Tes wawasan kebangsaan yang menjadi dasar pemberhentian 57 pegawai KPK kini dipertanyakan. Sebab, dengan tangan terbuka Kapolri malah ingin merekrut mereka.
Oleh
IQBAL BASYARI
·6 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Poster yang dibawa mahasiswa saat berunjuk rasa di sekitar Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (27/9/2021). Salah satu tuntutan aksi mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM Seluruh Indonesia dan Gerakan Selamatkan KPK ini adalah pembatalan pemecatan 56 pegawai KPK pada 30 September mendatang.
Lima bulan setelah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri mengumumkan hasil tes wawasan kebangsaan dalam rangka alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara, awal Mei lalu, polemik yang berkembang tak kunjung tuntas. Rekomendasi, penolakan, dan bahkan tawaran rekrutmen dari institusi lain menghiasi perjuangan para pegawai KPK yang diberhentikan karena tak lolos tes tersebut.
Saat hasil tes wawasan kebangsaan (TWK) diumumkan, ada 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat TWK. Hingga Kamis (30/9/2021), akhirnya 57 pegawai KPK yang tak memenuhi syarat itu di antaranya resmi diberhentikan, salah satu alasannya karena sudah tidak bisa lagi dibina.
Sejak hasil tes diumumkan, para pegawai KPK ini telah memperjuangkan haknya agar tetap bisa berkiprah di KPK, dengan mengadukan pelaksanaan TWK ke Ombudsman RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka juga melakukan gugatan uji materi Undang-Undang tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi dan uji materi Peraturan Komisi terkait TWK.
Namun, rekomendasi dari ORI yang menyatakan ada malaadministrasi dan Komnas HAM yang menemukan pelanggaran HAM dalam proses TWK itu tidak dilaksanakan pimpinan KPK. Presiden Joko Widodo sebagai pejabat tertinggi kepegawaian pun belum memberikan respons. Padahal, Presiden sendiri pernah meminta agar TWK tidak dijadikan dasar untuk memberhentikan pegawai KPK.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono aksi bersama pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipecat di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (30/9/2021).
Beberapa hari menjelang 57 pegawai KPK resmi diberhentikan, Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo justru menawarkan para pegawai KPK yang diberhentikan itu direkrut menjadi aparatur sipil negara (ASN) Kepolisian. Gagasan Kapolri ini bahkan sudah disetujui oleh Presiden. Tawaran dari kapolri ini ibarat menjadi persimpangan jalan bagi 57 mantan pegawai KPK yang masih menunggu kepastian di tengah harapan kepada Presiden untuk menindaklanjuti rekomendasi ORI dan Komnas HAM.
”Kami belum memutuskan sama sekali apakah akan mengambil gagasan ini atau tidak,” kata mantan pegawai KPK Rasamala Aritonang dalam Satu Meja The Forum bertajuk ”Polri Rekrut Eks KPK, Masalah atau Solusi?” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (6/10/2021) malam.
Dalam diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu, hadir pula secara daring Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional Benny Mamoto, mantan Juru Bicara KPK yang kini menjadi anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Johan Budi, serta pengajar pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti.
Sebanyak 56 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melambaikan tangan pamitan di Gedung C1 KPK, Jakarta, Kamis (30/9/2021).
Tiga kriteria
Rasamala mengatakan, 57 mantan pegawai KPK menghargai gagasan dari Kapolri yang ditawarkan di tengah kebuntuan dalam persoalan TWK yang meraka hadapi. Namun mereka belum mengambil sikap karena masih ingin menunggu kejelasan konsep, rencana, dan dasar hukum rekrutmen pegawai yang sebagian sudah dilabeli merah dan tidak bisa lagi dibina oleh KPK.
Meskipun telah melakukan pertemuan awal dengan perwakilan kepolisian, lanjut ia, 57 mantan pegawai KPK masih harus meminta beberapa masukan dan pendapat dari beberapa ahli yang relevan dengan tawaran kapolri itu. Sebab ada isu soal kepegawaian dan status yang mesti didalami lebih jauh agar konsepnya yang ditawarkan itu matang sehingga mereka bisa lebih jelas melihat situasi untuk mengambil keputusan mana yang akan dipilih.
Rasamala mengatakan, 57 mantan pegawai KPK menghargai gagasan dari Kapolri yang ditawarkan di tengah kebuntuan dalam persoalan TWK yang meraka hadapi.
Menurut dia, ada tiga kriteria yang mestinya masuk dalam pertimbangan-pertimbangan ketika pemerintah menyusun langkah-langkah penyelesaian terkait alih status pegawai KPK. Pertama, semua gagasan yang masuk dalam kerangka penyelesaian TWK harus berkorelasi dengan rekomendasi ORI dan Komnas HAM. Sebab dua rekomendasi kepada Presiden itu masih menjadi pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan.
Kedua, gagasan untuk memperbaiki alih status 57 mantan pegawai KPK harusnya tetap sejalan dengan visi dan misi pemberantasan korupsi. Ketiga, gagasan apapun yang diupayakan dalam alih status ini harus ditujukan untuk merehabilitasi nama baik 57 pegawai KPK dan memulihkan hak-hak pegawai KPK yang sudah dirampas.
