Pemerintah Usulkan Tiga RUU untuk Perbaiki Sistem Peradilan Pidana
Kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang, Banten, tak hanya menunjukkan pentingnya perbaikan manajemen pemasyarakatan, tetapi juga penataan sistem peradilan. Payung hukum berupa regulasi perlu disiapkan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana mengusulkan tiga rancangan undang-undang yang terkait dengan sistem peradilan pidana terpadu untuk masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2022 atau jika memungkinkan akan didorong ke dalam evaluasi Prolegnas Prioritas 2021. Tiga RUU itu adalah RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Narkotika. Ketiga UU itu nantinya diharapkan dapat menjadi payung hukum pembenahan sistem peradilan pidana di Tanah Air.
Pasca-kebakaran Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang, Rabu (8/9/2021), wacana perlunya pembenahan sistem peradilan pidana terpadu kembali mengemuka, terutama karena salah satu fakta yang ditemui di dalam kebakaran itu ialah kondisi lapas yang kelebihan penghuni. Dari sistem basisdata Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM per 7 September 2021, jumlah napi penghuni di Lapas Kelas I Tangerang ada 2.072 orang. Adapun kapasitas lapas hanya 600 orang. Artinya, ada kelebihan penghuni lebih dari 1.472 orang.
Tidak hanya di Lapas Kelas I Tangerang, kondisi kelebihan penghuni (overcrowding) ini terjadi merata di semua lapas dan rumah tahanan (rutan) di Tanah Air. Persoalan ini pun telah berkali-kali disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR. Solusi atas persoalan ini memerlukan pendekatan holistik, terutama ketika menyangkut pengaturan napi kasus narkotika yang jumlahnya dominan di setiap lapas dan rutan. Dari total tahanan dan napi di seluruh Indonesia per 10 September 2021, yakni 254.907 orang, diperkirakan 60 persen di antaranya adalah tahanan atau napi kasus narkotika.
Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Benny Riyanto mengatakan, ada atau tidak kebakaran itu pemerintah memang sudah merencanakan mengusulkan tiga RUU masuk dalam prolegnas prioritas. Dua di antaranya adalah RKUHP dan RUU Pemasyarakatan yang sudah pernah dibahas di DPR periode sebelumnya. Keduanya diupayakan untuk bisa masuk dalam daftar prolegnas perubahan tahun 2021 karena merupakan RUU carry over sehingga tidak perlu membahas semua rumusan pasal.
Kemenkumham juga mendorong revisi UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika masuk dalam prolegnas. Berbeda dengan RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan, RUU Narkotika diharapkan setidaknya bisa masuk dalam Prolegnas 2022. ”Namun, kalau memang memungkinkan dan disepakati semua pihak, ketiga-tiganya didorong agar bisa masuk menjadi Prolegnas Prioritas 2021,” kata Benny, Jumat (10/9/2021), di Jakarta.
Untuk RUU KUHP, pemerintah masih melakukan sosialisasi terkait dengan 12 isu krusial yang selama ini dinilai menjadi pertanyaan publik. RUU itu pada periode sebelumnya tinggal meminta persetujuan tingkat dua di DPR untuk disahkan menjadi UU. Namun, RKUHP masih memicu pro dan kontra di tengah publik sehingga DPR dan pemerintah ketika itu menunda pengesahan RUU tersebut. Demikian halnya dengan RUU Pemasyarakatan yang ketika itu sudah tuntas dibahas dan disetujui di tingkat pertama, yakni di Komisi III DPR.
Benny mengatakan, dalam beberapa diskusi dan kajian, perlakuan terhadap pemakai narkotika dinilai menjadi muara dalam upaya pengurangan kepadatan hunian di lapas dan rutan. Sejumlah ahli juga menyarankan agar pemakai diperlakukan dengan paradigma rehabilitatif dan tidak disamakan dengan pengedar atau bandar narkotika. Pengaturan mengenai hal itu akan ada di draf RUU Narkotika.
”Soal RUU Narkotika ini mungkin agak panjang, tetapi kalau RKUHP dan RUU PAS sudah hampir final. Kami berharap usulan tiga RUU ini dapat menjadi pintu perbaikan terhadap sistem peradilan pidana terpadu kita,” ungkap mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) ini.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, mengatakan, dalam waktu dekat ini akan dilakukan evaluasi prolegnas prioritas tahunan. Sejumlah aturan di dalam tiga RUU yang rencananya diusulkan oleh pemerintah itu juga mengandung beberapa ketentuan yang diharapkan bisa membantu memberikan solusi terhadap sistem peradilan pidana terpadu di Tanah Air. Di RKUHP, misalnya, mulai dikenalkan bentuk pidana lain di luar pemenjaraan, seperti kerja sosial, denda, dan hukuman percobaan. Bentuk hukuman ini diharapkan bisa menjadi alternatif bagi hukuman badan.
