Polutan yang Mencekik Demokrasi
Ibarat udara, disinformasi seolah jadi polutan yang membahayakan kesehatan demokrasi serta mengganggu perumusan kebijakan publik. Membangun kultur berpikir kritis menjadi strategi krusial untuk menghindari polutan itu.
Kata kunci ”taliban” dan ”buzzerp” menyeruak dalam deretan 40 kata dengan intensitas paling banyak muncul dalam kolom komentar di unggahan dokumenter The Endgame di akun Youtube Watchdoc Documentary.
Menggunakan pemrograman R, Kompas mengambil dan menganalisis komentar di Youtube The Endgame pada 19 Juni 2021 pukul 14.00, enam hari sejak film itu diunggah. Hasilnya, terkumpul 12.840 komentar. Dari jumlah itu, ada 147 komentar mengandung kata ”taliban” dan 61 komentar dengan kata ”buzzerp”. Dua kata itu terselip di antara kata-kata lain yang sering muncul, seperti ”KPK”, ”Indonesia”, ”negara”, dan ”korupsi”.
The Endgame, yang disutradarai Dandhy Laksono, hadir saat ruang publik memanas. Pangkal perdebatan terkait dengan rencana pemberhentian 51 dari 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan sebagai syarat alih status menjadi aparatur sipil negara. Dalam film berdurasi 1 jam 54 menit itu, beberapa pegawai KPK yang tidak lolos tes, dari beragam agama dan etnis, menyampaikan keresahannya.
Bantahan atas tudingan Taliban yang diarahkan kepada pegawai KPK turut diutarakan. Adapun Taliban merupakan gerakan garis keras fundamentalis berbasis agama di Afghanistan dan Pakistan utara.
Komentar-komentar yang mengandung kata ”taliban” mayoritas bernada tak setuju atas narasi Taliban KPK. Ada komentar yang mempertanyakan mengapa muncul tudingan Taliban, padahal di antara pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan ada yang beragama Kristen dan Buddha.
Google Trends mencatat, di tengah perdebatan soal isu alih status pegawai KPK, pencarian kata kunci ”taliban” KPK mulai awal Mei hingga Juni 2021 meningkat.
Sebagian lagi menyalahkan buzzerp yang dianggap dalang dari narasi Taliban KPK. Namun, ada juga beberapa komentar dalam skala jauh lebih kecil yang menyebut KPK harus dibersihkan dari Taliban. Sementara itu, kata ”buzzerp” muncul dalam konteks dianggap bertanggung jawab meloloskan revisi Undang-Undang KPK dan melemahkan KPK.
Baca juga : Tak Ada Kata Akhir untuk Melawan Korupsi
Google Trends mencatat, di tengah perdebatan soal isu alih status pegawai KPK, pencarian kata kunci ”taliban” KPK mulai awal Mei hingga Juni 2021 meningkat. Namun, intensitasnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan September 2019, menjelang pengesahan revisi UU KPK.
Saat itu, DPR ngebut membahas revisi UU KPK, sedangkan berbagai elemen masyarakat sipil serta tiga dari lima unsur pimpinan KPK 2014-2019 menolak revisi UU KPK karena dianggap akan melemahkan KPK.
Baca juga : Satu Tahun Pascarevisi UU, KPK Melemah
Tsunami percakapan
Merriam-Webster menyebut disinformasi sebagai informasi salah, yang sengaja disebarkan dan acap kali bertujuan memengaruhi kebijakan publik atau untuk mengaburkan kebenaran. Dalam konteks narasi KPK dengan Taliban, disinformasi ini dinilai mampu memengaruhi opini masyarakat.
Direktur Center for Media and Democracy Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto, Rabu (23/6/2021), menuturkan, narasi yang mengasosiasikan KPK dengan Taliban jadi modus untuk manipulasi opini publik.
Di Twitter, pada September 2019, muncul tagar atau tanda pagar KPK dan Taliban. Di antara tagar yang mencuit dukungan terhadap revisi UU KPK, KPK dan Taliban bukan yang paling banyak di-retweet, tetapi tagar ini disebut Wijayanto paling banyak mendapat amplifikasi dari media massa arus utama, terutama media daring.
