Tak Ada Tema Korupsi dalam Pidato Presiden, Komitmen Pemerintah Dipertanyakan
Dalam pidato kenegaraan di hadapan anggota MPR dan pidato pengantar RAPBN 2022 di paripurna DPR, Presiden Joko Widodo hanya satu kali menyampaikan kata ”korupsi”, yakni saat menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbeda dengan tahun sebelumnya, pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo tahun 2021 tidak menyinggung sedikit pun soal pemberantasan korupsi. Padahal, dalam penanangan padami, pencegahan korupsi menjadi satu hal krusial untuk mencegah penyalahgunaan dana penanganan Covid-19, termasuk bantuan sosial. Sejumlah aktivis dan pengamat korupsi pun mempertanyakan komitmen presiden pada pemberantasan korupsi.
Presiden Jokowi menyampaikan pidato kenegaraan di dalam sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Senin (16/8/2021). Setelah itu, presiden juga menyampaikan pidato pengantar Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2022 dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, dalam dua kali pidato tersebut, presiden tidak menyebut sama sekali komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Satu kata ”korupsi” hanya ditemui saat ia menyampaikan apresiasinya kepada institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama dengan lembaga-lembaga negara lainnya dalam pidato kenegaraan dalam sidang tahunan MPR.
Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya ketika kata ”korupsi” banyak ditemui dalam pidato presiden. Dalam pidato kenegaraan, 14 Agustus 2020, misalnya, presiden mengatakan, pemerintah serius dengan upaya pemberantasan korupsi. ”Pemerintah tidak pernah main-main dengan upaya pemberantasan korupsi,” kata Presiden Jokowi dalam pidatonya tahun 2020 lalu.
Presiden ketika itu juga mengatakan, upaya pencegahan korupsi harus ditingkatkan melalui tata kelola yang sederhana, transparan, dan efisien. ”Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu,” ucapnya.
Menurut Presiden Jokowi saat itu, ekosistem nasional yang produktif dan inovatif tidak mungkin tumbuh tanpa ekosistem hukum, politik, kebudayaan, dan pendidikan yang kondusif.
Satu kata ”korupsi” hanya ditemui saat ia menyampaikan apresiasinya kepada institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama dengan lembaga-lembaga negara lainnya dalam pidato kenegaraan dalam sidang tahunan MPR.
Tidak hanya luput dalam pidato presiden, kata ”korupsi” juga tidak ditemui dalam pidato Ketua MPR Bambang Soesatyo, dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani. Satu-satunya pimpinan lembaga negara yang menyinggung soal korupsi ialah Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Nyalla Mattalitti, yang mengaitkan tindakan untuk tidak korupsi adalah perwujudan dari kepemimpinan yang berlandaskan pada moral dan etika agama.
Deputi Program Transparancy International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko mengatakan, tidak adanya kata ”korupsi” dalam pidato presiden kali ini menegaskan kian pudarnya komitmen presiden dalam pemberantasan korupsi. Agenda antikorupsi bukan lagi menjadi prioritas.
TII menyayangkan hal tersebut, karena sebenarnya dalam kondisi pandemi seperti sekarang, korupsi rentan merajalela. ”Bansos dipotong hingga di tingkat RT dan RW itu kan pungutan liar (pungli), tetapi hal itu pun tidak tampak dalam pidato presiden. Seharusnya presiden memberikan perhatian di sini jika memang ingin menangani pandemi secara konsisten dan terukur, apalagi berdampak signifikan. Problem korupsi harus menjadi prioritas utama,” kata Wawan, saat dihubungi, Senin dari Jakarta.
Kasus korupsi bansos yang melibatkan bekas Menteri Sosial Juliari P Batubara, menurut Wawan, semestinya dijadikan pelajaran. Hal itu menunjukkan besarnya potensi korupsi pada pengelolaan bansos. Lebih dari itu, korupsi bansos juga merugikan warga penerima manfaat.
”Kendati banyak orang menilai itu hanya pidato atau formalitas, tetapi dengan tidak diucapkan sama sekali kata ’korupsi” oleh presiden, hal ini menunjukkan pemberantasan korupsi memang terlupakan,” kata Wawan.
