Pimpinan KPK Tak Bisa Berlindung pada Putusan MA dan MK
Pimpinan KPK diingatkan untuk tidak berlindung pada putusan MA dan MK terkait tes wawasan kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Hasil pemeriksaan Ombudsman tetap harus dilaksanakan, apa pun putusan MA atau MK kelak.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK tak kunjung menjalankan tindakan korektif yang diminta Ombudsman Republik Indonesia terkait temuan malaadministrasi dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaaan pegawai KPK. Sikap itu diambil karena KPK masih menunggu hasil dari sejumlah gugatan terkait alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Ketua KPK Firli Bahuri, dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Senin (2/8/2021), mengatakan, pihaknya sudah mempelajari laporan hasil pemeriksaan Ombudsman Republik Indonesia (ORI). KPK, lanjutnya, akan mengambil sikap atas laporan ORI tersebut dan akan disampaikan kepada publik.
Ia menyatakan, KPK masih menunggu proses hukum yang tengah berjalan di Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Menurut dia, jika suatu persoalan sudah masuk ranah hukum, maka ada independensi hukum.
”Jadi, kewenangan lain harus tunduk pada hukum. Karena itu, KPK pun mengambil sikap menghormati hukum,” ucap Firli.
Pada Senin, MK mulai menyidangkan perkara uji materi terhadap Pasal 69B Ayat (1) dan Pasal 69C Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, yang mengatur kewajiban pegawai KPK untuk menjadi aparatur sipil negara (ASN). Uji materi diajukan lembaga swadaya masyarakat (LSM) KPK Watch Indonesia.
Direktur Eksekutif KPK Watch Indonesia M Yusuf Sahide berpandangan, hasil tes wawasan kebangsaan (TWK) yang kemudian dijadikan dasar untuk menentukan pegawai KPK diangkat menjadi ASN merupakan tindakan yang menyebabkan tidak terpenuhinya jaminan konstitusi. Pegawai tidak diperlakukan adil dan layak. Menurut dia, proses alih status pegawai KPK menjadi ASN seharusnya tidak disamakan dengan seleksi ASN baru ataupun promosi jabatan ASN.
Selain proses hukum di MK, MA saat ini juga tengah menguji Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BKN Bima Haria Wibisana menyampaikan, pemerintah secara bersama-sama akan menjawab laporan hasil pemeriksaan ORI. Namun, ia tidak menegaskan kapan jawaban itu akan disampaikan. ”Tergantung instansi lainnya juga,” ujarnya.
Tidak patuh hukum
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, berpandangan, tidak ada hubungan antara rekomendasi ORI dan putusan MA ataupun MK. ORI, lanjutnya, berkaitan soal malaadministrasi dalam pelayanan publik, sedangkan MK dan MA soal norma peraturan perundang-undangan.
Lagi pula, ujar Bivitri, jika nantinya MA menyatakan Peraturan KPK No 1/2021 itu sah, temuan ORI tak lantas menjadi batal. Sebab, temuan ORI bukan menyoal tindakan berdasarkan peraturan KPK tersebut, melainkan penyalahgunaan wewenang dengan pemecatan berdasarkan berita acara tertanggal 25 Mei dan Surat Keputusan Nomor 652 Tahun 2021 tentang Tindak Lanjut Hasil TWK yang tidak pantas serta BKN yang tidak kompeten dalam melakukan TWK. ”Temuan itu semua tidak ada hubungan dengan sah atau tidak sahnya Peraturan KPK No 1/2021,” kata Bivitri.
Begitu pula dengan pasal yang sedang diiuji di MK, perkara tersebut soal norma alih status pegawai KPK sehingga tidak ada hubungannya dengan proses pelaksanaan TWK yang diperiksa ORI. Pimpinan KPK, lanjut Bivitri, tak bisa lantas berlindung pada putusan MA ataupun MK karena antara ORI, MA, dan MK memiliki dimensi pengujian yang berbeda-beda.
”Firli kelihatannya tidak paham soal ini atau memang mau menghindar dari kewajibannya saja alias tidak taat pada hukum. Jadi, menurut saya, KPK menunjukkan saja ketidakmauannya untuk mematuhi hukum,” ucap Bivitri.
Peneliti Pusat Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman, sependapat dengan Bivitri bahwa putusan MA dan MK berbeda dengan putusan ORI. Putusan MA dan MK merupakan putusan di badan yudisial, sedangkan fokus ORI hanya malaadministrasinya.
”Kalau di situ sudah ada malaadminsitrasinya, dibuktikan Ombudsman, dan sudah diputuskan Ombudsman, maka tanpa menunggu putusan-putusan badan peradilan pun, itu sudah menjadi kewajiban bagi lembaga yang direkomendasikan oleh Ombudsman untuk melaksanakannya,” ujar Zaenur.
Apalagi, lanjut Zaenur, berdasarkan UU No 37/2008 tentang ORI, putusan ORI bersifat final dan mengikat. Dengan begitu, tak ada celah bagi KPK selain melaksanakan putusan ORI, bukan malah nanti berlindung pada putusan MA atau MK yang sejatinya memiliki dimensi berbeda.
”Yang disampaikan Ketua KPK itu menunjukkan tidak adanya itikad baik untuk mematuhi hukum. Jika tidak dilaksanakan, artinya melanggar undang-undang. Tidak mematuhi perintah dari undang-undang,” tutur Zaenur.
Sementara itu, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam, mengatakan, pihaknya menemukan fakta baru terkait pelaksanaan TWK. Fakta baru tersebut dianggap memengaruhi konstruksi peristiwa yang saat ini tengah disusun laporannya.
”Fakta baru ini penting dan menjadi salah satu basis dalam kerangka peristiwa dan menentukan bentuk pelanggaran HAM-nya,” kata Choirul.
Karena itu, lanjut Choirul, laporan hasil penyelidikan TWK belum dapat diselesaikan minggu lalu. Ia berharap minggu ini laporan tersebut dapat selesai.