”Dan apakah tiga kriteria tadi diakomodasi dalam konsep teknisnya? Kalau iya, tentu bisa diambil. Kalau tidak, tentu teman-teman sebagai pemegang hak juga punya pilihan yang lain. Saya pikir itu harus didudukkan secara proporsional,” ucap Rasamala.
Poster yang dibawa mahasiswa saat berunjuk rasa di sekitar Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (27/9/2021). Salah satu tuntutan aksi mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM Seluruh Indonesia dan Gerakan Selamatkan KPK ini adalah pembatalan pemecatan 57 pegawai KPK pada 30 September mendatang.
Menurut Benny, instansi yang paling dekat dengan kompetensi 57 mantan pegawai KPK itu adalah penegak hukum. Apalagi sebagian memiliki kemampuan sebagai penyidik yang telah lama bekerja di KPK. Nantinya, Polri akan melihat latar belakang dan kompetensi yang dimiliki oleh para pegawai agar diarahkan ke bidang yang relevan dengan kompetensi yang dimiliki.
Ia menilai gagasan Kapolri untuk merekrut mantan pegawai KPK merupakan jalan keluar untuk mengatasi kebuntuan. Tawaran ini menjadi solusi dari masalah yang dialami 57 mantan pegawai KPK yang hingga kini menunggu dengan ketidakpastian.
Langkah Kapolri ini, lanjut ia, merupakan hal yang serius untuk memberikan solusi bagi 57 mantan pegawai KPK. Namun ia mengingatkan agar rekrutmen nantinya tidak menabrak undang-undang dan peraturan yang berlaku. “Kami sebagai Kompolnas selaku pengawas eksternal tentunya mengawal ini agar jangan sampai itu terjadi,” ucap Benny.
Poster yang dibawa mahasiswa saat berunjuk rasa di sekitar Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (27/9/2021). Salah satu tuntutan aksi mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM Seluruh Indonesia dan Gerakan Selamatkan KPK ini adalah pembatalan pemecatan 57 pegawai KPK pada 30 September mendatang.
Johan mengatakan, tawaran dari Kapolri menjadi jalan tengah untuk mengatasi kebuntuan antara pimpinan KPK dengan 57 mantan pegawai KPK. Namun publik perlu mencermati sejauh mana proses yang dilakukan agar tetap sesuai prosedur. Para pegawai KPK pun berhak memilih akan menerima tawaran itu atau tidak.
Menurut Johan, tawaran dari Kapolri kepada 57 mantan pegawai KPK merupakan sikap Presiden. Sebab dalam prosesnya, Kapolri telah berkoordinasi dengan Istana dan Presiden menyetujui langkah tersebut. Seandainya Presiden tidak setuju, ia yakin Kapolri tidak berani memberikan tawaran itu.
”Saya kira apa yang disampaikan Kapolri itu adalah sikap Presiden. Saya yakin 100 persen kalau Pak Jokowi tidak setuju, Kapolri tidak akan berani. Kapolri itu bawahannya Presiden,” ucap Johan.
Menurut Johan, tawaran dari Kapolri kepada 57 mantan pegawai KPK merupakan sikap Presiden. Sebab dalam prosesnya, Kapolri telah berkoordinasi dengan Istana dan Presiden menyetujui langkah tersebut.
Gimik politik
Bivitri menilai tawaran dari Kapolri kepada 57 mantan pegawai KPK hanya gimik politik. Dalam posisi belum adanya konsep yang jelas, gagasan itu justru sudah dilontarkan Kapolri sehingga menimbulkan kebingunan soal tata kelolanya. Oleh sebab itu, 57 mantan pegawai KPK mesti berpegang teguh pada tiga kriteria yang dijaga bersama.
Gagasan Kapolri itu, lanjutnya, justru menimbulkan pertanyaan besar. Ketika TWK dianggap sebagai sesuatu yang besar bagi KPK, kepolisian justru dengan tangan terbuka mau menerima 57 orang yang tidak lolos tes tersebut.
”Jadi pertanyaan besarnya TWK itu apa? Di satu sisi ada kebingunan tata kelola, tetapi di sisi lain makin terang bahwa TWK itu tidak berarti apa-apa karena bisa dengan mudah diombang-ambingkan dengan keputusan politik semacam ini,” tuturnya.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Sejumlah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diberhentikan dan sejumlah aktivis menunjukkan surat yang akan dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo dalam aksi di depan Gedung C1 KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (15/9/2021).
Terlepas dari pilihan para pegawai mau menerima atau tidak tawaran ini, mestinya Presiden sebagai kepala pemerintahan yang menyampaikan tawaran itu. Presiden tidak hanya kepala seluruh ASN, tetapi juga yang menerima rekomendasi dari lembaga, seperti ORI dan Komnas HAM, yang bertugas memberikan rekomendasi kepada Presiden.
Apalagi, Presiden memiliki waktu empat bulan untuk menindaklanjuti rekomendasi ORI dan Komnas HAM. Ini menujukkan bahwa komitmen Presiden terhadap pemberantasan korupsi patut dipertanyakan.
”Saya kira apa yang terjadi sekarang seperti menggeser permasalahan dari soal pelemahan pemberantasan korupsi ke soal TWK dan kepegawaiannya,” ujar Bivitri.