Calon dengan Latar Belakang Ahli Lingkungan Jadi Incaran Penguji
Dinilai memiliki latar belakang sebagai ahli lingkungan, dua peserta seleksi Calon Hakim Agung 2021 pun dicecar sejumlah pertanyaan terkait dengan permasalahan lingkungan oleh tim penguji. Seleksi ini digelar terbuka.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tahapan wawancara untuk seleksi Calon Hakim Agung 2021 yang diikuti 24 hakim di Komisi Yudisial, masih berlanjut. Pada hari ketiga, Kamis (5/8/2021), ada dua dari lima orang calon hakim agung untuk kamar pidana, sama-sama berlatar belakang sebagai ahli hukum lingkungan. Tim penguji pun mencecar mereka dengan sejumlah pertanyaan terkait permasalahan lingkungan.
Tim penguji yang hadir terdiri dari delapan orang, yaitu komisioner KY dan ahli hukum tata negara Jimly Asshiddiqie. Sementara untuk peserta seleksi yang diwawancara pada sesi pertama terdiri dari mantan Sekretaris Mahkamah Agung Achmad Setyo Pudjoharsoyo, Eddy Parulian, dan Hermansyah. Pada sesi berikutnya, wawancara dilanjutkan kepada Herry Supriyono, dan Yohanes Priyana.
Dari kelima peserta itu, Eddy Parulian dan Hermansyah adalah calon hakim agung yang memiliki latar belakang sebagai ahli hukum lingkungan. Eddy Parulian saat ini menjabat sebagai Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Ambon. Adapun Hermansyah adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalimantan Barat.
Tidak banyak hakim agung yang berasal dari hukum lingkungan. Padahal, isu lingkungan itu adalah burning issues yang dibicarakan orang sekarang dan pada masa depan.
Jimly Asshiddiqie selaku penguji, misalnya, menanyakan kepada Hermansyah alasan ia mendaftar sebagai calon hakim agung di kamar pidana. Sebab, latar belakang ilmunya adalah dosen ilmu hukum lingkungan. Terlebih, Hermansyah tidak berasal dari jalur hakim karier, tetapi akademisi.
”Tidak banyak hakim agung yang berasal dari hukum lingkungan. Padahal, isu lingkungan itu adalah burning issues yang dibicarakan orang sekarang dan pada masa depan. Kalau saudara jadi hakim agung, apa yang bisa Anda bantu untuk membangun kesadaran ekosistem pada masa depan?” kata Jimly.
Hermansyah berpendapat, permalasahan lingkungan memang menjadi hal krusial. Kerusakan ekosistem dan lingkungan menjadi masalah luar biasa yang dihadapi dunia. Oleh karena itu, jika dia menjadi hakim agung dan menangani perkara lingkungan, dia akan mengedepankan azas prinsip lingkungan. Dia juga mengatakan, meskipun di MA sudah ada sertifikasi hakim lingkungan, penanganan perkara masih terjebak pada doktrin isu hukum.
Hermansyah kemudian memberikan contoh, masalah lingkungan didekati dengan unsur kesalahan atau kesengajaan, yang tidak sesuai dengan realita di lapangan. Hal itu yang menjadikan persoalan lingkungan dipandang tidak adil di masyarakat.
”Jika saya diterima, saya akan mengedepankan asas prinsip lingkungan dalam penanganan perkara hukum isu-isu lingkungan,” kata Hermansyah.
Sementara itu, Eddy Parulian, sebagai hakim tinggi, dia pernah mengikuti diklat sertifikasi hakim lingkungan. Dia mengaku sudah sampai pada tahapan training of trainer (TOT).
Penguji Siti Nurdjanah menanyakan secara spesifik perihal profesionalitasnya saat menjadi hakim. Berdasarkan catatan KY, pernah ada perkara lingkungan yang masuk ke Pengadilan Negeri Sidoarjo. Eddy ditunjuk menjadi salah satu majelis hakim perkara lingkungan. Namun, Eddy dianggap tidak menggunakan hak ingkar sehingga menjadi ramai di pemberitaan. Siti meminta Eddy menjelaskan terkait perkara tersebut.
Eddy mengatakan, pada saat itu perkara lingkungan itu berada di Pengadilan Negeri Malang. Dia ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk menangani perkara itu karena pernah belajar hukum lingkungan hidup di luar negeri. Dia sempat menolak permintaan itu karena belum memegang surat keputusan sertifikasi hakim lingkungan. Namun, karena sudah diperintahkan oleh Kepala Pengadilan Negeri Malang, dia tetap melaksanakan perintah itu.
”Saya sudah lapor kalau belum dapat SK, kalau bisa jangan saya menangani perkara itu. Namun, saya tetap diperintahkan menangani perkara dan dijanjikan SK segera keluar. Karena merasa memiliki kemampuan, saya menyanggupi,” kata Eddy.
Eddy menjelaskan, dia menyanggupi menangani perkara itu karena dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, tidak ada aturan syarat SK hakim lingkungan, untuk bisa menangani perkara lingkungan. Dia khawatir, jika tidak menyanggupi perintah itu, penyelesaian perkara justru akan terkatung-katung. Dalam perjalanannya, akhirnya Eddy digantikan oleh hakim yang lain.
”Tetapi, ternyata saya dengar yang menggantikan saya itu baru dapat SK juga dari MA,” terang Eddy.
Sebelumnya, Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) mendesak KY untuk menjadikan proses wawancara sebagai sarana untuk menggali lebih dalam terkait kompetensi, rekam jejak, dan integritas calon. Sebagai pemegang amanat konstitusi, peran KY sangat sentral dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Kami juga berharap CHA (calon hakim agung) yang akan dipilih oleh KY dalam seleksi wawancara ini memiliki keberpihakan pada kelompok rentan, yaitu perempuan, anak, masyarakat miskin, kelompok minoritas, dan perlindungan lingkungan hidup. (Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Nasional Totok Yulianto
Oleh karena itu, KPP mendesak KY untuk memilih calon hakim agung yang memiliki profil di antaranya visi-misi yang jelas sebagai hakim agung, tidak memiliki catatan integritas yang buruk, memiliki harta kekayaan yang wajar, serta memiliki pemahaman mumpuni mengenai hukum dan peradilan sesuai kamar perkara yang dipilih.
”Kami juga berharap CHA yang akan dipilih oleh KY dalam seleksi wawancara ini memiliki keberpihakan pada kelompok rentan, yaitu perempuan, anak, masyarakat miskin, kelompok minoritas, dan perlindungan lingkungan hidup,” kata Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Nasional Totok Yulianto.