Tanggapi Keberatan BKN, Ombudsman: Konstruksi Peristiwa Tidak Utuh
BKN menggunakan haknya menyatakan keberatan atas laporan akhir hasil pemeriksaan Ombudsman terkait pelaksanaan TWK pegawai KPK. BKN pun menyatakan pelaksanaannya sudah sesuai arahan Presiden.
JAKARTA, KOMPAS — Badan Kepegawaian Negara menyatakan keberatan atas laporan akhir hasil pemeriksaan Ombudsman Republik Indonesia terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Seluruh proses, mulai dari rapat harmonisasi, pelaksanaan tes, hingga penetapan hasil, diklaim telah sesuai prosedur dan tidak ada penyalahgunaan wewenang. Di sisi lain, Ombudsman menyayangkan pernyataan keberatan itu karena tidak mengungkap konstruksi peristiwa seutuhnya.
Wakil Kepala BKN Supranawa Yusuf, dalam jumpa pers di Kantor BKN, Jakarta, Jumat (13/8/2021), mengatakan, pihaknya telah melayangkan surat dan dokumen berisi tanggapan atas laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) ORI terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK pada Jumat (13/8/2021). Surat tersebut ditandatangani oleh kepala BKN dan ditujukan kepada kepala ORI.
”Kami, BKN, menggunakan hak untuk menyampaikan keberatan atas pernyataan ORI pada kesimpulan LAHP yang menyatakan telah terjadi malaadministrasi berupa penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan prosedur dalam proses peralihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN,” ujar Supranawa.
Sebelumnya, KPK juga menyatakan keberatan melaksanakan tindakan korektif yang disarankan ORI, yakni agar 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK tetap dialihkan statusnya menjadi ASN. Alasannya, ORI tak berkompeten menguji keabsahan formil pembentukan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2020 yang menjadi dasar pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN. Selain itu, KPK menganggap mutasi pegawai merupakan urusan internal lembaga.
Baca juga: Kepatuhan KPK-BKN Laksanakan Tindakan Korektif Bisa Tumbuhkan Kepercayaan Publik
Berkaitan dengan BKN, Supranawa menyebutkan, setidaknya ada dua tindakan korektif yang disarankan ORI. Pertama, melakukan penelaahan aturan. Kedua, menyusun peta jalan (roadmap) berupa mekanisme, instrumen, dan penyiapan asesor terhadap pengalihan status pegawai menjadi ASN.
Untuk tindakan korektif berupa penelaahan aturan, Supranawa menjelaskan, BKN sudah memiliki rencana strategis untuk tahun 2020-2024. Substansi dari renstra tersebut antara lain program penguatan pembentukan hukum dalam perumusan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. Lebih detail lagi, BKN telah melakukan penilaian dampak suatu peraturan (regulatory impact assessment/RIA).
Dari RIA ini, ada beberapa produk yang sudah diterbitkan, seperti peraturan BKN tentang penyelenggaraan seleksi ASN di tengah pandemi Covid-19. Selain itu, ada juga penyusunan naskah akademik terhadap kebutuhan pengaturan atau kebijakan yang belum diatur saat ini.
”Di dalam materi ini, ada termasuk pengalihan status kepegawaian. Nah, kalau kita bicara status kepegawaian sesungguhnya tidak saja pengalihan dari non-ASN menjadi ASN, tetapi juga bisa berlaku sebaliknya yang semula ASN menjadi ASN,” kata Supranawa.
Untuk itu, menurut Supranawa, ada atau tidaknya tindakan korektif yang disarankan ORI, sesungguhnya BKN sudah memiliki program-program tersebut. Namun, ia melihat, saran ORI tersebut sebagai bentuk dukungan terhadap program yang sudah dijalankan.
