Presiden Didorong Turun Tangan Atasi Kebuntuan RUU Perlindungan Data Pribadi
Presiden diminta menerbitkan perpres terkait dengan pembentukan badan arbitrase untuk menangani pencurian dan kebocoran data pribadi. Langkah ini untuk melindungi hak warga di tengah RUU PDP belum juga tuntas dibahas.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang buntu karena perbedaan pandangan antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rayat, Presiden didorong untuk turun tangan. Presiden dapat mengeluarkan peraturan presiden untuk membentuk badan arbitrase perlindungan data pribadi untuk menyelesaikan sengketa perlindungan data pribadi warga negara, termasuk jika terjadi pencurian dan pembobolan data pribadi warga.
Pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi K Sutedja, Senin (5/7/2021), di Jakarta mengatakan, pembahasan RUU PDP yang buntu memberikan kerugian bagi upaya perlindungan data pribadi warga negara sebab di saat yang sama kerentanan pencurian, pembobolan, peretasan, dan penyalahgunaan data pribadi kian tinggi. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal itu, sebaiknya Presiden turun tangan dengan membentuk badan arbitrase yang sifatnya sementara sembari menunggu pembahasan RUU PDP itu diteruskan.
”Kalau menunggu pembahasan RUU PDP selesai, ini tentu akan memerlukan waktu yang lama. Saat ini pembahasan juga sudah berkali-kali dan akhirnya deadlock. Oleh karena itu, untuk mengatasi pembobolan, pencurian, dan penyalahgunaan data pribadi, sebaiknya presiden segera turun tangan membentuk badan arbitrase yang mengatasi sengketa data pribadi, atau ketika terjadi pelanggaran data pribadi dilakukan oleh pihak pengelola data pribadi,” kata Ardi.
Badan arbitrase ini dapat dibentuk melalui peraturan presiden (perpres) sehingga anggota badan bertanggung jawab kepada presiden. Badan ini akan menangani sengketa yang diajukan oleh warga atau pihak-pihak lain yang merasa datanya disalahgunakan. Badan ini, menurut Ardi, dapat diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi adminitratif, bahkan denda kepada pengelola data yang secara sengaja abai dalam melindungi data pribadi warga yang dikelolanya.
”Selama ini, kan, kalau ada kebocoran data atau penyalahgunaan data tidak ada sanksi yang diberikan, dan tidak dilakukan apa-apa terhadap pihak yang melanggar perlindungan data warga. Dengan adanya badan arbitrase yang sifatnya sementara ini sampai terbentuknya UU PDP, kita akan memiliki kejelasan badan mana yang menangani sengketa pengelolaan data pribadi. Pihak-pihak yang melanggar pengelolaannya pun dapat dikenai sanksi,” kata Ardi.
Kebocoran dan penyalahgunaan data pribadi tidak boleh dibiarkan begitu saja. Harus ada lembaga sementara, semacam badan arbitrase yang memutuskan sengketa pengelolaan data pribadi warga.
Upaya pembentukan badan pengawasan pengelolaan data pribadi selama ini menjadi poin utama yang menjadi perbedaan sikap antara pemerintah dan DPR. Sampai ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR mengenai status kelembagaan otoritas pengawas tersebut, menurut Ardi, kebocoran dan penyalahgunaan data pribadi tidak boleh dibiarkan begitu saja. Harus ada lembaga sementara, semacam badan arbitrase yang memutuskan sengketa pengelolaan data pribadi warga.
”Karena, urusan data ini kan menyangkut nasib semua orang. Data telah menjadi minyak baru, yang pengelolaannya akan berdampak pada kondisi sosial, ekonomi, dan politik, serta pertahanan keamanan kita. Pengelolaan data pun tidak hanya soal kepentingan orang per orang, tetapi sudah menjadi persoalan pertahanan dan keamanan negara,” katanya.
Badan arbitrase ini, lanjut Ardi, dibentuk dengan konsepsi kelembagaan yang berperan sebagai penengah, yang akan bersidang manakala ada permohonan atau pengajuan sengketa jika ada persoalan dalam pengelolaan data.
”Kebijakan badan arbitrase ini akan mengadopsi contoh-contoh baik (best pratices) yang terjadi di industri. Apa pun yang diputuskan itu akan mengikat semua pihak, termasuk jika ada penjatuhan denda. Badan arbitrase ini sekalipun sifatnya sementara sampai ada badan definitif yang disepakati sampai oleh DPR dan pemerintah, hendaknya memiliki kewenangan setingkat dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha,” ujarnya.
