Ombudsman Republik Indonesia akan merilis hasil pemeriksaan dugaan malaadministrasi dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan yang dijadikan salah satu syarat pengalihan status pegawai KPK. KPK menyatakan taat hukum.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman Republik Indonesia akan merilis hasil pemeriksaan dugaan malaadministrasi dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan yang dijadikan salah satu syarat pengalihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi aparatur sipil negara pada Rabu (21/7/2021).
Dugaan malaadministrasi dinilai kuat sehingga Ombudsman seharusnya merekomendasikan pembatalan hasil tes dan lembaga-lembaga terkait harus mematuhinya.
Sebelumnya, pada 19 Mei 2021, kelima pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) dilaporkan atas dugaan malaadministrasi dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK). Laporan tersebut diajukan 75 pegawai KPK yang tak memenuhi syarat dalam tes tersebut.
Selama sebulan penuh, Ombudsman RI (ORI) telah mendalami laporan dugaan malaadministrasi itu. Banyak pihak telah diperiksa agar ORI mendapatkan konstruksi peristiwa yang utuh, mulai dari penyusunan dasar hukum, kemunculan TWK pertama kali, proses seleksi TWK, proses hasil TWK ditetapkan, sampai tindakan instansi-instansi terkait setelah pernyataan dari Presiden mengenai TWK. Adapun Presiden pernah meminta agar tes tak dijadikan dasar pemberhentian pegawai.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (20/7/2021), mengatakan, ORI sudah menyelesaikan pemeriksaan atas dugaan malaadministrasi dalam pelaksanaan tes tersebut. Dokumen hasil pemeriksaan atau biasa disebut laporan hasil pemeriksaan (LHP) pun sudah dikirimkan kepada para pihak, pelapor, terlapor, dan Presiden.
Kami kirim (LHP) kepada Presiden karena KPK secara kelembagaan adalah bagian dari rumpun eksekutif, dan dari sisi manajemen kepegawaian, presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi. (Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng)
”Kami kirim (LHP) kepada Presiden karena KPK secara kelembagaan adalah bagian dari rumpun eksekutif, dan dari sisi manajemen kepegawaian, presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi. Kewenangan yang dimiliki oleh berbagai kementerian, lembaga, pemerintah daerah merupakan hasil delegasi kewenangan Presiden,” ujar Robert.
Setelah LHP diterima, para terlapor memiliki waktu 30 hari untuk melakukan tindakan korektif. Ini berdasarkan Peraturan Ombudsman Nomor 48 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Laporan.
Kemudian, apabila setelah 30 hari tidak ada koreksi yang dilakukan oleh para terlapor, ORI akan mengeluarkan rekomendasi yang wajib dijalankan dalam jangka waktu 60 hari.
Robert mengungkapkan, idealnya, lembaga-lembaga terlapor langsung menjalankan tindakan korektif yang disampaikan ORI. Namun, jika tindakan korektif itu tak kunjung dilaksanakan, Presiden dapat mengambil keputusan dengan mendasarkan pada LHP ORI.
”Kami tentu berharap tidak sampai di Presiden, tetapi lembaga-lembaga yang menjadi terlapor itu menjalankan tindakan korektif yang sudah kami sampaikan,” ucap Robert.
Taat hukum
Dihubungi secara terpisah, mantan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antarkomisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Sujanarko berharap ORI bisa memberikan rekomendasi secara independen dan sesuai fakta-fakta yang disampaikan pelapor.
Apa pun hasil rekomendasi ORI, menurut Sujanarko, setiap pihak wajib mematuhinya. Jika tidak patuh, hal itu akan menjadi preseden buruk bagi lembaga tersebut.
”Khusus KPK, rekomendasi Ombudsman bukan kali pertama. Saat rekomendasi Ombudsman (pada) tahun-tahun lalu, KPK selalu patuh pada Ombudsman sebagai lembaga negara,” tutur Sujanarko.
Dihubungi secara terpisah, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyampaikan, KPK sebagai lembaga penegak hukum akan menghormati apa pun rekomendasi ORI. ”Kami taat kepada hukum,” ujarnya.
Berkaitan dengan peralihan status pegawai KPK menjadi ASN, Ghufron menegaskan, pihaknya telah melakukan sejumlah hal.
Pertama, pembuatan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN, sebagai regulasi teknis dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, serta Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN, telah memenuhi prinsip administrasi pemerintahan yang baik dan sesuai hukum.
Selanjutnya, pelaksanaan alih status pegawai KPK juga dilaksanakan sesuai wewenang KPK. Prosesnya pun, diklaim Ghufron, telah sesuai prosedur hukum serta asas-asas pemerintahan yang baik.
”Semua dilaksanakan secara terbuka, transparan, bahkan semua pihak bisa melihat dan mengomentari. Tidak ada proses kepegawaian seterbuka dan partisipatif seperti KPK. Melibatkan banyak lembaga negara yang kompeten di bidang manajemen ASN,” ucap Ghufron.
KPK meyakini Ombudsman akan mengamini kebenaran, ketaatan hukum, serta tidak adanya pelanggaran administrasi dalam proses alih status pegawai-pegawai KPK ini.
Membatalkan TWK
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Yuris Rezha Kurniawan, mengatakan, seharusnya bukti-bukti yang telah dilaporkan kepada ORI telah mengarah pada dugaan malaadministrasi.
Jika melihat proses peraturan internal KPK, misalnya, penyusunan Peraturan KPK No 1/2021 cacat hukum. Sebab, di UU KPK, serta PP No 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN, jelas dinyatakan bahwa peralihan pegawai bukan melalui seleksi.
Dengan melihat bukti-bukti itu, kuat dugaan kami, Ombudsman melihat adanya malaadministrasi dalam pelaksanaan TWK. (Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yuris Rezha Kurniawan)
”Namun, yang terjadi dalam Peraturan KPK itu, kan, ada tes ulang yang salah satunya TWK. Ini dugaan kuat malaadministrasi,” ujar Yuris.
Penyimpangan prosedur, menurut Yuris, juga terjadi. Seharusnya, dalam penyusunan regulasi, hal itu didasarkan pada alasan yuridis, filosofis, dan sosiologis. Proses tersebut juga seharusnya dipublikasikan. Namun, yang terjadi, pegawai KPK sendiri secara tiba-tiba mengetahui ada pasal yang disisipkan mengenai TWK.
Selain itu, pernyataan Presiden juga seharusnya sudah jelas bahwa peralihan pegawai tidak boleh sampai merugikan hak pegawai. Secara politik hukum, pernyataan Presiden tersebut harus dimaknai sebagai sebuah kebijakan dan seharusnya dipatuhi oleh KPK yang merupakan bagian dari rumpun eksekutif.
”Dengan melihat bukti-bukti itu, kuat dugaan kami, Ombudsman melihat adanya malaadministrasi dalam pelaksanaan TWK. Akibat hukumnya adalah pembatalan hasil TWK. Artinya, proses tes yang sejak awal itu dianggap tidak ada,” katanya.