Untuk tindakan korektif berupa penelaahan aturan, BKN sudah memiliki rencana strategis untuk tahun 2020-2024. Substansi dari renstra tersebut antara lain program penguatan pembentukan hukum dalam perumusan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. (Supranawa Yusuf)
Argumentasi keberatan
Supranawa mengungkapkan, ada sejumlah keberatan BKN atas temuan Ombudsman. Pertama, ORI menyoroti soal rapat harmonisasi terakhir pada 26 Januari 2021 yang dihadiri oleh pimpinan kementerian/lembaga. BKN menyatakan keberatan atas temuan itu.
Berdasarkan Pasal 6 Ayat 3 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 23 Tahun 2018 tentang Harmonisasi Rancangan Peraturan Menteri, Peraturan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian, Peraturan Lembaga Non-Struktural oleh Perancang Peraturan Perundang-undangan, misalnya, disebutkan bahwa pengharmonisasian rancangan peraturan perundang-undangan harus mengikutsertakan instansi pemrakarsa dan lembaga pemerintah atau instansi terkait.
”Di dalam ketentuan tersebut, itu tidak ada yang menyatakan bahwa yang hadir dalam rapat harmonisasi adalah pejabat setingkat apa, itu tidak ada. Oleh karena itu, kami menyimpulkan bahwa dengan tidak adanya pembatasan tingkat jabatan serta rapat harmonisasi, maka ya sepanjang pimpinan instansi memberikan kewenangan atau memberikan penugasan kepada pejabat di lingkungannya untuk hadir di dalam rapat harmonisasi, ya itu hak dari pimpinan instansi tersebut,” ujar Supranawa.
Baca juga: BKN: Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK Berbeda dengan Tes Seleksi CPNS
Selain itu, di dalam Pasal 13 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 20214 tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan bahwa badan dan/atau pejabat pemerintah yang memberikan delegasi dapat menggunakan sendiri wewenang yang telah diberikan melalui delegasi tersebut. Dengan demikian, menurut Supranawa, kehadiran kepala BKN dalam rapat harmonisasi itu sama sekali tidak menyalahi kewenangan dan prosedur dalam harmonisasi rancangan peraturan KPK.
”Didasarkan pada beberapa aturan tersebut, kami berkesimpulan bahwa penugasan pegawai untuk mewakili BKN dalam rapat harmonisasi tidak serta-merta menggugurkan kewenangan pimpinan instansi dalam hal ini kepala BKN untuk hadir sendiri secara langsung. Kalau memang substansinya dianggap penting untuk dihadiri oleh pimpinan atau mungkin karena diserahkan kepada bawahan atau staf akhirnya banyak keputusan yang tidak bisa diambil secara cepat maka pimpinan bisa saja mengambil alih posisi tersebut,” kata Supranawa.
Kompetensi BKN
Berkaitan dengan pelaksanaan TWK, dalam kesimpulan LAHP ORI, BKN dinilai tidak kompeten melaksanakan asesmen TWK tersebut. Supranawan pun menyatakan bahwa BKN keberatan atas kesimpulan itu.
Sebab, menurut dia, secara kewenangan, telah diatur di Pasal 48 Huruf b UU No 5/2014 tentang ASN bahwa BKN mempunyai tugas untuk membina dan menyelenggarakan penilaian kompetensi. Dengan begitu, kewenangan BKN seharusnya tak diragukan lagi.
Kemudian, berdasarkan Pasal 35 Ayat 1 Huruf a UU Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa badan dan/atau pejabat pemerintahan dapat memberikan bantuan kedinasan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang meminta dengan syarat antara lain keputusan atau tindakan tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan yang meminta bantuan.
Baca juga: KPK Semestinya Jalankan Rekomendasi Ombudsman RI
Ini, menurut Supranawa, berkaitan dengan kemampuan dan kecakapan BKN. Penyelenggaraan pemerintahan, lanjutnya, tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan karena kurangnya tenaga dan fasilitas yang dimiliki oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan tersebut.
