Komnas HAM: Ada 11 Bentuk Pelanggaran HAM dalam Asesmen TWK KPK
Komnas HAM menemukan bahwa proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui asesmen TWK hingga pelantikan 1 Juni diduga sebagai bentuk penyingkiran terhadap pegawai yang terstigma Taliban.
Oleh
susana rita
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai, ada 11 bentuk pelanggaran hak asasi manusia dalam proses asesmen tes wawasan kebangsaan atau TWK terhadap pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi. Asesmen itu juga dinilai tidak punya landasan hukum yang jelas serta memiliki intensi lain, yakni penyingkiran terhadap pegawai KPK yang mendapat stigma dan label tertentu.
Adapun hak-hak yang dilanggar atas kebijakan, penyelenggaraan, tindakan atau perlakuan dan ucapan, baik pertanyaan maupun pernyataan, terkait TWK di antaranya hak atas keadilan dan kepastian hukum, hak perempuan, serta hak untuk tidak didiskriminalisasi. Selain itu, juga hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, hak atas pekerjaan, hak atas rasa aman, hak atas informasi, hak atas privasi, hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat, serta hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan.
Atas pelanggaran-pelanggaran tersebut, Komnas HAM meminta kepada Presiden Joko Widodo selaku pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan dan pembina kepegawaian tertinggi untuk mengambil alih seluruh proses penyelenggaraan asesmen TWK pegawai KPK.
Presiden diminta memulihkan status pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) untuk dapat diangkat menjadi aparatur sipil negara (ASN) KPK. Selain itu, Presiden diminta memulihkan nama baik mereka, mengevaluasi menyeluruh proses penyelenggaraan TWK, membina seluruh pejabat kementerian/lembaga yang terlibat dalam proses penyelenggaraan TWK, serta memperkuat wawasan kebangsaan, hukum dan HAM serta kode etik dalam sikap dan tindakan ASN.
Temuan, kesimpulan, dan rekomendasi tersebut diungkapkan dalam jumpa pers resmi Komnas HAM, Senin (16/7/2021), yang dilakukan secara hibrida, kombinasi luring dan daring, yang dipimpin Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik. Hadir dalam kesempatan tersebut secara luring komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, Amiruddin, Choirul Anam, dan Munafrizal Manan serta secara daring Sandrayati Moniaga dan Hairansyah.
Ahmad Taufan Damanik mengungkapkan, pemulihan status 75 pegawai KPK yang dinyatakan TMS untuk dapat diangkat menjadi ASN dapat dimaknai sebagai bagian dari arahan Presiden yang sebelumnya sudah disampaikan.
Seperti diketahui, pada 17 Mei, Presiden Jokowi mengungkapkan, sebaiknya hasil TWK pegawai KPK hendaknya menjadi masukan untuk langkah perbaikan lembaga tersebut ke depan dan tidak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos asesmen. Presiden mengungkapkan, jika ada kekurangan, hal itu masih dapat diperbaiki melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan, baik dilakukan di level individual maupun organisasi.
Hal tersebut, tambah Damanik, juga sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan, proses alih status pegawai KPK tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apa pun di luar desain yang telah ditentukan.
Sebelumnya, Komnas HAM menerima pengaduan dari perwakilan Wadah Pegawai KPK, Yudhi Purnomo dan kawan-kawan, yang didampingi kuasa hukumnya, Asfinawati, pada 24 Mei 2021. Pengadu mempersoalkan adanya dugaan pelanggaran HAM dalam proses asesmen tes wawasan kebangsaan yang menjadi dasar ke-75 pegawai yang dinyatakan tak memenuhi syarat di-nonjob-kan dan mendapat stigma tidak Pancasilais.
Menindaklanjuti pengaduan tersebut, Komnas HAM telah meminta keterangan dari 23 pegawai KPK, baik yang lolos TWK maupun tidak lolos, pimpinan KPK, Badan Kepegawaian Negara (BKN), Dinas Psikologi AD, ahli (ilmu psikologi, ilmu administrasi negara, dan ilmu hukum tata negara), serta tokoh masyarakat.
