Muhammadiyah Minta Presiden Batalkan Hasil TWK KPK
Selain Ombudsman RI dan Komnas HAM, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan juga merekomendasikan agar hasil TWK pegawai KPK tak dijadikan dasar untuk pemutusan hubungan kerja.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia bersurat ke Presiden Joko Widodo agar membatalkan hasil tes wawasan kebangsaan yang mengakibatkan penonaktifan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan membatalkan hasil tes tersebut dan mengangkat mereka yang terdampak tes menjadi aparatur sipil negara, hal itu akan menjadi bentuk komitmen Presiden terhadap pemberantasan korupsi.
Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Trisno Raharjo saat dihubungi di Jakarta, Kamis (19/8/2021), mengatakan, surat tersebut berisi pendapat Muhammadiyah terkait hasil temuan Ombudsman Republik Indonesia dan Komisi Nasional HAM atas pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Surat telah dikirimkan ke Presiden pada Rabu (18/8/2021).
”Kami menyampaikan pendapat sebagai bentuk partisipasi masyarakat sipil dan tanggung jawab moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, kami meminta kebijaksanaan Presiden RI Joko Widodo,” ujar Trisno.
Surat tersebut juga ditandatangani oleh Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Kebijakan Publik Busyro Muqoddas.
Terdapat tiga poin utama yang menjadi pendapat Muhammadiyah untuk pertimbangan Presiden Jokowi. Pertama, meminta Presiden mengambil alih proses alih status pegawai KPK dan membatalkan hasil TWK. Presiden dinilai punya kewenangan itu karena merupakan kepala negara, kepala pemerintahan, serta pejabat pembina kepegawaian tertinggi.
Kedua, Presiden diminta memulihkan nama baik 75 pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam TWK dan telah distigma dengan pelabelan identitas tertentu. Kemudian, Presiden mengangkat pegawai-pegawai tersebut menjadi ASN di KPK. Ini sekaligus merupakan bentuk komitmen Presiden terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ketiga, Presiden harus mengevaluasi pimpinan kementerian/lembaga yang terlibat dalam asesmen TWK pegawai KPK karena dinilai telah mengabaikan prinsip-prinsip profesionalitas, transparansi, akuntabilitas, serta tak memenuhi asas keadilan sesuai dengan standar HAM.
Bukan PHK
Sementara itu, komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (KP), Theresia Iswarini, menyampaikan, berdasarkan hasil pemantauan KP dengan mendengarkan pihak pelapor dan juga tim TWK, pihaknya telah menyurati KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Sebagai tindak lanjut, KP dan BKN akan bekerja sama untuk memberikan penguatan integrasi perspektif jender dalam mekanisme rekrutmen dan pembinaan ASN.
Theresia menambahkan, pada Juni 2021 sebenarnya KP telah mengirimkan tiga rekomendasi kepada KPK berkaitan dengan proses penyelenggaraan TWK. Pertama, meminta KPK agar mengembangkan mekanisme pengaduan dan penanganan keluhan terkait proses pengalihan pegawai KPK menjadi ASN secara transparan dan akuntabel. Mekanisme ini juga harus diikuti dengan memberikan perhatian khusus pada kerentanan perempuan atas tindak diskriminasi dan kekerasan berbasis jender.
Kedua, KPK diminta menginformasikan hasil TWK di lingkungan KPK secara jelas dan menggunakan hasil TWK tersebut sebagai dasar rencana pembinaan terhadap pegawai KPK, bukan pemutusan hubungan kerja.
Ketiga, mendukung upaya pemulihan bagi karyawan KPK, baik yang lolos maupun tidak, yang mengalami kekerasan ataupun berulangnya trauma akibat proses wawancara TWK.
Atas surat yang berisi tiga rekomendasi itu, pada Juli 2021, KPK telah mengirimkan surat respons kepada KP. Pada prinsipnya, KPK menyatakan telah menyelenggarakan asesmen TWK beserta tindak lanjutnya bersama dengan pihak-pihak terkait. ”KP selalu terbuka dengan upaya lebih jauh dan berupaya memastikan proses pemulihan korban terjadi,” kata Theresia.
Bukan domain Komnas HAM
Secara terpisah, melalui keterangan tertulis, Hendardi, Ketua Setara Institute, menuturkan, mengacu pada Pasal 79 dan Pasal 89 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Komnas HAM berwenang melakukan kerja pemantauan dan pengkajian. Akan tetapi, produk kerja Komnas HAM bukanlah produk hukum yang pro justitia dan harus ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
”Sebagai sebuah rekomendasi, Komnas HAM dipersilakan untuk membawa produk kerjanya kepada pemerintah dan juga DPR,” ujar Hendardi.
Menurut Hendardi, Komnas HAM seharusnya cukup bertindak sesuai kewenangannya. Jika tidak, produk yang dihasilkan bisa dianggap tidak berdasar (baseless), membuang-buang waktu, dan terjebak pada kasus-kasus yang populer tetapi bukan merupakan bagian mandat Komnas HAM.
Dalam kasus pengaduan alih status ASN, misalnya, produk kerja KPK yang berupa keputusan tata usaha negara dan administrasi negara bisa dipersoalkan melalui pengadilan tata usaha negara ataupun ke Mahkamah Agung jika dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun, dua isu ini bukan domain kewenangan Komnas HAM.
”Di tengah keterbatasan prestasi Komnas HAM periode 2017-2022, Komnas HAM justru rajin mengambil peran sebagai hero dalam kasus-kasus populer. Fakta pelanggaran HAM yang nyata dan bisa disidik dengan menggunakan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM justru tidak dikerjakan. Tak heran banyak pihak mempersoalkan kinerja Komnas HAM periode ini,” ucap Hendardi.
Ia berpendapat, produksi rekomendasi Komnas HAM sejauh ini hampir tidak memberikan dampak apa-apa pada upaya perlindungan hak asasi manusia bagi kelompok rentan, terdiskriminasi, masyarakat adat, dan kelompok kepercayaan. Untuk itu, Komnas HAM perlu didukung untuk merancang visi dan strategi baru, termasuk kewenangan baru, sehingga kehadiran lembaga ini bisa lebih berdampak bagi pemajuan dan perlindungan HAM.