Sementara itu, terkait dengan kebuntuan pembahasan RUU PDP, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU PDP Abdul Kharis Almasyhari mengatakan, kini pihaknya menanti niat baik dari pemerintah untuk menuntaskan pembahasan RUU tersebut. Meski demikian, dengan memperhatikan sisa waktu yang ada dan keterbatasan kondisi di saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat hingga 20 Juli, upaya meneruskan pembahasan itu pada masa sidang kali ini sulit dilakukan.
”Rapat-rapat akan tidak leluasa seperti waktu-waktu kemarin,” ujarnya.
Kharis menilai, sikap pemerintah yang bersikukuh meminta agar kelembagaan atau otoritas pengawas PDP berada di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sebagai inkonsisten. Sebab, hal itu berbeda dengan yang sebelumnya sempat disepakati antara pemerintah dan DPR di awal-awal rapat konsinyering. Namun, kesepakatan itu pun mentah kembali setelah pemerintah memaparkan kriteria kelembagaan yang dimaksud tetap di bawah Kemenkominfo.
”Kharis mengatakan, 228 DIM (daftar inventarisasi masalah) sangat berkaitan dengan kelembagaan pengawas itu. Jika persoalan kelembagaan itu belum bisa diselesaikan, 228 DIM dari 371 DIM akan menggantung. ”Kemudian bagaimana, ya, kita menunggu, siapa tahu ada niat baik dari pemerintah untuk melanjutkan. Ya, kita akan menunggu saja sifatnya,” kata Wakil Ketua Komisi I itu.
Saat konsinyering, secara bulat sembilan fraksi di DPR menolak sikap pemerintah yang menginginkan agar otoritas kelembagaan pengawas PDP itu ada di bawah Kemenkominfo.
Dari total 371 DIM, Komisi I DPR telah menyelesaikan pembahasan sebanyak 143 DIM dengan 125 DIM yang telah disetujui dan disepakati, 10 DIM pending (ditunda), 6 DIM perubahan substansi, dan 2 DIM usulan baru, dengan sekitar 40 persen DIM tuntas dibahas. Adapun yang belum dibahas berjumlah 228 DIM, dan mayoritas berkaitan dengan lembaga pengawas pelaksanaan UU PDP.
Kharis mengatakan, saat konsinyering, secara bulat sembilan fraksi di DPR menolak sikap pemerintah yang menginginkan agar otoritas kelembagaan pengawas PDP itu ada di bawah Kemenkominfo.
Sementara itu, anggota Panitia Kerja (Panja) RUU PDP dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Irine Yusiana Roba Putri, mengatakan, kelembagaan itu tidak cukup jika hanya di bawah eselon 1 di Kemenkominfo. Sebab, pemerintah adalah pengelola data pribadi yang sangat besar.
”Jadi, kalau yang diminta Panja, pemerintah itu kelembagaan berada di bawah kementerian, dan diurus oleh eselon 1, sepertinya tidak tepat. Karena, yang diurus kan tidak hanya swasta, tetapi juga pemerintah. Perlu lembaga independen karena pemerintah juga menjadi pelaku pengumpulan, penguasaan dan pengelolaan data pribadi WNI,” ucap Irine.
Jika suatu RUU telah dua kali diperpanjang, RUU itu bisa dikeluarkan dari Prolegnas tahunan.
Legislator dari Maluku Utara itu juga menegaskan, lembaga itu harus dibuat setara pengaturannya dengan negara lain. ”Syarat utamanya ialah lembaga itu independen, bukan di bawah Kominfo,” kata Irine.
Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas mengatakan, kelanjutan pembahasan RUU PDP itu akan diputuskan dalam evaluasi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Sebab, RUU itu telah dua kali diperpanjang masa pembahasannya. Sesuai ketentuan tata tertib DPR yang baru, jika suatu RUU telah dua kali diperpanjang, RUU itu bisa dikeluarkan dari Prolegnas tahunan.
Namun, karena RUU PDP itu telah memasuki pembahasan yang melibatkan pemerintah dan DPR, hal itu akan diputuskan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak pembuat kebijakan.
”Nanti di dalam evaluasi Prolegnas (Program Legislasi Nasional) akan dibahas semuanya, baik RUU yang telah melewati masa pembahasan apakah akan didrop, dan apakah akan ada usulan RUU baru, termasuk kelanjutan dari RUU PDP ini,” kata Supratman.
Badan arbitrase ini dapat dibentuk melalui peraturan presiden (perpres) sehingga anggota badan bertanggung jawab kepada presiden. Badan ini akan menangani sengketa yang diajukan oleh warga atau pihak-pihak lain yang merasa datanya disalahgunakan.