Selanjutnya, di Peraturan BKN No 26/2019 tentang Pembinaan Penyelenggaraan Kompetensi PNS diatur bahwa penilaian kompetensi dilaksanakan oleh penyelenggara penilaian kompetensi pada instansi pemerintah dan penyelenggara penilaian kompetensi selain badan instansi pemerintah. Dalam peraturan BKN tersebut, diatur jika penyelenggaraan penilaian kompetensi tidak terdapat asesor SDM aparatur yang memenuhi kriteria maka dapat ditunjuk asesor SDM aparatur satu jenjang di bawahnya atau asesor SDM aparatur yang sesuai dengan kriteria dari penyelenggara instansi pemerintah lain.
Selain itu, BKN juga dapat melibatkan asesor SDM aparatur jenjang madya dan jenjang utama dari instansi pemerintah lainnya, serta asesor independen yang sesuai dengan persyaratan dan kriteria sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan BKN ini.
”Dengan mendasarkan pada ketentuan-ketentuan tersebut, maka BKN menyatakan menyatakan pelaksanaan asesmen TWK telah sesuai dengan kewenangan BKN dalam melaksakanan penilaian kompetensi ASN. Dengan demikian, BKN menegaskan bahwa BKN sangat kompeten di dalam melaksanakan asesmen TWK. Oleh karena itu, BKN keberatan atas kesimpulan ORI yang pada pokoknya menyatakan BKN tidak kompeten melaksanakan asesmen TWK. Dan untuk itu, kami menyatakan kesimpulan tersebut merupakan kesimpulan yang tidak tepat,” tutur Supranawa.
Berkaitan dengan nota kesepahaman dan kontrak swakelola antara KPK dan BKN, Supranawa pun menjelaskan bahwa kontrak swakelola itu direncanakan sebagai dasar pembiayaan dengan pembebanan pada anggaran KPK. Namun, kontrak itu pada akhirnya tidak dipergunakan karena BKN siap menanggung anggaran pelaksanaan TWK.
Kesepakatan
Berkaitan dengan nota kesepahaman dan kontrak swakelola antara KPK dan BKN, Supranawa pun menjelaskan bahwa kontrak swakelola itu direncanakan sebagai dasar pembiayaan dengan pembebanan pada anggaran KPK. Namun, kontrak itu pada akhirnya tidak dipergunakan karena BKN siap menanggung anggaran pelaksanaan TWK.
”Itu adalah hal yang lazim. Karena semula menggunakan anggaran KPK, kemudian dalam perkembangannya di BKN sudah tersedia. Karena itu, sangat lazim dan masuk akal kalau nota kesepahaman dan perjanjian kerja sama itu tidak digunakan,” ujar Supranawa.
Baca juga: Menanti Sikap Negarawan Pimpinan KPK dan BKN
Di samping itu, kata Supranawa, pembatalan nota kesepahaman dan kontrak swakelola tersebut tidak berpengaruh terhadap hasil asesmen TWK. Sebab, penilaian kompetensi ASN merupakan tugas BKN sesuai dengan mandat yang diberikan UU ASN.
Supranawa juga keberatan atas temuan ORI yang menyebut BKN telah mengabaikan arahan Presiden pada 17 Mei 2021. Kenyataannya, menurut dia, arahan Presiden telah ditindaklanjuti dengan diselenggarakannya rapat koordinasi tindak lanjut hasil asesmen TWK yang dilaksanakan oleh KPK bertempat di BKN pada 25 Mei 2021. Rapat tersebut bahkan dihadiri oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menkumham, Ketua KPK, Kepala BKN, Kepala Lembaga Administrasi Negara, serta Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara.
Keputusan yang diambil di dalam rapat tersebut pun diklaim telah sesuai dengan arahan Presiden, yakni mengangkat pegawai KPK yang lolos TWK menjadi ASN, melakukan pendidikan dan pelatihan bagi 24 pegawai yang tidak memenuhi syarat TWK, serta menyerahkan kepada KPK sebanyak 51 orang yang tak lolos TWK untuk ditindaklanjuti sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
”Sesungguhnya yang bisa melakukan penilaian apakah telah terjadi pengabaian atau tidak terhadap arahan Presiden adalah Presiden sendiri selaku yang memberikan arahan dan tentu pimpinan instansi yang menerima arahan, bukan pihak lain. Oleh karena itu, kami sangat keberatan atas pernyataan Ombudsman tersebut,” ujar Supranawa.
