Pimpinan KPK bisa dikenakan sanksi jika tak melaksanakan tindakan korektif Ombudsman. Namun Ombudsman tetap mengupayakan agar permasalahan pada tes wawasan kebangsaan bisa berhenti di tahap tindakan korektif.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman Republik Indonesia mengingatkan ada sanksi yang menanti jika pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Kepegawaian Negara tak kunjung melaksanakan tindakan korektif Ombudsman. Namun, sebelum sampai pada pengenaan sanksi, Ombudsman berharap ada sikap negarawan yang ditunjukkan oleh pimpinan KPK dan BKN.
Sebelumnya, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menyurati KPK untuk menanyakan sejauh mana KPK merespons laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) ORI terkait tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Selain kepada KPK, ORI juga mengirimkan surat ke BKN untuk menanyakan hal serupa.
Sebagaimana diketahui, terlapor, KPK dan BKN, memiliki waktu 30 hari untuk menjalankan tindakan korektif ORI, salah satunya agar 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK tetap dialihkan statusnya menjadi aparatur sipil negara (ASN). Adapun ORI menyampaikan hasil temuan pada 21 Juli 2021.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang ORI, jika tindakan korektif tidak dilaksanakan, ORI akan segera mengeluarkan rekomendasi. Jika tindakan korektif tak juga dilaksanakan, Presiden punya kewenangan mengambil alih.
Anggota ORI Robert Na Endi Jaweng saat dihubungi di Jakarta, Rabu (4/8/2021), mengatakan, LAHP yang berisi tindakan korektif ataupun nanti rekomendasi ORI adalah produk dari lembaga negara yang wajib ditaati terlapor. Jika terlapor tidak mematuhi LAHP dan rekomendasi, artinya tidak patuh hukum.
Seorang pejabat yang tak patuh hukum itu, lanjut Robert, melanggar sumpah jabatan dan berimplikasi hukum. Menurut UU ORI, pejabat bisa terkena sanksi administratif.
”Namun, kami belum sampai ke tahap (pengenaan sanksi) tersebut. Hari ini, kami berada di saran perbaikan dan tindakan korektif untuk dipatuhi. Fokus kami adalah pada dijalankannya tindakan korektif, bukan soal sanksi,” ujar Robert.
ORI adalah produk dari lembaga negara yang wajib ditaati terlapor. Jika terlapor tidak mematuhi LAHP dan rekomendasi, artinya tidak patuh hukum.
Sikap negarawan
Robert berharap, penyelesaian kasus ini bisa berhenti di tahap tindakan korektif sehingga tak perlu membicarakan sanksi dan lain-lain. Lagi pula, itulah hakikat ORI sebagai lembaga pemberi pengaruh (magistrature of influence) dan mengedepankan tindakan persuasif.
”Jadi, secara persuasif dan bermodal pengaruh sebagai magistrature of influence dan bukan magistrature of sanction. Kami percaya dan meyakini niat baik pimpinan KPK dan BKN sebagai negarawan yang taat asas dan patuh hukum,” ucap Robert.
Secara terpisah, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyampaikan, KPK akan segera merespons temuan ORI. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BKN Bima Haria Wibisana menambahkan, pemerintah akan menjawab bersama-sama laporan ORI tersebut. Namun, ia tak merinci kapan jawaban itu disampaikan.
Hotman Tambunan, perwakilan dari 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK, mengatakan, KPK harus melaksanakan tindakan koreksi sesuai temuan ORI. Jika tidak, ORI harus mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden. Ia berharap, ORI tidak perlu sampai mengeluarkan rekomendasi agar tidak mengganggu Presiden yang sedang fokus menangani pandemi Covid-19.
Ia menegaskan, seharusnya pimpinan KPK melaksanakan perbaikan berdasarkan temuan lembaga negara, yakni ORI. Sebab, ORI diberikan kewenangan tersebut berdasarkan undang-undang. Karena itu, hasil temuan ORI berlaku sebagai hukum yang wajib dilaksanakan tanpa syarat apa pun.
”Menghormati hukum berarti konsisten melaksanakan hukum yang berlaku,” kata Hotman.
Hotman menyampaikan, pihaknya juga masih menunggu putusan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Hotman berharap, Komnas HAM bisa menemukan motif perbuatan penyelenggaraan TWK. Ia meyakini, ada dugaan persekongkolan jahat dalam proses TWK karena prosesnya melibatkan banyak lembaga negara.
”Enam pimpinan lembaga negara ikut memecat pegawai KPK. Padahal, tidak ada dasar kewenangan mereka untuk itu. Begitu juga untuk tes yang melibatkan banyak lembaga intelijen dan begitu tertutup,” ujar Hotman.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, saat ini Komnas HAM sedang dalam proses penulisan laporan akhir. Terkait dengan temuan baru oleh Komnas HAM pada pelaksanaan TWK, Anam meminta agar menunggu sampai dibuka ke publik. Sebelumnya, Anam menuturkan, fakta baru terkait TWK tersebut memengaruhi konstruksi peristiwa.
Pengiriman surat ORI ke KPK dan BKN tentunya menunjukkan sikap kelembagaan yang mencerminkan asas-asas umum pemerintahan yang baik sesuai UU Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, khususnya asas kecermatan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Selesaikan di pejabat bawah
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto berpandangan, pengiriman surat ORI ke KPK dan BKN tentunya menunjukkan sikap kelembagaan yang mencerminkan asas-asas umum pemerintahan yang baik sesuai UU Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, khususnya asas kecermatan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.
Dengan berpegang pada asas-asas tersebut, ORI melakukan upaya promotif sekaligus preventif. ”Jangan sampai terjadi pembiaran sehingga mengakibatkan hasil hasil temuan Ombudsman terabaikan,” tutur Aan.
Dampak akhirnya, bila putusan ORI terabaikan sampai tenggat, akan muncul rekomendasi kepada Presiden. Menurut Aan, ini seharusnya tidak perlu terjadi sehingga persoalan cukup selesai di para pejabat di bawah Presiden.
”Sangat ironis, Presiden lebih baik tidak diributkan dengan masalah yang seharusnya selesai di tingkat bawahannya. Tetapi, kalau masih belum ada langkah konkret tindak lanjut KPK dan BKN, maka sudah waktunya Presiden turun tangan,” ujar Aan.