RUUHP Lemahkan Hukum Lingkungan
Materi terkait Pidana lingkungan harus dikeluarkan dari Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana karena melemahkan penegakan hukum lingkungan.
JAKARTA, KOMPAS -- Pemerintah diminta meninjau ulang isi Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana terkait pidana lingkungan karena berpotensi melemahkan penegakan hukum lingkungan. Apabila hal ini tak memungkinkan, materi terkait pidana lingkungan agar dikeluarkan dari RUUHP. Penegakan hukum lingkungan tetap mengandalkan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Raynaldo G Sembiring, Deputi Direktur Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Rabu (14/3), di Jakarta, menyebutkan, isi RUUHP terkait pidana lingkungan mengalami kemunduran. Ini karena pemerintah-DPR kembali memasukkan syarat unsur “melawan hukum”.
Padahal, pembuktian unsur “melawan hukum” ini telah dikeluarkan dalam revisi UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi UU 32/2009 untuk mengatasi kesulitan dalam penegakan hukum lingkungan. Kesulitan pembuktian “melawan hukum” ini misalnya terkait kasus pencemaran air laut akibat pembuangan limbah tailing oleh perusahaan yang memiliki izin membuang limbah tailing.
Permasalahannya, unsur melawan hukum ini diartikan sebagai melawan hukum formal, yaitu melanggar perundang-undangan yang dalam hal tindak pidana lingkungan adalah kepemilikan izin. Ini membuat pembuktian unsur melawan hukum menjadi sulit karena anggapan bahwa jika memiliki izin tak mungkin terjadi pelanggaran undang-undang.
“Kalau kita kekeuh ada unsur melawan hukum, maka tindak pidana pencemaran ini jadi tidak kena,” kata Andri G Wibisana, pakar hukum lingkungan Universitas Indonesia.
Contoh lain, pencemaran air sungai oleh perusahaan-perusahaan yang memiliki izin pembuangan air limbah. Secara perizinan, perusahaan ini tidak salah. Namun fakta di lapangan terjadi pencemaran sungai.
Menjawab kelemahan
Andri mendorong agar RUUHP bisa menjawab kelemahan dalam UU 32/2009. Misalnya terkait pembuktian “hubungan sebab-akibat” atau kausalitas dalam kasus-kasus pencemaran udara atau air.
Ia mencontohkan, penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan belum menyentuh aspek dampak kabut asap atau pencemaran udara. Kasus-kasus yang ditangani biasanya hanya mengorek pidana pembakaran serta kerusakan tanah. “Sangat susah membuktikan bahwa asap dari sebuah konsesi menyebabkan kabut asap atau pencemaran udara pada suatu lokasi,” kata Andri.
Di Singapura, perusahaan penyebab pencemaran udara maupun perusahaan yang “berkontribusi” atas pencemaran itu bisa ditangkap.
Terkait pidana korporasi, kata Andri, definisi korporasi dan pengurus korporasi harus diperjelas dalam RUUHP. Selama ini, korporasi oleh hakim bisa ditafsirkan sebagai korporasi dan atau pengurus perusahaan dan atau penanggung jawab di lapangan. Dampaknya, dalam kasus pencemaran lingkungan di Bekasi, misalnya, Mahkamah Agung menjatuhkan pidana denda kepada perusahaan dan pidana kurungan kepada pengurus perusahaan.
“Padahal dalam dakwaan hanya pidana pada perusahaan. Jadi terjadi pelanggaran HAM karena pengurus perusahaan ini dihukum tanpa disidang,” kata dia.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menyatakan pelemahan pidana lingkungan dalam UU 32/2009 juga ditunjukkan melalui sanksi pidana. “Sistem perumusan sanksi tindak pidana lingkungan hidup jauh lebih longgar dibandingkan yang dirumuskan UU PPLH (UU 32/2009),” kata Boy Even Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional Walhi.
Contohnya, sanksi penjara pada pidana lingkungan RUUHP hanya menggunakan kata “paling lama”. Di UU 32/2009 menggunakan sanksi penjara dengan rentang waktu yaitu “paling singkat” dan “paling lama”. Pengaturan yang hanya menggunakan ukuran minimal ini bisa menimbulkan disparitas sanksi yang lebar pada pelaku kejahatan lingkungan.
Konversi pidana
Lebih lanjut, Boy menuturkan RUUHP menggunakan rumusan sanksi pidana berupa pidana penjara yang bisa dikonversi menjadi pidana denda. Ini terdapat pada Pasal 374, “Setiap orang yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III”.
Pada UU 32/2009 sanksi pidana penjara bersifat akumulatif dengan sanksi pidana denda. Contohnya pada pasal 98 (1), “Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000 (lima belas miliar rupiah)”.
Reynaldo Sembiring mempertanyakan rasionalitas konversi pidana penjara menjadi pidana denda. Apalagi dalam pasal 131 yang berisi pidana lingkungan korporasi dalam RKUHP, menyatakan pidana pokok bagi pelaku korporasi adalah denda. Tetapi petunjuk penjatuhan pidana kepada korporasi sangat sedikit dan tidak jelas terutama pada rumusan pasal yang ancaman hukumannya kumulatif (penjara dan denda). Hal ini menimbulkan pertanyaan baginya, "Apakah akan terjadi penjumlahan denda hasil konversi pidana penjara dan pidana denda yang sudah tercantum dalam rumusan pasal?" kata dia.
“Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 dengan segala kelemahannya lebih dilemahkan lagi dengan RUUHP ini,” kata dia.
Karena itu, ia yang juga mewakili organisasi ICEL,Walhi, Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) meminta agar pembahasan RUUHP dikaji ulang. Selain itu, mereka mendorong agar tindak pidana lingkungan pada RUUHP mengambil semua norma dalam UU 32/2009, memperjelas asas hukum pidana yang digunakan, menghapus unsur “melawan hukum”, memperjelas sanksi dan tujuan pemidanaan bagi tindak pidana lingkungan hidup.
“Bila rekomendasi ini tidak dijalankan, demi kepentingan hukum dan pelestarian lingkungan hidup, kami mengusulkan untuk mengeluarkan tindak pidana lingkungan hidup dari RUUHP,” kata Reynaldo. Ia mengatakan tindak pidana lingkungan hidup tetap akan jalan seperti halnya tindak pidana kehutanan dan pertambangan yang tak disebut dalam RUUHP.