Kemenkumham Segera Luncurkan Revitalisasi Pemasyarakatan
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah narapidana di Indonesia jauh melebihi daya tampung rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan yang tersedia. Kelebihan penghuni rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan hingga 200 persen tersebut mendorong Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mencanangkan Revitalisasi Pemasyarakatan 2019.
”Tahun ini, kami akan mencanangkan Permenkumham Nomor 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Pemasyarakatan. Ini adalah upaya pembinaan narapidana berbasis perubahan perilaku,” kata Kepala Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Ade Kusmanto di Jakarta, Jumat (11/1/2019).
Langkah ini merupakan ikhtiar Kemenkumham untuk meningkatkan keterampilan dan kompetensi narapidana agar mereka memiliki mata pencarian secara mandiri seusai menjalani masa hukumannya. Di samping itu, kata Ade, pencanangan aturan ini juga mendukung upaya menekan jumlah narapidana yang melebihi daya tampung rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas).
Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, terdapat sedikitnya 250.000 narapidana menghuni rutan dan lapas, yang memiliki daya tampung maksimal 125.000 orang. Artinya, 216 rutan dan 303 lapas yang tersedia sesungguhnya hanya mampu menampung separuh dari jumlah narapidana yang tengah menjalani hukuman.
Jumlah ini jauh dari kebutuhan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.
Regulasi itu menyatakan, rutan dan lapas harus ada di setiap kota dan kabupaten sehingga sesungguhnya Indonesia masih membutuhkan tambahan 290 rutan dan 240 lapas lagi.
Ade mengatakan, pembangunan rutan dan lapas yang didanai negara terkendala biaya. Untuk satu narapidana, diperlukan investasi Rp 150 juta. Pembangunan lapas berdaya tampung 2.000 narapidana, misalnya, membutuhkan biaya Rp 300 miliar. Sementara, menurut proyeksi sejak tahun 2014, jumlah narapidana bertambah 22.000 orang per tahun.
”Dengan Revitalisasi Pemasyarakatan, jika ada perubahan perilaku, narapidana yang sebelumnya ada di lapas dengan pengamanan maksimal bisa dipindahkan ke lapas yang pengamanannya medium,” jelas Ade.
Selain mendorong distribusi narapidana, optimalisasi pembinaan dengan pencanangan aturan ini juga bisa memaksimalkan pemberian remisi. Remisi atau pengurangan masa penahanan tambahan dapat diberikan kepada narapidana yang aktif mengikuti program pembinaan. Jenis remisi lain yang bisa didapat narapidana diatur dalam Permenkumham Nomor 3 Tahun 2018.
Dengan ini, diharapkan narapidana dapat produktif sehingga bisa bekerja atau berwirausaha secara mandiri dan tidak terlibat tindakan kriminal lagi. Hal ini sudah dilakukan dengan berbagai program seperti pelatihan kerja. Adapun saat ini, tingkat residivis turun rata-rata 3,28 persen per tahun sejak 2016.
Pidana alternatif
Ade berpendapat, upaya lain untuk mengatasi kepadatan populasi penghuni rutan ataupun lapas adalah mengganti pidana badan atau penjara dengan pidana alternatif. Hal ini bisa diberlakukan kepada pelaku tindak pidana ringan.
”Sebagai solusi mengatasi masalah kapasitas ini bisa dengan tidak memenjarakan pelaku tindak pidana ringan. Sebagai alternatif, bisa dengan mediasi, denda, pembinaan, atau kerja sosial. Misalnya, untuk pelanggar lalu lintas, pelaku prostitusi, pencurian, dan pelaku pencemaran nama baik,” kata Ade.
Rehabilitasi pengguna narkoba juga bisa mengurangi jumlah narapidana yang dipenjara. Hingga 2018, jumlah narapidana yang tersangkut kasus narkoba mencapai 97.000 orang atau hampir 40 persen dari total narapidana yang ada.
Saat ini, rumusan pidana alternatif telah ada di dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang masih akan dibahas DPR dan pemerintah. Dalam draf RKUHP per 28 Mei 2018, hanya diatur tiga bentuk alternatif non-pemenjaraan, yaitu pidana pengawasan, pidana kerja sosial, dan pelaksanaan pidana penjara dengan cara mengangsur (Kompas.com, 20/12/2018).
Adapun upaya menghadirkan alternatif nonpenjara bagi pencandu narkoba sedang dimungkinkan untuk diatur dalam Revisi Undang-Undang (RUU) No 35/2009 tentang Narkotika. RUU yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2018 direvisi untuk menekan peredaran narkoba dengan pendekatan berbeda. Revisi ini diharapkan mengoptimalkan program rehabilitasi untuk pencandu narkoba (Kompas, 13/12/2018).
Terkait hal tersebut, Wakil Direktur Center for Detention Studies Gatot Goei mengatakan, pemerintah dan DPR segera mengubah regulasi yang ada. ”Perubahan regulasi Undang-Undang Pemasyarakatan dan KUHP dapat mengubah pidana penjara menjadi pidana alternatif,” ujarnya. (ERIKA KURNIA)