Baleg Sepakati Revisi UU ITE Masuk Prolegnas Prioritas 2021
DPR bersama pemerintah akan segera membahas perubahan pasal-pasal karet dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE. Rapat Baleg DPR telah menyepakati revisi UU ITE masuk dalam Prolegnas 2021.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui masuknya rancangan undang-undang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. Pemerintah berharap dengan sisa waktu yang tersedia hingga akhir 2021, RUU tersebut dapat disahkan oleh DPR.
Dalam rapat evaluasi Prolegnas Prioritas 2021 di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (15/9/2021), selain RUU ITE, Baleg DPR juga menyetujui dua RUU lain untuk masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021. Kedua rancangan regulasi itu adalah RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan RUU Pemasyarakatan yang merupakan RUU carry over atau luncuran dari DPR periode sebelumnya.
Pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly awalnya mengusulkan lima RUU masuk dalam Prolegnas Prioritas tahunan. Dua RUU lain yang diusulkan oleh pemerintah ialah RUU Perampasan Aset dan RUU Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, untuk RUU BPK, pemerintah mendorong agar RUU itu menjadi usul inisiatif DPR.
Untuk menentukan apakah lima usulan pemerintah itu dapat diterima oleh Baleg, rapat harus diskors selama 25 menit. Selama itu, pimpinan Baleg melakukan rapat setengah kamar dengan pemerintah dan para ketua kelompok fraksi (kapoksi). Hasilnya, hanya tiga RUU usulan pemerintah yang diterima masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021. Selain itu, RUU BPK juga disetujui untuk menjadi inisiatif DPR. Namun, satu RUU usulan pemerintah, yaitu RUU Perampasan Aset, tidak disetujui masuk dalam Prolegnas Prioritas tahunan, tetapi tetap masuk dalam daftar Prolegnas 2020-2024.
Ketua Baleg Supratman Andi Agtas mengatakan, keputusan itu diambil dengan menghitung sisa waktu dalam penyelesaian RUU pada 2021. Praktis, kini DPR memiliki waktu tiga bulan saja untuk menuntaskan RUU Prolegnas Proritas. Perhitungan masa pembahasan RUU itu juga mesti menimbang masa reses yang akan dimulai pada 8 Oktober hingga 29 Oktober 2021.
”Kita sudah membahas soal waktu yang sangat singkat untuk menyelesaikan tugas-tugas kita ini karena hanya tinggal beberapa bulan. Karena itu, saya sampaikan kepada pimpinan dan anggota Baleg, pertama, kami sepakati bersama pemerintah terkait tiga RUU usulan baru, yakni RUU KUHP dengan status carry over, RUU Pemasyarakatan dengan status carry over, dan RUU Perubahan UU ITE, untuk masuk sebagai usulan baru Prolegnas Prioritas 2021,” ujarnya.
Keputusan lain dari rapat lobi ialah DPR mengusulkan tentang RUU BPK dan masuknya tujuh RUU perubahan dasar hukum pembentukan provinsi baru sebagai RUU kumulatif terbuka.
Yasonna mengatakan, pemerintah menerima keputusan rapat Baleg tersebut. Ia berharap RUU yang belum masuk dalam Prolegnas Prioritas dapat dipertimbangkan untuk masuk pada tahun selanjutnya. ”Memang waktu efektif sebelum masa reses ini ada beberapa waktu saja. Kita optimistis ini dapat diselesaikan. Kalau yang belum masuk Prolegnas semoga dipertimbangkan selanjutnya,” katanya.
Memperjelas perbuatan pidana
Terkait dengan RUU ITE, Yasonna mengatakan, terdapat persoalan dalam implementasi, khususnya tentang ketentuan pidana yang berpotensi multitafsir. Oleh karena itu, pemerintah menilai perlu dilakukan perubahan kedua terhadap UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Tujuan perubahan itu ialah memeperjelas kembali perbuatan-perbatan yang dilarang menggunakan sarana elektronik dan menyesuaikan kembali perbuatan-perbuatan itu dengan KUHP. Selain itu, revisi UU ITE juga akan mengatur ketentuan pidana bagi setiap orang yang menyebarluaskan informasi atau pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat secara elektronik.
Adapun terkait RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan yang merupakan RUU luncuran, Yasonna mengatakan, sebagian besar materi krusial sudah dibahas sehingga tak memerlukan waktu lama untuk pembahasan. RUU KUHP sudah tuntas dibahas di tingkat pertama dan dikonsultasikan kembali kepada publik. Upaya sosialisasi disebut Yasonna telah dilakukan oleh pemerintah bersama dengan DPR ke beberapa daerah, kampus, atau perguruan tinggi. ”Dari informasi yang kami peroleh dari tim yang dipimpin oleh Wamen (Wakil Menkumham), dan sebelumnya juga Dirjen PP (Peraturan Perundang-undangan), kami melihat pemahaman yang semakin dimengerti oleh masyarakat,” katanya.
Untuk RUU Pemasyarakatan, Yasonna mengatakan, revisi UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan diperlukan sebagai upaya menguatkan konsep reintegrasi dan keadilan restoratif dalam hukum pidana. Semangat keadilan restoratif juga dikuatkan dalam konsep RUU KUHP. ”Jadi, supaya tidak jomplang dengan yang diamanatkan di dalam RUU KUHP, kami menyiapkan RUU Pemasyarakatan,” ucapnya.
Dalam rapat juga sempat ada pertanyaan mengenai RUU Narkotika. Terkait hal ini, ia menyampaikan, pihaknya telah membicarakan persoalan ini dengan Menko Polhukam. ”Saya sependapat UU Narkotika ini harus kita ubah. Pemerintah terus mengupayakan itu. Ini mutlak perlu diselesaikan. Kalau tidak, kita tidak akan mampu menyelesaikan persoalan lapas,” ujarnya.
Kebebasan berpendapat
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Agil Oktaryal mengatakan, dalam revisi UU ITE, pemerintah dan DPR harus fokus pada perlindungan kebebasan berpendapat, terutama dalam penyampaian kritik. Selama ini, UU ITE dinilai banyak digunakan pula untuk membungkam kritik-kritik yang disampaikan masyarakat sipil. Kondisi ini dipandang memperburuk demokratisasi di Tanah Air.
”Kalau UU ITE direvisi, perlu juga diperhatikan agar arahnya tidak memidanakan kritikus kepada pemerintah. RUU ITE harus menjelaskan definsi kritik terhadap individu dan kritik terhadap kebijakan secara jelas. Kalau misalnya kritik ditujukan terhadap kebijakan atau keputusan pemerintah, seharusnya tidak dapat dikenai pidana. Kecuali jika itu merupakan hinaan personal, maka tidak perlu UU ITE yang digunakan, karena itu pun diatur di dalam KUHP,” ujarnya.
Agil mengatakan, revisi UU ITE harus pula menyediakan ruang klarifikasi dan tidak serta-merta ketika ada data yang dinilai tidak sesuai atau tidak valid di ruang publik, pihak yang mengkritik itu dikriminalisasi. Hal ini untuk menghindari kerentanan masyarakat sipil menjadi sasaran penerapan UU ITE karena dinilai menyebarkan berita bohong atau fitnah.