Hakim Diharapkan Progresif dalam Penanganan Kasus-kasus Lingkungan Hidup
Penanganan kasus-kasus hukum lingkungan hidup mesti ditangani oleh hakim-hakim yang berpikiran progresif. Jika pasal yang digunakan tidak memuaskan, hakim wajib menggali rasa keadilan yang ada dalam masyarakat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dalam menangani perkara lingkungan hidup, hakim diharapkan bersikap progresif. Sebab, perkara lingkungan hidup rumit dan membutuhkan banyak bukti-bukti ilmiah. Hakim juga harus berani menerapkan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup seperti kehati-hatian judicial activism.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Arif mengatakan, prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut merupakan bagian pendahuluan yang disebutkan dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.
Berdasarkan keputusan MA tersebut, prinsip kehati-hatian dan judicial activism atau pilihan keputusan yang dibuat oleh hakim dalam mewujudkan keadilan merupakan hal mutlak. Bahkan, menurut Arif, semangat judicial activism telah diperlihatkan para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memutuskan berbagai terobosan dalam melahirkan hukum melalui putusan-putusannya.
Hakim boleh berlandaskan personal view-nya terhadap persoalan publik sebagai panduan dalam dia mengambil keputusan.(Arif)
“Hakim boleh berlandaskan personal view-nya terhadap persoalan publik sebagai panduan dalam dia mengambil keputusan,” ujarnya dalam webinar bertajuk “Menuntut Keadilan Antar-Generasi Melalui Gugatan Hukum di Indonesia” yang diselenggarakan Walhi Nasional dan ICEL, Selasa (18/8/2020).
Sikap progresif hakim ini juga menjadi salah satu yang ditekankan mendiang ahli hukum Satjipto Rahardjo. Menurut Satjipto, hakim dapat menciptakan atau memberi makna baru dalam kehidupan hukum ketika hukum dan demokrasi kehilangan pegangan.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Anri Wibisana mengatakan, hak menggugat haruslah spesifik. Dalam suatu kasus lingkungan hidup, hakim juga seharusnya meneliti hak apa saja yang lebih spesifik dari gugatan memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
“Misalkan hak yang lebih spesifik itu hak terkait emisi yang aman atau baku mutu. Tetapi pengadilan bagaimanapun telah mengatakan bahwa hak atas lingkungan yang ada dalam konstitusi merupakan suatu hal yang bisa dijadikan dasar jika seseorang merasa itu dilanggar,” ujarnya.
Hakim MK 2008-2013 Achmad Sodiki mengatakan, dalam tataran konstitusi, norma hukum lingkungan juga dikenal dengan istilah green constitution atau konstitusi hijau. Dalam UUD 1945, konstitusi hijau menyangkut tiga hal yakni Pasal 33 ayat 3 dan 4, Pasal 28, serta berbagai yurisprudensi dan putusan MK.
Pasal 33 ayat 3 telah jelas menyebutkan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sementara pada ayat 4 juga ditegaskan bahwa perekonomian nasional salah satunya diselenggarakan dengan berwawasan lingkungan.
“Masalah lingkungan ini tidak bisa hanya dilihat secara hukum tekstual, tetapi harus mengadopsi berbagai macam pandangan di luar teks. Jika seandainya pasal yang digunakan tidak memuaskan, hakim wajib menggali rasa keadilan yang ada dalam masyarakat,” katanya.