Penyingkiran ”Taliban”
Berdasarkan hasil penyelidikan, kata Choirul Anam, ada sejumlah temuan yang disimpulkan, antara lain, proses alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui asesmen TWK hingga pelantikan 1 Juni lalu diduga kuat sebagai bentuk penyingkiran terhadap pegawai yang terstigma atau terlabel Taliban. Padahal, pelabelan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan dan merupakan bentuk pelanggaran HAM.
Menurut dia, pelabelan Taliban di internal KPK sengaja dikembangkan dan dilekatkan kepada pegawai KPK yang kenyataannya sangat erat dengan aktivitas kerja profesional pegawai yang bersangkutan. Tak hanya itu, label itu juga melekat pada pegawai yang tidak bisa dikendalikan.
Proses alih status terhadap pegawai KPK sebagai konsekuensi dari perubahan UU KPK sebenarnya cukup melalui administrative adjustment. Namun, dilakukan perubahan mandat dan substansi alih status dari pengangkatan menjadi pengalihan hingga akhirnya disepakati melalui asesmen atau seleksi seperti diatur dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021.
”Tujuannya, menyingkirkan atau menyaring pegawai dengan label dan stigma dimaksud mulai dari proses perencanaan (membentuk peraturan komisi, kerja sama dengan BKN, pembiayaan, penentuan metode, pihak yang terlibat dan asesor asesmen, hingga menyusun jadwal pelaksanaan), penyelenggaraan yang tidak transparan, diskriminatif, dan terselubung, serta dominasi pihak tertentu dalam penetapan hasil TMS dan MS,” kata Choirul Anam.
Komnas HAM juga mempersoalkan kerja sama BKN dengan pihak ketiga, seperti Bais, Dinas Psikologi AD, BNPT, dan BIN, yang dinilai tak memiliki dasar hukum.
Hingga Senin sore, belum ada pernyataan resmi dari KPK terkait temuan Komnas HAM.
Sebelumnya, seusai memberikan keterangan kepada Komnas HAM, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menjelaskan, TWK adalah tindak lanjut dari Pasal 6 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, Pasal 5 Ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN. Kemudian, KPK melahirkan regulasi teknis berupa Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengalihan Pegawai KPK ke ASN.
Dalam pelaksanaan TWK, KPK bekerja sama dengan BKN. Hal itu diatur dalam Pasal 5 Ayat (4) Perkom No 1/2021 sebagai dasar pelaksanaan TWK pada Maret 2021. Pegawai KPK yang lolos TWK akhirnya diangkat menjadi ASN pada 1 Juni 2021. ”Kami jelaskan kepada Komnas HAM berkaitan dengan legal standing, dasar hukum kewenangan, kebijakan regulasi, dan pelaksanaan alih pegawai KPK ke ASN yang telah dilaksanakan pada 1 Juni 2021,” ujar Ghufron (Kompas.id, 17/6/2021).
Terkait dengan TWK KPK, Ombudsman RI (ORI) pada 21 Juli 2021 menyampaikan, Ombudsman menemukan indikasi malaadministrasi berlapis dalam TWK KPK. Ketua ORI Mokhammad Najih mengatakan, hasil pemeriksaan secara keseluruhan difokuskan pada tiga isu utama, yakni tahapan pembentukan kebijakan proses peralihan pegawai KPK menjadi ASN, pelaksanaan tes wawasan kebangsaan, dan penetapan hasil tes wawasan kebangsaan.
”Tiga hal inilah yang oleh Ombudsman ditemukan potensi-potensi malaadministrasi dan secara umum, dari hasil pemeriksaan kami, malaadministrasi itu memang kami temukan,” ujar Najih (Kompas.id, 16/8/2021).
Namun, dua pekan kemudian, KPK berkirim surat kepada Ombudsman, menjelaskan 13 alasan KPK keberatan menindaklanjuti saran koreksi yang disampaikan Ombudsman.