Kenyataannya, arahan Presiden telah ditindaklanjuti dengan diselenggarakannya rapat koordinasi tindak lanjut hasil asesmen TWK yang dilaksanakan oleh KPK bertempat di BKN pada 25 Mei 2021. (Supranawa Yusuf)
Supranawa juga membantah istilah penyisipan ayat TWK. Ia mengakui bahwa KPK sejak awal menyarankan agar tidak ada tes melainkan pegawai cukup membuat surat pernyataan setia terhadap Pancasila, NKRI, pemerintahan yang sah, dan UUD 1945. Namun, proses penyusunan pengaturan sangat dinamis dan setiap mereka yang hadir selalu menyampaikan usulan yang berbeda-beda.
”Di dalam pertemuan-pertemuan, dalam diskusi, berkembang, apa iya cukup pernyataan? Ini, kan, bicaranya bukan bicara pengetahuan atau kesetiaan saja tetapi juga melihat perilakunya seperti apa, keseharian dia seperti apa, nilai-nilai yang ada di dalam manusia itu seperti apa, itu kan juga perlu dites. Oleh sebab itu, pada akhrinya disepakati, ada pasal yang mengatur mengenai perlunya tes wawasan kebangsaan tersebut,” tegas Supranawa.
Tidak utuh
Anggota ORI, Robert Na Endi Jaweng, menyampaikan, penyampaian keberatan itu merupakan hak prosedural dari terlapor maupun pelapor yang disediakan oleh ORI. Ia berharap, keberatan tersebut tidak dimaknai seperti mekanisme banding di pengadilan. Sistem kerja ORI, lanjutnya, akan berjalan seperti biasa sesuai mekanisme yang telah diatur di Undang-Undang No 37/2008 tentang ORI. Artinya, jika tindakan korektif tak kunjung dilaksanakan selama tenggat waktu 30 hari, maka ORI akan tetap mengeluarkan rekomendasi.
”Jadi jangan dipahami, setelah pernyataan (keberatan) ini, kemudian Ombudsman akan memberikan tanggapan, lalu memutuskan ulang, enggak, enggak begitu. Itu bukan sistem kerja di Ombudsman,” kata Robert.
Baca juga: Pimpinan KPK Tak Bisa Berlindung pada Putusan MA dan MK
Robert menyayangkan, substansi keberatan BKN tidak menyentuh konstruksi peristiwa yang sebenarnya. Menurut dia, ada banyak hal yang tak diungkap oleh BKN dalam jumpa pers, Jumat ini.
Misalnya, di dalam rapat harmonisasi terakhir, BKN tak menyampaikan alasan mengenai penandantanganan berita acara oleh jajaran di bawahnya yang tak hadir dalam rapat. Padahal, rapat harmonisasi itu dihadiri oleh kelima pimpinan lembaga.
Di samping itu, di rapat harmonisasi terakhir juga muncul substansi krusial, yakni disisipkannya norma TWK. Padahal, di rapat-rapat harmonisasi sebelumnya, tidak pernah muncul norma TWK. Hal tersebut, menurut Robert, juga tidak diungkap secara jujur oleh BKN.
”Jadi soal isi keberatan ini, semua yang disampaikan itu parsial. Dia tidak memberikan gambaran utuh. Mereka tidak mengungkap cerita senyatanya. Rangkaian cerita utuh harus diungkap,” kata Robert.
Robert pun berharap ada lembaga lain yang bisa mengungkap motif di balik pelaksanaan TWK ini. Sebab, Ombudsman, katanya, tidak boleh melampaui kewenangan karena mereka hanya bisa membahas soal malaadministrasi.
”Makanya, saya berharap, Komisi Nasional HAM dapat mengungkap motif semuanya sehingga publik punya konstruksi utuh,” tutur Robert.