Komnas HAM Berharap Serahkan Hasil Pemeriksaan Langsung ke Presiden
Komnas HAM meyakini Presiden mengerti pentingnya hasil penyelidikan atas pelaksanaan tes wawasan kebangsaan pegawai KPK dan berkomitmen untuk menyelesaikannya.
Oleh
Susana Rita
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM berharap dapat menyerahkan langsung kepada Presiden hasil penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia dalam pelaksanaan asesmen tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi. Pertemuan langsung dengan Presiden penting agar Komnas dapat memberikan informasi dan penjelasan secara komprehensif mengenai hal tersebut.
”Kami berharap (pertemuan dapat dilakukan) sesegera mungkin. Minggu depan jika mendapatkan waktu akan lebih baik,” ujar Choirul Anam, salah satu komisioner Komnas HAM, saat dikonfirmasi, Minggu (22/8/2021).
Hingga saat ini, Komnas belum mengirimkan laporan hasil pemeriksaan setebal lebih dari 300 halaman dalam persoalan TWK pegawai KPK tersebut ke pemerintah. Menurut Anam, penyerahan dan penjelasan langsung oleh Komnas HAM kepada Presiden penting agar ada informasi dan penjelasan yang tepat dan komprehensif. Apalagi, kasus tersebut sangat penting bagi semua pihak, khususnya dalam hal masa depan pemberantasan korupsi.
”Kami yakin Presiden mengerti pentingnya masalah ini dan komitmen untuk menyelesaikannya,” kata Anam.
Pada 16 Agustus lalu, Komnas HAM memublikasikan hasil penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM dalam proses asesmen TWK pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Komnas menyatakan, ada 11 bentuk pelanggaran HAM dalam pelaksanaan TWK tersebut.
Pelanggaran itu di antaranya, hak atas keadilan dan kepastian hukum, penghormatan terhadap perempuan, hak untuk tidak didiskriminasi, hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, hak atas informasi, hak atas privasi, hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat, hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, serta hak atas kebebasan berpendapat.
Pelaksanaan TWK juga dinilai tidak memiliki dasar hukum serta tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih jauh Komnas HAM menyatakan, ada intensi lain dalam pelaksanaan TWK, yaitu menyingkirkan pegawai KPK tertentu, khususnya mereka yang mendapat label dan stigma Taliban. Pelabelan Taliban itu sengaja dikembangkan dan dilekatkan kepada pegawai dengan latar belakang identitas ataupun praktik keagamaan tertentu yang tak bisa dikendalikan pimpinan.
Selain itu, pelaksanaan TWK juga dinilai tidak memiliki dasar hukum serta tidak sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Nota kerja sama antara KPK dan Badan Kepegawaian Nasional (BKN) sebagai basis kerja sama sebenarnya sudah sesuai aturan, tetapi ternyata penandatanganan kerja sama (MoU) dibuat dengan tanggal mundur (back date). Belakangan juga dikemukakan bahwa instrumen kerja sama itu dibatalkan oleh kedua belah pihak. Dengan demikian, kerja sama BKN dengan pihak ketiga, seperti BAIS, Dinas Psikologi Angkatan Darat, dan Badan Inteligen Negara (BIN), juga tidak memiliki dasar hukum.
Komnas HAM pun merekomendasikan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan dan selaku pejabat pembina kepegawaian tertinggi untuk mengambil alih seluruh proses penyelenggaraan asesmen TWK pegawai KPK. Presiden disarankan untuk memulihkan status pegawai KPK yang sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) untuk dapat diangkat sebagai ASN. Presiden juga diharapkan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses penyelenggaraan TWK pegawai KPK dan membina seluruh pejabat kementerian/Lembaga yang terlibat di dalamnya.
Sebelumnya, Ombudsman RI juga menemukan adanya malaadministrasi berlapis dalam pelaksanaan TWK kepada pegawai KPK. Dengan demikian, hasil TWK tidak dapat dijadikan dasar bagi pemberhentian pegawai KPK.
Pada Sabtu (21/8), perwakilan 57 pegawai nonaktif KPK melaporkan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku kepada Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Mereka juga meminta Dewas mengawasi pelaksanaan tindakan korektif yang diminta Ombudsman RI dan rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terkait tes wawasan kebangsaan pegawai KPK oleh KPK.
Hotman Tambunan, perwakilan dari pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK), mengatakan, dalam sepekan sejak 18 Agustus 2021, perwakilan 57 pegawai nonaktif KPK berkirim dua surat kepada Dewas KPK.
”Laporan pertama adalah dugaan pelanggaran etik dan perilaku oleh Pimpinan KPK AM (Alexander Marwata). Kedua adalah permohonan pengawasan Dewas dalam pelaksanaan tindakan korektif Ombudsman RI dan rekomendasi Komnas HAM dalam tes wawasan kebangsaan,” kata Hotman melalui keterangan tertulis, Sabtu (21/8).
Dari 57 pegawai nonaktif KPK tersebut, 51 orang dinonaktifkan karena tak lolos TWK. Mereka pun dinilai tak bisa lagi dibina sehingga bakal diberhentikan dari KPK awal November. Adapun enam pegawai nonaktif KPK lainnya dinilai masih bisa dibina sekalipun tak lolos TWK dan diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan bela negara, tetapi mereka memutuskan tidak mengikutinya.
Hotman menjelaskan, dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Alexander adalah melakukan konferensi pers yang bermuatan pencemaran nama baik atau penghinaan bagi 51 pegawai nonaktif. Saat itu Alexander mengatakan, ”Sedangkan yang 51 orang, kembali lagi dari asesor, itu sudah warnanya merah dan tidak memungkinkan untuk dilakukan pembinaan.”
Hotman menjelaskan, dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Alexander adalah melakukan konferensi pers yang bermuatan pencemaran nama baik atau penghinaan bagi 51 pegawai nonaktif.
Menurut Hotman, pernyataan ”warnanya sudah merah dan tidak bisa dilakukan pembinaan” yang disematkan kepada 51 pegawai KPK yang dianggap tidak memenuhi syarat menjadi ASN telah merugikan. Sebanyak 51 pegawai tersebut mudah teridentifikasi karena 24 pegawai KPK lainnya yang juga tak lolos TWK kini tengah mengikuti pelatihan bela negara.
Laporan dugaan pelanggaran etik ini dilakukan oleh tujuh pegawai yang menjadi perwakilan 57 pegawai KPK. Mereka adalah Harun Al Rasyid, Yudi Purnomo, Sujanarko, Aulia Postiera, Novel Baswedan, Rizka Anungnata, dan Rasamala Aritonang.
Dalam laporannya, mereka melampirkan bukti berupa rekaman Youtube konferensi pers KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada 25 Mei 2021, video Youtube acara Kick Andy Show Double Check, berita acara rapat koordinasi tindak lanjut di BKN pada 25 Mei 2021, bahan presentasi pimpinan Ombudsman RI pada 21 Juli 2021, dan video konferensi hasil penyelidikan Komnas HAM.
Para pelapor berharap agar Dewas memeriksa pengaduan tersebut dan menindaklanjutinya dengan menggelar sidang etik. Mereka berharap Dewas menyatakan terlapor melanggar dan melakukan perbuatan tidak sesuai dengan kode etik serta pedoman perilaku insan KPK.