Komitmen demokrasi
Selain tidak adanya kata ”korupsi”, sejumlah pengamat juga melihat komitmen terhadap demokrasi juga belum tergambar di dalam pidato Presiden di hadapan wakil rakyat. Presiden memang sempat menyinggung pentingnya masyarakat menyampaikan kritik kepada pemerintah. Presiden pun mengapresiasi rakyat yang aktif menyampaikan kritik, karena berarti turut membangun budaya demokrasi.
Presiden juga menyatakan bahwa pemerintah selalu menjawab kritikan dengan peemenuhan tanggung jawab sebagaimana yang diharapkan rakyat.
Namun klaim presiden tersebut, menurut Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, justru berbanding terbalik dengan data dan bukti yang ada. Berdasarkan The Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dalam Indeks Demokrasi yang dirilis EIU dengan skor 6,3. Skor itu merupakan yang terendah bagi Indonesia sepanjang 14 tahun terakhir.
Penilaian dari Freedom House juga masih memberikan total skor 59 dari 100 dengan status ”partly free” untuk akses masyarakat terhadap hak-hak politik dan kebebasan sipil di Indonesia (data per 16 Agustus 2021).
Survei Indikator Politik Indonesia kepada 1.200 masyarakat di seluruh Indonesia pada 25 Oktober 2020 juga menunjukkan 36 persen responden yang mengakui Indonesia menjadi negara yang kurang demokratis. Sebanyak 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa publik semakin takut menyatakan pendapat. Tidak hanya itu, 57,7 persen responden, bahkan, menilai aparat semakin sewenang-wenang menangani warga yang berbeda pandangan politik dengan penguasa.
Erasmus pun meragukan komitmen pemerintah terhadap demokrasi. Buktinya, aparat keamanan sering kali bersikap represif dan berlebihan dalam menanggapi kritik masyarakat terhadap penguasa, belakangan ini. Kondisi itu dikhawatirkan mengakibatkan publik semakin taku untuk menyampaikan pendapat dan kritiknya.
”Misalnya, baru-baru ini Indonesia dihebohkan dengan penghapusan mural bergambar wajah dengan tulisan 404: Not Found di Tangerang. Mural itu dihapus oleh Polres Metro Tangerang Kota dan telah dilakukan pemeriksaan terhadap 2 saksi karena dianggap menghina Presiden Jokowi sebagai lambang negara. Kejadian itu jelas akan mengakibatkan iklim ketakutan berpendapat dan berekspresi yang bertentangan dengan semangat demokrasi yang disampaikan presiden pada pidatonya,” kata Erasmus.
Dukung pemerintah
Sementara itu, lembaga legislatif sebagai mekanisme pengawasan dan perimbangan (check and balance) menegaskan kembali komitmennya untuk mendukung pemerintah mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam mengatasi pandemi Covid-19. Ketua DPR Puan Maharani dalam pidato pembukaan Masa Sidang I 2021/2022 mengemukakan hal itu.
”DPR RI, melalui fungsi konstitusionalnya, memiliki komitmen yang tinggi untuk bekerja bersama dengan pemerintah, lembaga negara lainnya, seluruh komponen bangsa dalam menjalankan upaya terbaik untuk menyelamatkan bangsa dan negara menghadapi pandemi Covid-19 dan dampaknya,” kata Puan.
DPR juga menyampaikan apresiasi kepada seluruh anak bangsa yang telah bergotong royong, kerja bersama, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, tenaga kesehatan, TNI, Polri, BUMN, swasta, relawan, maupun rakyat pada umumnya, yang telah membangun kekuatan nasional untuk melawan Pandemi Covid-19.
”Diperlukan kekuatan nasional untuk bekerja bersama, bergotong royong, dalam mengatasi pandemi Covid-19, yaitu dengan menjalankan protokol kesehatan secara disiplin, sehingga aktivitas masyarakat di segala bidang dapat berjalan dan pemulihan secara bertahap dapat cepat terwujud,” ungkap Puan. (REK)