Demikian halnya dengan RUU Narkotika, Taufik berharap pemerintah mulai memperhatikan pendekatan kesehatan atau rehabilitasi di samping juga pendekatan hukum. Adapun untuk RUU PAS mengedepankan soal hak-hak napi, yakni bagaimana mereka dapat mengakses remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat dengan lebih mudah sehingga menghindarkan penumpukan penghuni di dalam lapas atau rutan. ”Ketika Kemenkumham melakukan kebijakan berupa asimilasi, remisi, dan pembebasan bersyarat, mereka memiliki landasan hukum kuat yang bisa digunakan untuk mengurangi kepadatan lapas,” ucapnya.
Terkait dengan overcrowding di dalam lapas, menurut Taufik, semestinya juga bisa diatasi dengan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice), yang kini menjadi program pemerintah. Artinya, terkait penanganan persoalan kepadatan di dalam lapas ini tidak semua hal harus diserahkan tanggung jawabnya kepada Kemenkumham. ”Semua pihak harus bertanggung jawab, mulai dari kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung, Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk mengatasi kepadatan lapas ini. Semua institusi itu juga memiliki pedoman restorative justice yang harus diterapkan untuk mengatasi persoalan overcrowding,” kata anggota Komisi III ini.
Dengan pendekatan restoratif, pemenjaraan merupakan jalan keluar terakhir yang diambil oleh aparat penegak hukum. Mereka akan mengedepankan mediasi dan dialog antarpihak-pihak yang terlibat. Selain itu, lanjut Taufik, paradigma pemasyarakatan bukan lagi pemenjaraan sebagai balasan atas kesalahan seseorang atau retributif, melainkan upaya pembinaan yang bersifat rehabilitatif, restoratif, dan korektif.
”Ketika seseorang menjalani pemidanaan, negara punya tanggung jawab menyiapkan orang tersebut untuk kembali ke masyarakat setelah memperbaiki dirinya. Misalnya, dengan meningkatkan keahlian mereka agar bisa kembali terjun ke masyarakat, atau meningkatkan kualitas diri mereka melalui pertobatan. Paradigma ini juga harus dipahami oleh publik, tidak hanya negara dan penegak hukum,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Baleg Supratman Andi Agtas menyampaikan rencana mengadakan evaluasi Prolegnas 2021 pada September ini. Dalam pembicaraan terakhir dengan Menkumham Yasonna H Laoly, ada tiga RUU yang ingin diusulkan pemerintah, yaitu RKUHP, RUU Informasi Transaksi Elektronik (ITE), dan RUU Perampasan Aset. Ketiganya akan dimasukkan ke dalam evaluasi Prolegnas 2021. Namun, tidak tertutup kemungkinan ada RUU lain yang diusulkan oleh pemerintah.
Ambil kebijakan cepat
Peneliti Institue of Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati mengatakan, Presiden Joko Widodo melalui Menteri Yasonna Laoly harus berani mengambil tindakan-tindakan cepat dan strategis terkait kebijakan terhadap napi narkotika. Hal itu diperlukan untuk mengatasi kepadatan hunian di lapas.
Terhadap pengguna narkotika yang mengalami ketergantungan, maka harus diberikan hak rehabilitasi dengan pendekatan kesehatan, bukan penghukuman, mengedepankan pengurangan dampak buruk atau ”harm reduction”.
Hal yang dapat dilakukan, antara lain, memberikan amnesti dan/atau grasi massal berbasis penilaian kesehatan bagi pengguna narkotika. Menteri Hukum dan HAM pada November 2019 pernah memberikan gagasan untuk melakukan amnesti massal bagi pengguna narkotika dan ICJR mendukung langkah tersebut. Namun, untuk menjamin langkah ini sejalan dengan pendekatan kesehatan, ICJR meminta agar ada tim khusus yang melakukan asesmen pengguna narkotika.
”Terhadap pengguna narkotika yang mengalami ketergantungan, harus diberikan hak rehabilitasi dengan pendekatan kesehatan, bukan penghukuman, mengedepankan pengurangan dampak buruk atau harm reduction. Sebagai catatan, rehabilitasi tidak mesti berbasis kelembagaan dengan penempatan di lembaga, rehabilitasi bisa berbasis komunitas dan rawat jalan sesuai dengan penilaian kesehatan. Ini juga bisa menghemat biaya negara,” katanya.