Abaikan Arahan Presiden, 51 Pegawai KPK Bakal Diberhentikan
Arahan Presiden Joko Widodo soal 75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan diabaikan. Sebanyak 51 pegawai tetap akan diberhentikan dari KPK. Begitu pula 24 pegawai lainnya jika mereka tak lolos pendidikan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dari 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan, hanya 24 orang yang dinilai masih bisa dibina agar memenuhi syarat menjadi aparatur sipil negara. Namun, jika mereka tak bisa lolos pendidikan dan pelatihan bela negara serta wawasan kebangsaan, nasibnya akan sama seperti 51 pegawai lainnya yang dinilai tak bisa dibina, yaitu diberhentikan dari KPK.
Keputusan itu diambil dalam rapat membahas nasib 75 pegawai KPK yang diikuti oleh pimpinan KPK, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Tjahjo Kumolo, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) Adi Suryanto, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan tim asesor dari Badan Kepegawaian Negara (BKN). Rapat dipimpin oleh Tjahjo Kumolo.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, 24 pegawai yang dinilai masih bisa dibina akan mengikuti pendidikan dan pelatihan bela negara serta wawasan kebangsaan. Apabila tidak lolos, mereka tidak bisa diangkat menjadi ASN. Dalam pembinaan tersebut, KPK akan bekerja sama dengan LAN serta badan pelaksana bela negara dan wawasan kebangsaan.
”Yang 51, tentu karena sudah tidak bisa dilakukan pembinaan berdasarkan penilaian asesor, tentu tidak bisa bergabung lagi dengan KPK,” kata Alex dalam konferensi pers seusai rapat koordinasi di Kantor BKN, Jakarta, Selasa (25/5/2021).
Untuk mengambil keputusan tersebut, lanjut Alex, terjadi perdebatan yang alot hingga akhirnya disepakati ada 24 orang yang lolos untuk dilakukan pembinaan.
Alex menegaskan, pegawai KPK harus berkualitas. Karena itu, KPK terus membangun sumber daya manusia tidak hanya dari aspek kemampuan, tetapi juga aspek kecintaan terhadap tanah air, bela negara, kesetiaan pada Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan pemerintahan yang sah, serta bebas dari radikalisme dan organisasi terlarang.
Kepala BKN Bima Haria Wibisana mengatakan, indikator yang dinilai untuk wawasan kebangsaan ialah aspek kepribadian, pengaruh, dan PUNP (Pancasila, UUD 1945 dan seluruh turunan aturan perundangan, NKRI, serta pemerintah sah).
”Untuk aspek PUNP itu harga mati. Jadi tidak bisa dilakukan penyesuaian dari aspek itu. Bagi mereka yang aspek PUNP-nya bersih, walaupun aspek pribadi dan pengaruh terindikasi negatif, itu masih bisa dilakukan proses diklat. Jadi dari 75 orang itu, 51 orang itu menyangkut aspek PUNP,” tutur Bima.
Selain aspek PUNP, menurut Bima, ke-51 pegawai tersebut juga mendapatkan penilaian negatif di dua aspek lain, yakni kepribadian dan pengaruh. Karena itu, sekali lagi ia menekankan, mereka tidak bisa diikutkan pendidikan bela negara dan wawasan kebangsaan.
Menurut Bima, ke-51 orang tersebut masih akan menjadi pegawai KPK sampai 1 November 2021. Setelah itu, mereka akan diberhentikan.
Ia mengklaim, keputusan ini sudah mengikuti arahan Presiden Joko Widodo dan tidak merugikan pegawai karena sesuai peraturan undang-undang yang berlaku. Sebab, ujar Bima, proses alih status menjadi ASN tidak hanya berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2019 tentang KPK, tetapi mengacu pula pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Bima mengungkapkan, ke-51 orang tersebut juga tidak bisa menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Pasalnya, syarat menjadi PPPK sama dengan menjadi PNS. Mereka harus memenuhi nilai dasar kode etik dan perilaku yang tertuang pada Pasal 4 dan 5 UU No 5/2014.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan, hasil tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK tidak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes. Hasil tes cukup jadi bahan perbaikan di KPK. Salah satu bentuknya, melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan.
Seusai rapat, Yasonna enggan menanggapi pertanyaan wartawan. Sementara itu, Tjahjo menyerahkannya kepada KPK dan BKN.
Tidak patuh
Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap mengatakan, pimpinan KPK dan BKN telah nyata-nyata tidak mematuhi instruksi Presiden dengan tetap memberhentikan pegawai KPK.
”Pimpinan KPK dan BKN telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan tidak mengindahkan jaminan konstitusional Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 yang diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019, yang menegaskan bahwa proses transisi tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN,” ujarnya.
Selain itu, Wadah Pegawai KPK menilai sikap pimpinan KPK dan Kepala BKN adalah bentuk konkret dari sikap tidak setia terhadap pemerintahan yang sah. Maka dari itu, perlu adanya supervisi dari Presiden menindaklanjuti perkara alih status pegawai KPK menjadi ASN.
”Kami mempertanyakan mengapa Ketua KPK sangat ingin memberhentikan kami sebagai pegawai KPK dengan alat ukur yang belum jelas serta proses yang sarat pelecehan martabat sebagai perempuan. Padahal, di sisi lain, Ketua KPK bertekad menjadikan residivis perkara korupsi yang jelas telah berkekuatan hukum tetap sebagai agen antikorupsi,” tambahnya.