Penanganan Holistik Diperlukan untuk Atasi Persoalan Lapas
Kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang, Banten, tak hanya menyibak kompleksitas permasalahan manajemen pemasyarakatan, tetapi juga sistem peradilan di Tanah Air.
JAKARTA, KOMPAS — Kebakaran yang terjadi di Lapas Kelas I Tangerang, Banten, menunjukkan urgensi pembenahan sistem peradilan terpadu di Tanah Air. Penanganan kompleksitas persoalan yang terjadi di lembaga pemasyarakatan selama ini pun harus dilakukan secara komprehensif dan holistik, mulai dari perubahan paradigma pemasyarakatan hingga penguatan regulasi sebagai payung hukum yang membenahi sistem peradilan pidana Indonesia.
Tindakan saling menyalahkan tidak akan memberikan solusi atas persoalan yang saat ini terjadi. Di samping fokus pada pemulihan korban dan petugas yang menjadi korban dalam peristiwa kebakaran itu, sejumlah hal krusial mesti dipikirkan oleh pembuat kebijakan untuk memberikan solusi holistik terhadap persoalan pemidanaan di Indonesia.
Peneliti Center for Detention Studies (CDS) Gatot Goei mengatakan, persoalan overcrowding atau jumlah penghuni yang melebihi kapasitas adalah salah satu persoalan mendasar dari kondisi lapas di Tanah Air. Upaya penerapan standar keamanan dan keselamatan akan sulit dilakukan jika lapas kelebihan penghuni. Sebab, keseimbangan jumlah penghuni lapas, kompetensi dan kapasitas petugas, dan kondisi fisik bangunan yang memadai merupakan prasyarat utama untuk memenuhi standar keamanan dan keselamatan.
Untuk membenahi kompleksitas itu diperlukan pendekatan holistik dari hulu ke hilir. ”Soal kelebihan penghuni lapas ini memang harus diatur arus masuk dan arus keluar napi yang seimbang. Arus masuk napi diatur melalui berbagai UU yang berkonsekuensi pidana, terutama KUHP, sebab di sana diatur jenis-jenis perbuatan pidana dan ancaman hukumannya. Selain itu, UU Narkotika juga mesti dikaji kembali aturannya untuk mencegah masuknya pengguna dan pencandu narkotika ke dalam lapas,” kata Gatot, Kamis (9/9/3021) di Jakarta.
Terlepas dari pro dan kontra yang ada, pembahasan Rancangan KUHP perlu difokuskan pada ancaman pemidanaan di luar hukuman. Aturan itu pidana alternatif, seperti denda, kerja sosial, dan hukuman percobaan, hanya dapat diatur dalam KUHP. Begitu pula hukuman bagi pengguna atau pecandu narkotika sebaiknya diganti dengan pemberian hak rehabilitasi.
Dengan pengaturan pidana alternatif itu, Gatot optimistis ”arus masuk” narapidana ke dalam lapas dapat dikendalikan. Dengan begitu, potensi kelebihan penghuni bisa diminimalkan. Di sisi lain, ”arus keluar” juga bisa diatur melalui pemberian hak-hak narapidana berupa pembebasan bersyarat, asimilasi, dan praasimilasi. Hal ini, menurut Gatot, adalah bagian yang semestinya diatur di dalam UU yang mengatur tentang pemasyarakatan.
Kemudahan pembebasan bersyarat dan pemberian asimilasi, serta penambahan masa tahanan, khususnya bagi narapidana dengan hukuman di bawah lima tahun diyakini akan membantu meringankan beban lapas. Hal itu sejalan dengan konsep pemasyarakatan modern, yakni pemidanan bukan sebagai pembalasan atau atributif, melainkan progresif, restoratif, dan korektif.
Tiga RUU sedang kami persiapkan, dan semoga itu bisa membantu meringankan overcrowding di lapas. RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan adalah carry over, tetapi dicabut dari daftar prolegnas tahunan. September ini kami juga akan bicara dengan menteri untuk menjadikan ini perhatian sehingga ada rencana memasukkannya dalam Prolegnas 2021. Adapun RUU Narkotika mungkin akan menjadi RUU prioritas pada 2022.
Kendati demikian, RUU Pemasyarakatan sebaiknya tidak juga mengabaikan tindak pidana khusus yang hukumannya di atas lima tahun, seperti korupsi, terorisme, bandar narkotika, dan kejahatan lingkungan. ”Bisa saja dibuat pengecualian di dalam RUU. Misalnya, syaratnya dibuat detail, tidak berlaku untuk tipidsus (tindak pidana khusus), kecuali untuk pelaku terorisme yang telah mengakui NKRI, atau koruptor yang ditetapkan menjadi justice collabolator. Selain dari tipidsus, mereka juga dapat memperoleh remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat,” katanya.
Baca juga: Kemenkumham Segera Luncurkan Revitalisai Pemasyarakatan
Dalam aturan yang ada sekarang, yakni pemenjaraan masih menjadi fokus pemidanaan, sementara asimilasi dan pembebasan bersyarat harus melalui tahapan waktu pemidanaan tertentu, kelebihan penghuni di lapas sulit dihindari. Mengacu pada PP Nomor 31/1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, seorang narapidana baru bisa mengajukan asimilasi jika telah menjalani setengah dari masa hukuman. Adapun pembebasan bersyarat baru bisa diajukan setelah menjalani dua pertiga hukuman. Kondisi ini menyulitkan ”arus keluar” bagi napi yang sebenarnya berkelakuan baik dan memenuhi syarat, tetapi karena belum menjalani waktu pemidanaan tertentu.
