Pasal Multitafsir dalam Revisi UU ITE Perlu Diperjelas
Dalam menyusun revisi UU ITE, pemerintah diharapkan fokus pada pasal pemidanaan penyebaran dan produksi berita bohong yang dampaknya dapat menimbulkan konflik. Saat ini banyak konten di internet yang posisinya abu-abu.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan fokus pada pasal-pasal yang menimbulkan multitafsir dan konflik di tengah masyarakat dalam menyusun revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Dari usulan rumusan revisi yang telah disusun pemerintah dinilai masih berpotensi adanya pasal karet.
Chairman Lembaga Riset Siber Indonesia Communication and Information System Security Research Center (CISSRec) Pratama Persada, Minggu (13/6/2021), berpandangan, pemerintah sebaiknya fokus pada pasal yang menyangkut pemidanaan pada penyebaran dan produksi berita bohong yang dampaknya dapat menimbulkan konflik. Sebab, saat ini banyak terdapat konten di internet yang posisinya abu-abu atau tidak jelas dapat dipidana atau tidak.
Pemerintah sebaiknya fokus pada pasal yang menyangkut pemidanaan pada penyebaran dan produksi berita bohong yang dampaknya dapat menimbulkan konflik. (Pratama Persada)
”Misalnya, konten berupa meme, grafis, dan video untuk tujuan bercanda, baik itu tampil sebagai kritik maupun sekadar komedi digital. Sindiran atau satire ini apabila ditarik sebagai berita hoaks juga bisa karena sindiran tersebut bukan fakta. Karena itu harus dilindungi, jangan sampai masuk dalam kategori yang bisa dipidana,” kata Pratama.
Konten lain yang juga masuk ruang abu-abu adalah terkait kasus korupsi. Dalam skala tertentu, bisa jadi konten semacam itu menimbulkan pertanyaan yang kuat di masyarakat dan menimbulkan gerakan massa. Di sisi lain, dalam kerangka demokrasi, konten semacam itu diperbolehkan dan harus dilindungi.
Oleh karena itu, lanjut Pratama, pembatasan terhadap konten berita yang disebarkan tersebut harus dalam kerangka terkait berita hoaks, berita palsu, atau berita bohong. Rumusan pasal dapat ditambahkan kata bisa yang berarti konten tersebut dapat menimbulkan konflik.
”Perdebatan di kata bisa menimbulkan atau sudah menimbulkan ini akan lebih baik daripada tidak ada pembatasan mengenai konten apa yang bisa dipidana. Jadi harus jelas konten yang dipidana adalah konten hoaks, palsu, dan konten bohong,” terang Pratama.
Secara lebih rinci, lanjut Pratama, rumusan usulan revisi UU ITE Pasal 28 Ayat (1) dapat menyasar pada konten yang sedang membicarakan produk tertentu apabila pemilik merek tertentu merasa dirugikan. Untuk itu, batasan hukumnya harus diperjelas dengan melibatkan ahli hukum.
Demikian pula pada Pasal 28 Ayat (2) dinilai masih tidak ada penjelasan mengenai konten informasi elektronik yang dimaksud, fakta atau bukan. Oleh karena itu, batasan informasi atau konten elektronik yang mengandung hoaks, informasi palsu, atau mengandung unsur kebohongan harus diperjelas.
Adapun Pasal 45C Ayat (2) mesti diperjelas rumusan mengenai maksud informasi yang berkelebihan atau yang tidak lengkap. Selama ini memang banyak konten dengan tujuan untuk memprovokasi dibuat tidak lengkap.
”Informasi yang tidak lengkap lebih mudah definisinya di depan pengadilan. Namun informasi yang tidak pasti ini memang relatif lebih karet,” ujar Pratama.
Adapun Pasal 45C Ayat (2) mesti diperjelas rumusan mengenai maksud informasi yang berkelebihan atau yang tidak lengkap.
Segera ajukan
Secara terpisah, anggota Komisi I dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta mengatakan, setelah sempat maju-mundur, kini pemerintah akhirnya berencana merevisi UU ITE. Bahkan pemerintah telah menyusun draf revisi dengan menambahkan pasal di UU ITE.
Oleh karena itu, Sukamta berharap agar pemerintah segera mengajukan revisi UU ITE ke DPR. Dengan demikian, substansi revisi UU ITE yang telah dibuat pemerintah akan dapat segera dibahas bersama DPR. Untuk sementara, Sukamta menilai, substansi revisi UU ITE tersebut masih berpotensi menjadi pasal karet.
”Setiap fraksi akan menyusun daftar inventarisasi masalah. Di situlah pembahasan, adu konsep dan gagasan revisi akan dilakukan,” ujar Sukamta.