkait UU ITE sejak 2008 hingga awal 2021. Adapun UU ITE diundangkan tahun 2008 dan pernah direvisi tahun 2016. Laporan SAFEnet menyimpulkan, jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak terjerat pasal-pasal karet di UU ITE.
Ketua Paguyuban Korban UU ITE Muhammad Arsyad mengingatkan, UU ITE bisa menyasar siapa saja. Masyarakat bisa saling melaporkan ke polisi dengan UU ini karena merasa tersakiti secara personal. Terkait hal itu, ia meminta UU tersebut segera direvisi dengan mencabut pasal-pasal karet yang ada di dalamnya.
”Pencemaran (nama baik), ujaran kebencian, dan pornografi aturannya lebih jelas di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Jazilul Fawaid, mengatakan, fraksinya mendukung revisi UU ITE. Dia bahkan mengusulkan UU ITE dirombak total, yakni dengan memisahkan soal transaksi elektronik dengan informasi elektronik. Sebab, itu dua hal yang berbeda.
”Apalagi menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik, itu menjadi sangat multitafsir,” ujarnya.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI-P, Effendi Simbolon, mengingatkan, revisi UU ITE harus dilihat komprehensif. Sebab, UU itu tetap dibutuhkan untuk mengatur ruang digital dan informasi elektronik yang lebih sehat. Tudingan adanya pasal-pasal karet harus dirinci dan dibuktikan. Ketika ada kajian merevisi UU ITE, hendaknya bukan justru melemahkan upaya membangun ruang digital yang sehat.
Sementara itu, Staf Ahli Menkominfo yang juga ketua panitia kerja (panja) pemerintah dalam revisi UU ITE tahun 2016, Henri Subiakto, mengatakan, persoalan UU ITE ada pada tataran implementasi atau tafsir, bukan pada norma UU.
”Dalam beberapa kali putusan Mahkamah Konstitusi, pasal-pasal yang dinilai karet itu dinyatakan konstitusional. Oleh karena itu, pedoman yang dibuat penegak hukum menjadi sesuatu yang penting. Kalaupun ada perubahan terhadap UU ITE, harus diberi batasan, yakni pada poin-poin yang membuka tafsir terlalu luas, misalnya soal penghinaan,” tuturnya.
Henri mengatakan, revisi yang paling mungkin dilakukan ialah dengan menghilangkan frasa ”penghinaan” dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE karena frasa ”penghinaan” itu konsep yang luas dan kerap diasosiasikan dengan perasaan.