”Ini yang harus diatur kembali di RUU Pemasyarakatan sehingga arus keluar napi itu lebih mudah melalui pemberian hak-hak napi. Salah satu caranya ialah menghapus tahapan pembinaan dengan penghitungan waktu hukum itu. Konsekuensinya, hal ini akan berlaku bagi semua jenis pidana. Namun, bagi tipidsus, jika memang ingin ada pengaturan khusus juga bisa disebutkan di dalam UU untuk dikecualikan,” ucapnya.
Selain dari sisi regulasi, menurut Gatot, peningkatan sumber daya manusia (SDM) petugas maupun peningkatan kualitas sarana dan prasarana lapas juga perlu menjadi perhatian pemerintah. Selama ini fokus pemerintah masih sebatas manajemen penempatan narapidana dengan kategori high risk (berisiko tinggi) ke lapas berkeamanan maksimum, tetapi melupakan peningkatan SDM lapas.
”Ini penting sekali soal kompetensi dan kapasitas petugas ini karena sistem yang sudah bagus, tetapi tanpa disertai dengan peningkatan kualitas juga akhirnya lapas akan kembali berjalan seperti lapas-lapas konvensional sekarang,” katanya.
Keadilan restoratif
Sementara itu anggota Komisi III DPR I Wayan Sudirta mengatakan, sistem peradilan pidana Indonesia cenderung menghasilkan narapidana. Hal ini disebabkan Indonesia masih mengacu pada KUHP era kolonial yang berorientasi pemenjaraan. Seharusnya, Indonesia mulai bergerak dalam hukum pemidanaan progresif yang melihat warga binaan juga merupakan manusia yang memiliki hak-hak tertentu yang mesti dilindungi.
Hakim pun dalam memutus suatu perkara jendaknya tidak saja melihat kepastian hukum, tetapi juga keadilan dan manfaat hukum. ”Karena menekankan pada aspek kepastian hukum akan mengesankan sistem hukum yang berorientasi balas dendam, dan menyebabkan napi bertambah. Hakim juga harus menggali dan menyerap hukum yang hidup di masyarakat,” ujar anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, menambahkan, paradigma pemidanaan harus diubah, tidak lagi berorientasi pembalasan dendam atau retributif, tetapi mengutamakan keadilan restoratif. Paradigma ini harus dimiliki oleh semua aparat penegak hukum, baik di kepolisian, kejaksaan, Badan Narkotika Nasional, termasuk pula di kehakiman. Publik pun diharapkan melihat kebijakan pemenjaraan sudah tidak lagi bertujuan untuk menghukum badan pelaku kejahatan.
”Semua penegak hukum sudah memiliki pedoman soal ini, misalnya di kepolisian, kejaksaan, MA, dan tinggal dilaksanakan saja ketentuan-ketentuan ini,” katanya.
Terkait dengan regulasi, saat ini RKUHP dan RUU Pemasyarakatan telah masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas jangka panjang, tetapi belum menjadi prolegnas prioritas tahunan. Namun, secara substansi, RUU KUHP itu telah mengakomodasi bentuk pidana lain di luar pemenjaraan, seperti kerja sosial, denda, dan hukuman percobaan. Bentuk pemidanaan itu diharapkan bisa menjadi alternatif dari pemenjaraan yang berisiko menambah kepadatan lapas.
Baca juga: RKUHP Segera Dibawa ke DPR, Pemerintah Janji Partisipasi Publik Masih Terbuka
Adapun untuk RUU Pemasyarakat, lanjut Taufik, juga mengedepankan soal hak-hak narapidana yang harus menjadi bahan pertimbangan. Oleh karena itu, Kemenkumham sudah punya landasan saat memberikan asimilasi, cuti besar, dan pembebasan bersyarat. Dalam RUU Narkotika yang juga masuk dalam daftar prolegnas jangka panjang, juga mulai dipertimbangkan aspek kesehatan dalam rehabilitasi pengguna dan pecandu narkotika.
”Tiga RUU sedang kami persiapkan, dan semoga itu bisa membantu meringankan overcrowding di lapas. RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan adalah carry over, tetapi dicabut dari daftar prolegnas tahunan. September ini, kami juga akan bicara dengan menteri untuk menjadikan ini perhatian sehingga ada rencana memasukkannya dalam prolegnas 2021. Adapun RUU Narkotika mungkin akan menjadi RUU prioritas pada 2022,” kata anggota Baleg itu.
Namun, ketiga RUU itu semuanya merupakan usul inisiatif pemerintah sehingga pengajuan usulan bergantung pada pemerintah. Menurut Taufik, DPR dalam posisi mendukung ketiga RUU itu menjadi prioritas pembahasan sebagai upaya memperbaiki tata kelola sistem peradilan pidana terpadu di Tanah Air.
Solusi lain yang dapat diambil untuk mengatasi kelebihan penghuni di lapas ialah membangun lapas baru. Namun, tanpa disertai pengaturan terhadap sistem peradilan pidana terpadu secara holistik, pembangunan lapas baru akan sia-sia saja. Lapas baru berpotensi akan penuh kembali.