”Untuk kasus Taliban KPK, orang tidak semua termakan (disinformasi ini), tetapi ada orang yang mulai bertanya-tanya, jangan-jangan, paling tidak ada yang radikal di sana,” kata Wijayanto sambil menekankan, informasi yang salah apabila terus-menerus disampaikan akan terasa oleh publik seperti kebenaran.
Banjir informasi, termasuk disinformasi di ruang daring, saat terjadi perdebatan hangat soal kebijakan publik yang bermasalah, dari riset Wijayanto, cukup kerap terjadi dengan pola relatif sama. ”Tiba-tiba ada tsunami percakapan yang ketika diperiksa percakapan itu bercirikan adanya kreasi dan distribusi konten secara sengaja. Distribusinya sengaja dimasifkan influencer atau buzzer,” ungkapnya.
Peran pasukan siber, atau yang disebut Wijayanto sebagai mercenaries (tentara bayaran) siber, mendapat sorotan di berbagai belahan dunia.
Tiba-tiba ada tsunami percakapan yang ketika diperiksa percakapan itu bercirikan adanya kreasi dan distribusi konten secara sengaja. Distribusinya sengaja dimasifkan influencer atau buzzer.
Oxford Internet Institute dalam laporan Industrialized Disinformation 2020 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation mencatat, selama tahun 2020, keberadaan pasukan siber kian meningkat. Tugas pasukan siber itu antara lain menyusun strategi dan teknik propaganda di media sosial, memanipulasi konten, mengambil data secara ilegal, hingga mengerahkan pasukan untuk menekan pihak tertentu, semisal aktivis dan pers.
Baca juga : Pasukan Siber Mengepung Dunia, Turut Mengancam Indonesia
Di Indonesia, narasi yang disebarkan pasukan siber antara lain kampanye mendukung pemerintah, kampanye untuk menyerang oposisi, hingga kampanye menekan pihak tertentu. Di Indonesia ditemukan pula penyebaran narasi berbasis data yang bertujuan menyesatkan. Namun, sejauh ini tak ada indikasi adanya lembaga negara yang menggunakan komputasi untuk menyebar propaganda (Kompas.id, 18/1/2021).
Mengkhawatirkan
Disinformasi dalam perdebatan kebijakan publik ataupun proses politik demokratik berdampak merusak. Joshua A Tucker dan kawan-kawan dalam Social Media, Political Polarization, and Political Disinformation (2018) menyebut disinformasi bisa menimbulkan mispersepsi yang mendistorsi pandangan individu. Apabila hal ini terjadi dalam skala kolektif, perdebatan kebijakan yang terjadi tak berbasis data, tetapi bersandar pada keyakinan yang muncul dari mispersepsi. Dengan begitu, amat mungkin ada bias perumusan kebijakan publik sehingga kebijakan jadi meleset.
Baca juga : Ancaman Bernama Disinformasi
Selain itu, dalam konteks kontestasi elektoral, disinformasi bisa membuat hal yang diperdebatkan bukan program, melainkan hal trivial. Padahal, demokrasi yang sehat mensyaratkan pemilih yang terinformasi. Lebih berbahaya lagi apabila ada politisi yang, alih-alih melawan disinformasi dengan cara menjernihkan disinformasi itu, justru memilih melawan dengan disinformasi pula.
Di Indonesia, survei Masyarakat Telematika Indonesia tentang ”Wabah Hoax Nasional 2019” menunjukkan tingkat paparan disinformasi cukup mengkhawatirkan. Survei itu menunjukkan, 87,5 persen responden mengaku pernah terpapar disinformasi dari media sosial, 67 persen dari aplikasi pesan instan, serta 28,2 persen dari situs web.
Dari pendekatan struktural, berbagai kajian menunjukkan disinformasi tumbuh subur dalam masyarakat yang terbelah. Sebab, dalam kondisi sosial semacam itu, ”kacamata” dalam menilai sesuatu tak terlepas dari keyakinan kelompok. Apalagi, ada kecenderungan masyarakat yang hiperpartisan mencari informasi yang sejalan dengan pandangannya (confirmation bias) atau mereka hanya berinteraksi serta bercakap di ruang daring dengan orang-orang yang berpandangan sama (echo chamber).
