Kepatuhan KPK-BKN Laksanakan Tindakan Korektif Bisa Tumbuhkan Kepercayaan Publik
Respons pimpinan KPK dan BKN terhadap temuan ORI terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan dinanti. Presiden Joko Widodo perlu memberikan pesan politik untuk mendorong kedua lembaga itu melakukan tindakan korektif.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Kepegawaian Negara diharapkan melaksanakan tindakan korektif yang direkomendasikan oleh Ombudsman Republik Indonesia. Kepatuhan kedua lembaga itu menjadi contoh budaya tata kelola pemerintahan yang baik dan dapat berujung pada peningkatan kepercayaan publik.
Seperti diungkapkan anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, perlu ada kebesaran jiwa kelembagaan dari KPK dan BKN melaksanakan rekomendasi ORI. Salah satunya melakukan langkah korektif atas proses dan pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK).
”Toh, sebelumnya mereka juga pernah melakukan langkah korektif parsial ketika mengubah dari 75 pegawai yang TMS (tak memenuhi syarat) menjadi 24 pegawai dinilai masih bisa dibina dan diberi kesempatan untuk terus menjadi ASN KPK,” ujarnya di Jakarta, Jumat (23/7/2021).
Sebelumnya, ORI telah memberikan laporan hasil akhir pemeriksaan proses alih status 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan. Berkenaan dengan hal itu, ORI menyampaikan sejumlah tindakan korektif yang mesti dilakukan KPK dan BKN.
Pimpinan dan Sekretaris Jenderal KPK diminta memberikan penjelasan kepada pegawai KPK perihal konsekuensi pelaksanaan asesmen TWK dan hasilnya dalam bentuk informasi atau dokumen sah. Hasil asesmen TWK hendaknya menjadi bahan masukan untuk langkah-langkah perbaikan, baik terhadap individu maupun institusi KPK dan tidak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS).
Pimpinan KPK juga diminta memberikan kesempatan kepada 75 pegawai KPK yang tak memenuhi syarat untuk memperbaiki wawasan kebangsaan melalui pendidikan kedinasan. Status 75 pegawai KPK itu pun diminta untuk dialihkan menjadi aparatur sipil negara (ASN) sebelum 30 Oktober 2021.
Adapun Kepala BKN diminta untuk menelaah aturan dan menyusun peta jalan berupa mekanisme, instrumen, dan penyiapan asesor terhadap pengalihan status pegawai menjadi pegawai ASN.
ORI juga memberikan saran kepada Presiden Joko Widodo untuk mengambil alih kewenangan yang didelegasikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) KPK terkait dengan pengalihan status 75 pegawai KPK menjadi pegawai ASN. Presiden juga perlu melakukan pembinaan terhadap Ketua KPK, Kepala BKN, Kepala LAN, Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri PAN-RB demi perbaikan kebijakan dan administrasi kepegawaian yang berorientasi pada asas-asas tata kelola pemerintahan yang baik.
Tak hanya itu, Presiden juga perlu mengawasi pelaksanaan tindakan korektif yang disampaikan ORI kepada BKN untuk menyusun peta jalan manajemen kepegawaian, khususnya ihwal mekanisme, instrumen, dan penyiapan asesor terkait pengalihan status pegawai menjadi pegawai ASN di masa depan. Dalam rangka mewujudkan tata kelola SDM aparatur unggul, Presiden perlu memastikan bahwa pelaksanaan TWK dalam setiap proses manajemen ASN dilaksanakan sesuai dengan standar yang berlaku.
Pelaksanaan tindakan korektif tersebut, lanjut Arsul, akan menjadi contoh budaya yang baik dalam tata kelola pemerintahan. Langkah itu juga dapat meningkatkan kepercayaan publik kepada KPK dan BKN.
Namun, sebaliknya, jika KPK dan BKN tidak mau menjalankan tindakan koreksi, akan melengkapi persepsi publik bahwa fungsi-fungsi eksekutif berjalan semaunya sendiri. Jika hal itu yang terjadi, bisa diartikan lembaga-lembaga yang berada di rumpun kekuasaaan eksekutif tersebut ingin terus memberi beban kepada Presiden.
Terkait dengan potensi pelanggaran pidana yang menjadi temuan ORI, Arsul berpandangan, sebaiknya publik tetap fokus pada KPK dan BKN agar bisa terbuka dalam melakukan tindakan korektif. ”Tidak usah kita melebarkan persoalan ke hal-hal lain yang akan menimbulkan kegaduhan baru,” ucapnya.
Dalam temuan ORI, setidaknya terdapat dua tindakan dalam pelaksanaan TWK pegawai KPK yang berpotensi kuat mengarah ke pelanggaran pidana. Pertama, kontrak swakelola terkait TWK yang dibuat tanggal mundur. Kedua, berita acara hasil rapat harmonisasi pada 26 Januari 2021 ditandatangani oleh para pejabat yang justru tidak hadir.
Namun, menurut anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mardani Ali Sera, jika ada pihak yang melaporkan temuan itu kepada aparat penegak hukum, itu mesti ditindaklanjuti. Penegak hukum wajib menindaklanjuti laporan dengan transparan dan akuntabel, siapa pun pelapornya.
Menanti sikap Presiden
Presiden Jokowi tidak boleh lepas tangan. Tidak harus mengambil tindakan, tetapi memberikan pesan politik karena ini menjadi bagian dari sikap kenegarawanan Presiden.
Senada dengan Arsul, Mardani berharap KPK dan BKN menindaklanjuti temuan dari ORI. Jika keberatan melakukan tindakan korektif, bisa disampaikan kepada ORI. ”Ini tidak hanya soal 75 pegawai KPK, tetapi sebuah kebijakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kesamaan di dalam hukum,” katanya.
Lebih lanjut Mardani mengatakan, Presiden Jokowi perlu menyampaikan pesan politik agar kedua lembaga itu segera melakukan tindakan korektif. Presiden sebaiknya memberikan tanggapan atas temuan ORI sebagai bentuk political will dalam mendukung proses yang dilakukan ORI.
”Presiden Jokowi tidak boleh lepas tangan. Tidak harus mengambil tindakan, tetapi memberikan pesan politik karena ini menjadi bagian dari sikap kenegarawanan Presiden,” kata Mardani.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Johan Budi Sapto Pribowo, mengatakan, publik menunggu sikap Presiden Joko Widodo atas saran perbaikan yang disampaikan ORI. Sebab, lembaga-lembaga yang perlu melakukan tindakan korektif merupakan lembaga di bawah Presiden. ”Sejak awal saya tidak setuju kalau pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN mengakibatkan pemecatan,” katanya.