Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan keberatan KPK atas Ombudsman RI bentuk pengingkaran. Sebaliknya, KPK nyatakan ORI melanggar kewajiban hukum masalah di pengadilan MK.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pokok-pokok keberatan yang disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Ombudsman RI merupakan bentuk pengingkaran terhadap kewenangan lembaga negara yang menjalankan tugas terkait tata negara. Sikap tersebut merupakan contoh buruk dari lembaga antirasuah yang seharusnya bersih dalam tata administrasi.
Sebelumnya, KPK menyatakan keberatan untuk menindaklanjuti tindakan korektif yang disampaikan oleh Ombudsman Republik Indonesia terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan KPK. Alih-alih menjawab laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) ORI terkait tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK, KPK justru menyampaikan 13 pokok keberatan KPK terhadap LAHP ORI. Di antaranya, KPK menyatakan Ombudsman RI melanggar kewajiban hukum untuk menolak laporan atau menghentikan pemeriksaan atas laporan yang diketahui sedang dalam pemeriksaan pengadilan di MK.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, ketika dihubungi, Senin (9/8/2021), mengatakan, istilah keberatan hanya ada di Undang-Undang No 37/2008 tentang Ombudsman RI yang biasa digunakan oleh pelapor, bukan terlapor. Selama ini tidak pernah terjadi lembaga atau pejabat negara yang dilaporkan ke ORI yang ditindaklanjuti dengan LAHP ORI, kemudian dibalas dengan penyampaian keberatan.
Menurut Feri, respons KPK sebagai institusi dalam bentuk keberatan kelembagaan bukan merupakan tindakan melanggar hukum. Namun, hal itu tidak sesuai dengan proses administrasi ORI.
Itu berarti KPK mencoba mengingkari peraturan perundang-undangan, yakni UU No 37/2008 tentang ORI yang mana konteksnya adalah lembaga ORI sedang menjalankan kewenangan selaku lembaga atau pejabat negara dalam menjalankan tata negara. (Feri Amsari)
”Namun, itu berarti KPK mencoba mengingkari peraturan perundang-undangan, yakni UU No 37/2008 tentang ORI yang mana konteksnya adalah lembaga ORI sedang menjalankan kewenangan selaku lembaga atau pejabat negara dalam menjalankan tata negara,” kata Feri.
Menurut Feri, hal itu merupakan contoh buruk, terlebih karena dilakukan oleh KPK yang adalah lembaga yang dianggap bersih dalam tata administrasi. Selain itu, KPK semestinya memahami bahwa dalam konteks kekuasaan, setiap lembaga memiliki tugas dan fungsinya. Dalam hal ini, semestinya KPK menaati sebagaimana lembaga lain menaati ketika KPK menjalankan kewajibannya.
Padahal, lanjut Feri, ketika menilik lebih dalam terhadap 13 pokok keberatan KPK tersebut, terdapat dua keberatan yang dinilai tidak tepat karena pemahaman yang tidak utuh. Pertama, keberatan bahwa ORI melakukan pelanggaran administrasi dalam melakukan klarifikasi terhadap KPK memperlihatkan bahwa KPK tidak membaca payung hukumnya, yakni UU tentang ORI yang menjelaskan bahwa asisten bidag pemeriksaan ditugaskan membantu pelaksanaan tugas dan fungsi ORI.
Demikian pula terkait keberatan bahwa ORI dinilai melanggar konstitusi karena yang berwenang menguji keabsahan formil Peraturan KOK No 1/2020 adalah Mahkamah Agung (MA). KPK dinilai salah memahami LAHP ORI karena di dalam LAHP yang dipertanyakan adalah proses pembentukan peraturan komisi, bukan peraturannya sendiri.
”Sementara, KPK tidak menjawab LAHP ORI, seperti soal backdate, materi muatan TWK yang bermasalah, terkait soal alih status. Ini sama sekali tidak dijawab. Yang dilakukan KPK justru menyerang ORI. Jadi sebenarnya KPK di titik tertentu mengakui ada kesalahan, tetapi dijawab dengan menyerang ORI,” ujar Feri.
Menurut Feri, ke depan ORI akan mengeluarkan rekomendasi yang harus dijalankan. Jika terdapat satu tindakan KPK yang mengandung malaadministrasi, berarti seluruh tindakan terkait TWK batal demi hukum. Hal itu dapat menjadi obyek di pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Namun demikian, KPK diharapkan menjadi lembaga negara yang baik. Ketidaknyamanan yang timbul dalam penyelenggaraan negara harus disadari sebagai kealpaan yang perlu untuk dikoreksi dan diperbaiki.
Sebelumnya, anggota ORI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, ORI tidak akan membalas surat dari KPK berkaitan dengan substansi dari isi surat tersebut. Surat balasan hanya mengenai pemberitahuan bahwa ORI sudah menerima surat keberatan tersebut.
Menurut Robert, surat keberatan KPK tidak memengaruhi prosedur tahapan yang ada, yakni harus ada tindakan korektif berdasarkan LAHP yang telah disampaikan. Apabila selama 30 hari KPK tidak melakukan tindakan korektif, ORI akan mengeluarkan rekomendasi. (Kompas.id, 8/8/2021)
Kepatuhan hukum administrasi
Tentu proses ini menjadi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan karena kita semua tunduk pada aturan hukum dan kita harusnya patuh atas proses itu. (Herlambang P Wiratraman)
Secara terpisah, pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman, dalam diskusi daring, berpandangan, LAHP ORI merupakan tindakan korektif atas berbagai temuan baik di level kebijakan, tahap pelaksanaan, sampai tahap penetapan hasil TWK. Dalam kerangka itu, ORI bertujuan untuk membangun komitmen penyelenggaraan kekuasaan agar lebih mematuhi aturan main yang berkait dengan hal-hal yang sifatnya administratif, terutama terkait dugaan maladministrasi.
”Tentu proses ini menjadi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan karena kita semua tunduk pada aturan hukum dan kita harusnya patuh atas proses itu,” kata Herlambang.
Herlambang berpandangan, buntut dari sengkarut terkait TWK ini adalah pengambilalihan masalah oleh Presiden. Masalah ini akan menjadi ujian bagi komitmen Presiden Joko Widodo untuk menyatakan secara tegas arah politik negara hukum Indonesia.
Hal itu berarti, lanjut Herlambang, Presiden akan dihadapkan pada pilihan mengikuti rekomendasi yang nantinya akan diberikan ORI atau sebaliknya semakin membuat timpang nalar publik yang telah berkali-kali disuguhi dengan hal-hal yang mengingkari nalar publik.
Herlambang pun mengingatkan bahwa ORI berperan penting untuk membangun penyelenggaraan kekuasaan sebagai elemen negara hukum, terutama dalam monitor atau pengawasan untuk menyeimbangkan kekuasaan agar tidak sewenang-wenang.