DPR mulai membahas draf revisi UU tentang ASN. Revisi diharapkan dapat mengatasi persoalan politisasi birokrasi dan membawa sistem birokrasi menjadi lebih adaptif terhadap perkembangan zaman.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pakar mendorong agar dilakukan pengaturan yang tegas terkait dengan pemanfaatan birokrasi oleh politisi setiap kali pilkada atau pemilu. Politisasi birokrasi selama ini menjadi problem berulang yang mesti diatasi oleh pembuat kebijakan, antara lain melalui revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Tiga ahli memberikan masukan terkait dengan revisi UU ASN dalam rapat dengar pendapat umum dengan Panitia Kerja RUU ASN Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (29/6/2021), di Jakarta. Mereka ialah peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, Ketua Dewan Pengurus Korpri Nasional Zudan Arif Fakrulloh, dan Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan.
Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Syamsurizal, para ahli menggarisbawahi perlunya pengaturan soal independensi ASN sehingga tidak terjadi intervensi politik ke dalam kinerja mesin birokrasi. Selama ini, persoalan itu terus berulang setiap terjadi pergantian kepemimpinan dari kepala daerah satu ke kepala daerah baru. Penggantian ASN, terutama di eselon satu dan dua, kerap dilakukan berdasarkan pilihan politik dalam kontestasi lokal ataupun nasional.
Siti Zuhro mengatakan, kemajuan demokrasi seharusnya berjalan beriringan dengan kemajuan birokrasi. Hanya saja, praktik yang terjadi tidak selalu demikian. Birokrasi bahkan mengalami tarikan-tarikan politik yang sangat kencang setelah pemilu/pilkada langsung diterapkan.
”Demokrasi diharapkan mampu mendorong terwujudnya debirokratisasi, yaitu penghapusan dan pengurangan hambatan yang terdapat dalam sistem birokrasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik,” katanya.
Pada kenyataannya, hal itu sulit dilakukan dalam birokrasi di Indonesia karena, lanjut Siti Zuhro, birokrasi di Tanah Air sejak awal dijadikan elemen penyangga kepentingan oleh pemerintah kolonial dengan pemerintah lokal. Di era modern, sistem multipartai di Indonesia membuat birokrasi tidak ramping. Jumlah kementerian bertambah. Begitu pula di daerah, birokrasi menjadi arena untuk mengadu kepentingan.
Siti menawarkan solusi pengaturan di dalam RUU ASN, yakni dengan memastikan birokrasi transparan, akuntabel, netral atau tidak partisan. Semakin transparan dan akuntabel suatu birokrasi akan semakin sulit diintervensi oleh partai politik. Hal itu bisa dituangkan ke dalam aturan yang fokus pada penguatan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN); penguatan birokrasi yang profesional, netral, dan berkualitas; dan peningkatan kualitas birokrasi yang berkultur dan berstruktur rasional-egaliter, serta bukan yang bersifat irasional-hierarkis.
Kondisi birokrasi yang belum sepenuhnya lepas dari kepentingan politik juga diungkapkan Zudan Arif Fakrulloh. Zudan yang juga Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri mengatakan, birokrasi harus dipisahkan dari kepentingan politik lima tahunan.
”Ibarat main bola, ini pelatihnya saja yang berganti, sementara pemainnya tetap. Jadi, pemainnya harus independen dan nonpartisan. Bagaimana kita membangun otonomi birokrasi yang bisa meminimalkan campur tangan atau intervensi politik,” ujarnya.
Birokrasi adaptif
Selain politisasi birokrasi, Zudan berharap RUU ASN juga dapat merespons sejumlah perkembangan masyarakat. Birokrasi masa depan, misalnya, harus merespons disrupsi teknologi informasi. Situasi pandemi seperti saat ini cukup menyadarkan bahwa pelayanan publik tetap dapat berjalan dengan pembatasan jumlah orang atau ASN di kantor. Hal-hal semacam ini belum diatur di dalam UU ASN sebelumnya. Oleh karena itu, UU ASN yang baru harus merespons perkembangan terbaru masyarakat agar dapat terus adaptif melayani publik.
Pergeseran generasi harus pula menjadi topik yang dibicarakan dalam revisi UU ASN. Saat ini, lanjut Zudan, sebagian besar ASN berusia muda dan berasal dari generasi milenial yang memiliki karakter berbeda dengan generasi sebelumnya. Lompatan generasi ini harus pula diatasi agar komposisi ASN yang didominasi kalangan muda dapat diikuti dengan regulasi yang suportif.
”Saat ini ada pegawai-pegawai baru yang merupakan generasi milenial dan sangat paham dengan teknologi informasi. Namun, ada pula generasi tradisional, yang nature-nya bukan milenial, tetapi sedang belajar ke sana (teknologi informasi), serta ada pula yang berusia 50 tahun ke atas. Kondisi ini tentu perlu jadi perhatian dalam tata kelola birokrasi,” ujarnya.
Secara bertahap, menurut Zudan, birokrasi Indonesia harus ke arah digital governance. Birokrasi pemerintahan digital itu mensyaratkan penguasaan teknologi informasi. Oleh karena itu, sumber daya manusia dan regulasi yang mendukung ke arah sana harus dibangun mulai dari sekarang.
Sementara itu, Djohermansyah mengusulkan agar tata kelola ASN ditangani oleh dua kementerian. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi diusulkan untuk mengatur manajemen, membina dan mengawasi ASN di instansi pusat. Adapun Kementerian Dalam Negeri mengelola ASN di instansi daerah.
Terkait dengan pegawai honorer, pegawai tidak tetap, dan pegawai tetap tetapi bukan PNS, dan tenaga kontrak, menurut Djohermansyah, harus mengikuti seleksi calon PNS. Mereka yang lulus ujian akan menjadi PNS, sedangkan yang tidak lulus atau tidak bersedia ikut seleksi menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). ”Dalam tempo lima tahun, mereka harus selesai proses pengangkatannya melalui seleksi CPNS,” ujarnya.
Terkait masukan dari para ahli, Syamsurizal mengatakan, hal itu akan dijadikan bahan bagi fraksi-fraksi dalam membahas substansi RUU ASN. Beberapa poin penting yang mengemuka dalam dua hari terakhir rapat dengar pendapat umum dengan ahli ialah penguatan KASN, birokrasi yang adaptif, dan pencegahan politisasi birokrasi.