Di Indonesia, benih polarisasi tumbuh sejak Pemilihan Presiden 2014, kemudian berlanjut dalam Pilpres 2019. Hingga kini, pembelahan masyarakat itu belum sepenuhnya teratasi.
Dari pendekatan struktural, berbagai kajian menunjukkan disinformasi tumbuh subur dalam masyarakat yang terbelah.
Pembelahan yang terjadi di Tanah Air cenderung berupa polarisasi afeksi, yang berbasis pada perbandingan identitas antara satu kelompok (in-group) dan kelompok lain (out-group), bukan polarisasi ideologi yang umumnya mengacu pada perbedaan pandangan pada sikap politik atau kebijakan tertentu.
”Mereka akhirnya berpikir hitam dan putih. Tak bisa verifikasi. Artinya, hitam menurut mereka, putih menurut mereka. Tidak bisa menangkap hal yang berbeda,” ujar peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Wasisto Raharjo Jati.
Sementara itu, dilihat dari pendekatan aktor, disinformasi muncul karena ada elite yang ingin meraih keuntungan finansial atau keuntungan politik. Adapun masyarakat akar rumput ikut menyebarkan disinformasi karena ketidaktahuan atau ketidakmampuan memilah informasi yang membanjir dalam waktu singkat di media sosial. Namun, ada pula yang didorong sikap hiperpartisan.
Mengatasi polutan
Tidak mudah mengubah orang yang memproduksi atau mendistribusikan disinformasi untuk kepentingan finansial atau alasan ideologis. Namun, Wijayanto dan Wasisto meyakini, literasi politik dan membangun pola berpikir kritis masyarakat dalam jangka panjang bisa menekan persoalan ini. Hal ini perlu dilakukan sejak dini melalui pendidikan yang didesain dengan cara menyenangkan. Apabila hal ini dapat dilakukan, sudah ada pencegahan dari hulu.
Membangun daya kritis membutuhkan peran banyak pihak. Wasisto menyoroti pentingnya kesadaran individual untuk mulai menyerap informasi dari sumber dan tema yang beragam serta progresif agar mereka tak terkungkung dalam sudut pandang sempit.
Tidak mudah mengubah orang yang memproduksi atau mendistribusikan disinformasi untuk kepentingan finansial atau alasan ideologis.
Elite punya peran sentral untuk tak memanfaatkan disinformasi demi kepentingan politik. Di sisi lain, pemerintah dan penyedia platform media sosial juga punya tanggung jawab untuk membangun ekosistem informasi yang memungkinkan masyarakat berpikiran terbuka.
Selain itu, Wijayanto menekankan peranan jurnalisme dan media. Sebab, bagi dia, pola berpikir kritis menjadi tidak berguna apabila ”kolam” informasi sudah telanjur penuh ”limbah”. Karena itu, jurnalisme berkualitas yang bisa menjadi rumah penjernih informasi amat dibutuhkan. Jurnalis perlu kritis melihat berbagai informasi agar tidak terbawa oleh langgam dan strategi pasukan siber.
”Informasi yang benar itu oksigen bagi demokrasi. Informasi yang salah seperti gas beracun yang mematikan demokrasi,” katanya.
Selain hal-hal tersebut, Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Karim Suryadi menekankan pentingnya ruang kebebasan sipil dijaga. Sebab, ia melihat maraknya disinformasi, selain karena literasi politik yang rendah, juga disebabkan situasi politik, di mana ruang keterbukaan menyempit. ”Ada yang share konten disinformasi karena tidak bisa melawan hegemoni kekuasaan,” ucapnya.
Namun, Karim menyebut disinformasi berdampak buruk karena hal itu menjadi polutan komunikasi. Dia mendorong akademisi di universitas bersuara dalam posisi yang independen dan mengembuskan ”hawa murni” kepada masyarakat untuk menambah energi ruang publik. ”Dengan demikian, ’udara’ (informasi) aman dihirup publik,” ujarnya.
Langkah mengatasi polutan bernama disinformasi tidak mudah. Maukah semua pihak bergerak?